Bulan Mei kemarin yang merupakan bulan untuk memperingati Hari Pendidikan justru diramaikan dengan polemik mengenai kenaikan biaya kuliah. Kenaikan UKT serta penetapan IPI ini pada dasarnya tidak lepas dari Permendikbud SSBOPT dan status PTN-BH yang memberikan kebebasan terhadap penentuan biaya kuliah. Meskipun UKT sebenarnya memberlakukan konsep subsidi silang, tetapi masih ada saja mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi justru mendapatkan UKT yang memberatkan. Hal inilah yang menimbulkan huru-hara belakangan ini. Namun kemudian, usai dikritik ramai-ramai, terutama oleh kalangan mahasiswa, Mendikbud Ristek mengumumkan akan membatalkan kebijakan tersebut.
Viral Based Policy : Haruskah Dikritik Ramai-Ramai Dahulu Supaya Dibatalkan?
Sudah jadi rahasia umum kalau belakangan sering terjadi fenomena viral based policy. Tidak terkecuali pula pembatalan kebijakan mengenai kenaikan UKT dan penetapan IPI pada sejumlah PTN. Pola dari fenomena ini selalu diawali dari ‘cek ombak’ kebijakan, kemudian dikritik secara beramai-ramai karena memberatkan warga negara. Lantas. dibatalkan karena kritik yang terus menerus mendesak pemerintah. Begitu juga dengan kenaikan biaya UKT ini. Pembatalan diumumkan setelah ramai-ramai dikritik oleh masyarakat, terutama oleh kalangan mahasiswa. Tepatnya, dilakukan setelah pertemuan Mendikbud Ristek dengan Presiden RI. Mendikbud Ristek mengatakan akan mengevaluasi permintaan kenaikan UKT yang diajukan oleh PTN.Â
Nah, yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa evaluasi ini baru dilakukan setelah masyarakat mengkritik kebijakan tersebut? Padahal, Pasal 8 Permendikbud SSBOPT mengatur bahwa penetapan tarif UKT bagi PTN-BH dilakukan setelah konsultasi dengan kementerian, sedangkan penetapan tarif UKT bagi PTN selain yang berstatus badan hukum dilakukan setelah mendapat persetujuan dari kementerian. Begitu pula dengan penetapan IPI yang diatur pada Pasal 24.
Jika suara kritik dari masyarakat tidak semasif ini, bukan tidak mungkin apabila kenaikan tarif UKT dan penetapan IPI yang ugal-ugalan ini akan dibiarkan begitu saja. Hal ini menunjukkan bagaimana terjadinya fenomena viral based policy (kalau tidak viral, jangan harap kebijakan ini akan dibatalkan). Pembatalan ini juga menimbulkan kecurigaan hanya dilakukan untuk meredam kritik dari masyarakat, apalagi Presiden RI Joko Widodo sendiri menyebutkan bahwa kenaikan UKT ini ‘ditunda’. Dengan arti lain, berarti pembatalan sementara ini tidak menyelesaikan akar permasalahan hingga tuntas.
Peran Mahasiswa dan Aksi di Balairung
Tidak bisa dipungkiri, pihak yang keberadaannya paling dirugikan atas kebijakan tersebut tentu saja mahasiswa, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah. Maka tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa banyak suara mahasiswa yang lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan tersebut. Meski hanya berlaku bagi mahasiswa baru saja, tetapi tentang ‘siapa’ yang menjadi korban tidak dipermasalahkan. Selama kenaikan UKT dan penetapan IPI yang ugal-ugalan ini memberatkan, maka kebijakan itu memang perlu dikritik.
Kontradiksi dengan klarifikasi Mendikbud Ristek dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI beberapa saat sebelum pembatalan diumumkan. Menanggapi kritik yang terus dilayangkan terhadap kebijakan tersebut, Mendikbud Ristek mengatakan terdapat kesalahpahaman dan mengklarifikasi bahwa kebijakan ini hanya berlaku bagi mahasiswa baru saja atau angkatan 2024, sedangkan mahasiswa yang sekarang sudah berkuliah tidak terdampak. Klarifikasi tersebut seolah-olah bermakna bahwa mahasiswa lama tidak perlu khawatir dan repot-repot mengkritik karena kebijakan ini tidak merugikan mereka. Padahal, kenyataannya, kritik serta aksi yang dilakukan tidak hanya semata-mata demi kepentingan mahasiswa pribadi. Mayoritas mahasiswa pun sebenarnya sadar dan paham bahwa kebijakan tersebut memang hanya berdampak bagi mahasiswa baru, di mana saat ini masih dalam tahap pendaftaran.Â
Pada akhirnya, apa yang sedang disuarakan bukanlah sekadar kritik tentang biaya kuliah yang mencekik, melainkan juga bermuara pada permasalahan kesejahteraan. Wajarkah jika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi terpaksa berhenti kuliah dan menelan kembali cita-citanya untuk meraih kesejahteraan hanya karena terhimpit biaya? Haruskah orang tua mahasiswa terus-terusan berhutang ke sana kemari demi anaknya bisa duduk di bangku perkuliahan? Jangan-jangan, bangku perkuliahan ini, sekalipun perguruan tinggi negeri, ternyata memang hanya boleh dicicip oleh mereka yang dari kalangan atas saja.
Salah satu contoh dari peran mahasiswa dalam mengawal isu ini adalah aksi yang dilakukan oleh mahasiswa UGM di Balairung pada satu minggu belakangan. Aksi dilakukan dengan memindahkan aktivitas-aktivitas mahasiswa hingga mendirikan tenda dan bermalam di Balairung. Kebijakan mengenai kenaikan UKT dan penetapan IPI bagi seluruh golongan UKT di UGM telah dibatalkan dan dikembalikan seperti kebijakan pada tahun 2023. Akan tetapi, masih berlaku IPI atau uang pangkal terhadap mahasiswa baru dari jalur mandiri yang mendapatkan kategori UKT tertinggi.
Dengan telah mengantongi izin, aksi di Balairung ini dilakukan demi menuntut penghapusan total kebijakan uang pangkal atau iuran uang apapun yang diminta di luar UKT. Selain itu, mahasiswa UGM juga menuntut melakukan konferensi pers dalam rangka enuntut pencabutan Permendikbud SSBOPT dan penambahan subsidi anggaran pendidikan bagi PTN. Sayangnya, hingga sekarang, belum ada kesepakatan antara pihak rektor dan mahasiswa. Aksi kini dihentikan setelah mahasiswa diminta untuk meninggalkan Balairung karena digunakan untuk upacara memperingati Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni kemarin.