Buta aksara merupakan seseorang yang tidak dapat membaca, menulis, dalam huruf latin dan berhitung dengan angka Arab. Sedangkan buta aksara fungsional adalah orang yang tidak dapat memanfaatkan kemampuan baca, tulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-hari (Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, 2006:3). Sementara itu, buta huruf dalam arti buta bahasa Indonesia, artinya buta pengetahuan dasar yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari, buta aksara dan buta angka, buta akan informasi kemajuan teknologi. Hal ini tentunya menjadi suatu beban berat atau penghalang untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas, dalam arti rendahnya dalam menggali dan memanfaatkan peluang yang ada di lingkungannya. Dengan demikian, buta huruf ialah penduduk atau seseorang yang tidak bisa membaca maupun menulis, baik itu huruf latin maupun huruf lainnya pada usia tertentu.
Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas), Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, angka buta huruf di Indonesia mencapai 1,76 persen atau sekitar 2,9 juta orang. Namun, pada tahun 2019 di Indonesia sendiri terdapat enam provinsi yang memiliki angka buta huruf tertinggi. Dalam hal ini Papua memiliki predikat paling tinggi sebesar 21,9 persen, dengan banyak 657 ribu dari 3,7 juta penduduk Papua yang tidak bisa membaca. Sedangkan, menurut Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud Ristek Jumeri mengatakan, jumlah penduduk buta huruf di Papua mencapai 22 persen di tahun 2020. Buta huruf di Papua bukanlah masalah baru di sana, melainkan sebuah masalah klasik yang telah ada dari dulu. Â
Provinsi Papua terdiri dari beberapa kabupaten, yang mana setiap kabupaten memiliki tingkat buta huruf yang berbeda. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, di kabupaten Lanny Jaya sebesar 64,66 persen, di kabupaten Nduga sebesar 53,55 persen, di kabupaten Mamberamo Tengah sebesar 41,33 persen, di kabupaten Tolikara sebesar 36,34 persen, di kabupaten Asmat sebesar 20,81 persen penduduk berusia 15 – 44 tahun yang mengalami buta huruf. Di sisi lain, terdapat beberapa kabupaten yang memiliki tingkat buta huruf yang rendah, seperti di kabupaten Keerom sebesar 7,05 persen, di kabupaten Boven Digoel sebesar 3,64 persen, di kabupaten Merauke sebesar 1,70 persen, di Jayapura sebesar 1,21 persen, di kabupaten Mimika sebesar 0,61 persen dan di kabupaten Supiori sebesar 0,10 persen penduduk usia 15 – 44 tahun yang mengalami buta huruf.
Tingginya angka buta huruf di provinsi Papua disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menyebabkan kasus buta huruf ialah rendahnya kualitas pendidikan di Papua dari segi sarana dan prasarana yang masih harus lebih ditingkatkan lagi kualitasnya agar dapat mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah dan dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Selain faktor sarana dan prasarana yang memiliki dampak signifikan terhadap kualitas pembelajaran di Papua, terdapat faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan membaca di sekolah, terutama pada jenjang sekolah dasar (SD) yaitu kehadiran dan keaktifan guru yang dinilai sangat minim. Hal ini terlihat setiap tahun penerimaan murid baru jenjang SMP, terdapat cukup banyak calon siswa yang ditolak karena belum bisa membaca. Namun, terdapat salah satu guru yang menepis bahwa guru bukannya tidak memperhatikan peserta didik, melainkan guru tersebut mengatakan bahwa penyebab yang membuat peserta didik hingga lulus SD tidak mampu membaca ialah dikarenakan faktor lingkungan, kurangnya dukungan orang tua, serta gizi yang rendah. Disayangkan lagi, terdapat ancaman dari orang tua peserta didik yang mendukung tingginya buta huruf di Papua. Hal ini dibuktikan ada beberapa peserta didik yang tidak bisa membaca dan tulis hitung tetapi terpaksa naik kelas karena orang tua mengancam jika anaknya tidak naik kelas akan membongjar sekolah, perang dan bahkan ada guru yang dipukul. Padahal, kondisi daya serap menerima pelajaran seorang peserta didik itu dipengaruhi oleh faktor gizi. Rendahnya pemahaman dan perekonomian orang tua, membuat orang tua kurang memperhatikan kondisi gizi anaknya, sehingga banyak dari peserta didik yang lambat dalam menerima pelajaran.
