Mohon tunggu...
Wenny Pangestuti
Wenny Pangestuti Mohon Tunggu... -

--- a person who calls herself not good at writing, but love to write ---\r\n\r\nsee also here: http://catatan-wenny.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengawal Kampanye untuk Indonesia Lebih Baik Tanpa Demokrasi

17 Maret 2014   05:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu, 15 Maret 2014 bertepatan sehari sebelum dimulainya jadwal kampanye para partai politik di Kabupaten Jember, puluhan muslimah dari kalangan aktivis pergerakan, mahasiswi, dan tokoh intelektual menggelar sebuah aksi yang menyita perhatian para pengguna jalan, pedagang dan penduduk sekitar yang melintasi bundaran DPRD Kabupaten Jember, yakni Kampanye Politik Islam 2014. Acara ini dikemas dalam wujud Panggung Politik Mahasiswi dengan tema “Indonesia Lebih Baik: Tinggalkan Demokrasi, Tegakkan Khilafah”.

Dimotori oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), aksi ini tidak hanya diselenggarakan di Jember, melainkan di berbagai kota di Indonesia, seperti Bandung, Malang, Banjarmasin, Pekanbaru, Semarang, bahkan pada waktu bersamaan aksi ini pun juga diselenggarakan di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Jakarta.

Dilatarbelakangi dengan semakin dekatnya rakyat Indonesia menyambut gegap gempita Pemilu Raya 2014 mulai bulan April mendatang, para kandidat yang mewakili partai politiknya masing-masing telah jauh-jauh hari mempersiapkan diri, seperti salah satunya, memasang banner-banner di pinggir jalan yang berisi foto masing-masing disertai janji-janji ketika telah terpilih. Begitulah bila pemilu menjelang, para kandidat mendekat kepada rakyat, tetapi ketika mereka telah terpilih menjauhlah mereka, tak lagi mendengar jeritan hati rakyat. Semuanya menjadi bukan rahasia umum lagi bagi rakyat negeri ini.

Pemuda yang memiliki populasi terbesar tidak lepas dari bidikan para kandidat. Di Universitas Jember sendiri, telah beberapa kali kedatangan tokoh-tokoh seperti Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Hari Tanoe yang mengisi kuliah umum kepada para mahasiswa. Isi yang disampaikan tidak terlepas pada seruan kepada para mahasiswa untuk memiliki kesadaran politik, salah satunya terlibat aktif dalam kesuksesan pemilu mendatang.

Dari sanalah MHTI menyeru kepada para mahasiswa untuk menyadari realitas bahwa perubahan Indonesia ke arah lebih baik tidaklah dengan bergantung pada hasil pemilu dalam sistem demokrasi ini. Karena, sejatinya pemilu ini ibarat a good driver riding a bad car, hanya pergantian personel pemimpin. Namun, sistem yang melingkupinya tetaplah sistem demokrasi.

Dalam orasi pertama yang disampaikan oleh Miftah Karimah Syahidah, Aktivis Himafi FKIP Fisika, Universitas Jember, dengan judul Demokrasi Penyebab Carut-Marutnya Indonesia, 69 tahun sejak kemerdekaannya, Indonesia menerapkan sistem demokrasi. Faktanya, hidup rakyatnya tidak semakin sejahtera, melainkan kian sengasara. Secara realitas, demokrasi bukanlah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Fakta yang ada justru demokrasi membentuk negara korporasi melalui simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi elit penguasa dan pemilik modal yang mendukung. Hal ini terbukti bahwa kebijakan melalui legalisasi undang-undang, seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Tarif Daftar Listrik, dan lain-lain.

Ditambahkan oleh Dyah Ayu Setyorini, Kabid I Mathematics Students Club FKIP Matematika, Universitas Jember, dalam orasinya yang berjudul Demokrasi Perampok Hak Politik Pemuda, pemuda hanya dijadikan sasaran empuk dalam menjaring suara dalam sistem demokrasi. Selain itu, demokrasi menanamkan pragmatis mendalam pemberdayaan pemuda bangsa ini, yaitu pemberdayaan ekonomi pemuda guna mengentaskan kemiskinan, padahal sebenarnya adalah pembajakan potensi pemuda. Demokrasi menyibukkan pemuda untuk meningkatkan perekonomian bangsa sebagai tameng untuk menutup penyebab hakiki kemiskinan rakyat negeri ini yaitu perselingkuhan kapitalis dan penguasa atas nama demokrasi yang melegalkan perampokan kekayaan negeri ini. Sebagian besar pemuda sudah terbius oleh ide demokrasi. Pemuda terus diarahkan untuk memikirkan kepentingannya sendiri, tidak peduli pada urusan orang lain sehingga menjadikan pemuda semakin pragmatis, apolitis, dan individualis.