Angka buta huruf yang tinggi ini bisa ditekan melalui berbagai cara, seperti mengadakan pelatihan kepada guru tingkat dasar untuk merubah pola pengajarannya agar lebih atraktif dan mudah dipahami oleh peserta didik. Biasanya peserta didik akan memiliki semangat tinggi untuk belajar ketika suasana sekolah menyenangkan maka, diperlukan pembelajaran yang menarik di kelas agar tidak bosan belajar. Kemudian, perlunya pemerataan guru yang berkualitas agar peserta didik di daerah terpencil bisa merasakan pengajaran yang berkualitas dengan diimbangi fasilitas sarana dan prasarana yang memadai dan terjangkau.Â
Tidak hanya itu, Kemendikbud pun memiliki Program Pendidikan Keaksaraan yang dibagi dua, yaitu dasar dan lanjutan. Pendidikan dasar adalah bagaimana mengentaskan meningkatkan dari buta huruf menjadi melek huruf. Adapun, lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu KUM (Keaksaraan Usaha Mandiri) dan multikeaksaraan. Program KUM mengarah pada kemampuan usaha, agar bisa meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berusaha, mencari informasi lewat koran atau buku yang bisa meningkatkan kesejahteraan kehidupannya. Sedangkan Program Multikeaksaraan mengarah pada profesi, keahlian dan pekerjaan, budaya, sosial dan politik, kesehatan dan olahraga, dan pengetahun teknologi. Penuntasan buta huruf yang berjalan dengan baik akan memberi peluang bagi penyandang buta huruf untuk bisa menempuh pendidikan kesetaraan, seperti Paket A (SD), Paket B (SMP) dan Paket C (SMA).Â
Hal penting lainnya dalam menuntaskan buta huruf ialah dengan meningkatkan literasi peserta didik agar memiliki kemampuan dan keterampilan dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digunakan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih melek huruf serta memiliki wawasan yang lebih terbuka dan keterampilan yang berkelanjutan. Dengan demikian, berbagai usaha harus dilakukan secara maksimal untuk meningkatkan pembangunan bidang pendidikan di Papua dan upaya yang paling penting dalam memberantas buta huruf dengan meningkatkan kesadaran seluruh keluarga bahwa membaca harus dimulai dari keluarga.
Sumber:
https://eprints.umm.ac.id/42320/3/BAB%20II.pdf
BPS. 2020. Angka Melek Huruf (AMH) dan Angka Buta Huruf (ABH) Penduduk 15 -- 44 Tahun Menurut Kabupaten/Kota (Persen), 2020. Diakses melalui https://papua.bps.go.id/indicator/28/606/1/angka-melek-huruf-amh-dan-angka-buta-huruf-abh-penduduk-15---44-tahun-menurut-kabupaten-kota.html
Mampioper, Dominggus. 2020. Di balik tingginya angka buta aksara di Papua, salah siapa?. Diakses melaui https://jubi.co.id/tingginya-angka-buta-aksara-di-papua-salah-siapa/
Nabila, Mutiara. 2020. Ini 4 Strategi Kemendikbud untuk Mengatasi Masalah Buta Aksara. Diakses melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20200904/15/1287346/ini-4-strategi-kemendikbud-untuk-mengatasi-masalah-buta-aksara#:~:text=%E2%80%9CSebagai%20upaya%20penuntasan%20buta%20aksara,4%2F9%2F2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H