Berbeda halnya dengan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi. Artinya, Islam tidak hanya mengatur urusan spiritual, namun juga mengatur urusan kehidupan manusia di dunia. Politik Islam yang diimplementasikan dalam negara Khilafah menempatkan pemuda sebagai aset berharga yang berperan meninggikan peradaban. Khilafah dengan kesempurnaan aturannya akan mampu membentuk pemuda sebagai sosok dambaan umat, shaleh secara pribadi dan visioner memimpin peradaban dengan penguasaan ilmu dan teknologi. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam telah melahirkan sosok-sosok visioner, seperti Mushab bin Umair, Muadz bin Jabal, Muhammad al Fatih, Imam Syafi’i, dan lain-lain. Demikian pula para intelektual muda yang membawa kekhilafahan melesat menjadi negara berperadaban maju dengan karya-karya besar yang berpengaruh hingga di masa moderen ini, diantaranya al-Biruni ilmuwan fisika dan kedokteran, al-Khawarizmi ilmuwan matematika, al-Bitruji ilmuwan astronomi, Ibnu Sina yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Moderen, dan lain-lain. Hal inilah yang disampaikan oleh Islia Dewi Yunita, aktivis HMPS Biologi Lumba-Lumba FKIP Biologi, Universitas Jember, dalam orasi Khilafah Menjamin Hak Politik Pemuda.

Oleh karenanya, mahasiswa harus bersatu menyuarakan kepada semua elemen masyarakat dan penguasa untuk mencapai Indonesia lebih baik dengan mengganti sistem demokrasi yang rusak dan merusak dan beralih pada sistem yang lebih baik, yang datangnya dari Tuhan yang meciptakan langit dan bumi, Allah Subhanallahu ta’alaa, yakni Khilafah Islamiyah. Mika Nurjanah, aktivis BEM Fakultas Ekonomi, Universitas Jember, memaparkan dalam orasinya yang berjudul Syariah-Khilafah Membawa Perubahan Indonesia ke Arah Lebih Baik, bahwa secara historis peradaban Islam dalam khilafah memimpin dunia selama 13 abad. Perekonomiannya menjamin kesejahteraan umat, baik muslim maupun non muslim. Khilafah melahirkan generasi pemimpin yang taat. Militernya disegani kawan dan lawan hingga akhir hayatnya, daratan Eropa pun takluk padanya.

Seruan yang mengajak pemuda dan pemudi untuk bangkit dan berjuang menegakkan syariat Allah dalam naungan Khilafah Islamiyah, bersama barisan pejuang yang konsisten dalam perjuangan penegakkan khilafah, disampaikan oleh Novia Sina sebagai aktivis BEM Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jember. Ia pun juga mengenalkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi dakwah yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam naungan khilafah, dengan mengikuti metode perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di bawah kepemimpinan seorang ‘alim, ilmuwan dan faqih dalam agama, yaitu al-Ustadz Ata’ bin Khalil Abu al-Rasytah.

Mengakhiri kelima orasi yang telah disampaikan, perwakilan MHTI Link Kampus Jember, Nurul Mauludiyah membacakan Press Relaese mengenai Pernyataan MHTI “Intelektual Muda: Modal Strategis bagi Politik Islam”, menyeru kepada para mahasiswa bahwa perubahan mendasar tidaklah cukup hanya sekadar pergantian wajah para penguasa dan wakil-wakil rakyat, namun perlu mengganti pula sistem demokrasi dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah, yang membawa harapan baru dan perubahan sejati bagi bangsa ini. Sehingga mahasiswa sebagai inteletual muda harus lantang menawarkan syariah dan khilafah sebagai pengganti kapitalisme demokrasi. Karena sesungguhnya penolakan kaum intelektual terhadap demokrasi dan pembelaan mereka terhadap Islam adalah modal strategis segera terwujudnya sistem politik Islam-Khilafah Islamiyah.

Hal yang menarik dari acara ini, selain diisi oleh orasi-orasi, juga ada pertunjukkan teatrikal, pembacaan puisi dan sepeda hias yang bertuliskan slogan-slogan untuk meninggalkan demokrasi dan menegakkan khilafah serta aksi penandatangan oleh mahasiswi terhadap penolakan sistem demokrasi pada selembar banner berukuran 2,4 m x 4 m. Selain itu, tanpa disangka-sangka oleh peserta aksi, di tengah-tengah acara, melintaslah para parpol peserta pemilu berkonvoi. Hal ini memancing semangat peserta secara heroik meneriakkan yel-yel dengan irama lagu Cangkul: Tolak, tolak, tolak demokrasi. Tolak demokrasi sekarang juga. Ganti dengan sistem Islami. Syariat Islam dalam Khilafah.

Waktu pelaksanaan aksi ini yang bertepatan sehari sebelum hari dimulainya jadwal kampanye bagi para parpol dianggap sebuah kesempatan yang patut disyukuri bagi para peserta aksi untuk mengawal kampanye dengan seruan penyadaran umat untuk tidak terperdaya oleh sistem demokrasi dan beralih pada perubahan sistem Islam dalam naungan Khilafah.



~Wenny Pangestuti~

Orator kedua, Dyah Ayu Setyorini, Kabid I MSC FKIP Matematika, Univ. Jember

13949811281139539299
13949811281139539299

Pertunjukkan Teatrikal "Minadzulumatin Ila Nur: Dari Kegelapan Menuju Cahaya Terang"

13949817101942475604
13949817101942475604
Sepeda hias berslogan “We Need Khilafah”

1394981777150164352
1394981777150164352

Penandatanganan sebagai wujud penolakan kepada demokrasi oleh para orator.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun