Perasaan saya sudah tidak enak dan betul saja, air terjun itu sudah ramai! Bukan hanya ramai oleh manusia, tapi juga warung-warung memadati kiri-kanan sampai ke seberang air terjun! Belum lagi kios-kios penyewaan ban buat pengunjung! Saya sampai tidak bisa menikmati indahnya air terjun, mencari spot buat memotret air terjunnya saja susah. Sampah botol-botol aqua dan pop mie memenuhi pinggiran air terjun. Ternyata Lembah Harau sudah kehilangan sunyinya.
Satu air terjun di depannya lagi kondisinya tidak lebih baik. Saya sempat melihat pengunjung yang sungguhan mandi di sana, pakai sampo dan sabun! Bukan cuma sekedar berendam saja! Saya tidak menghabiskan banyak waktu di sana, rasanya percuma juga mengambil foto di tempat itu. Tadinya saya berencana langsung ngopi di Echo Homestay sekaligus melihat apakah saya rugi karena tidak jadi menginap di sana namun ternyata untung saja saya tidak jadi menginap di Echo.
Jalan masuknya memang bagus, diapit 2 sawah dan menanjak ke atas ke bagian café dan penginapannya tapi penginapan itu juga sudah dipenuhi orang. Ketika kami bilang mau ngopi saja pun, kami ditolak oleh pihak penginapan karena mereka sudah terlalu ramai!
Abdi Homestay hanya memiliki 7 cottage kecil-kecil tapi cantik dan bersih. Di sisi belakangnya tepat terlihat air terjun yang memang belum dibikin aksesnya sehingga masih bersih dan sepi, di sisi depannya terhampar sawah membentang. Tempat ini masih sunyi sepi sehingga suara sunset (ya, sunset juga bisa bersuara lho!) terdengar jelas.
Nyanyian kodok diiringi bebek dan burung-burung terdengar jelas bagaikan nyanyian, pelan-pelan menutup hari yang sibuk. Kopinya juga hitam, pahit, enak, panas! Hehe.. di belakang meja kami ada turis bule dari Polandia sedang duduk sendiri belajar bahasa Indonesia. Ini dia kesunyian Lembah Harau yang saya cari-cari. Kata pemilik Abdi Homestay malah sampai 2 tahun yang lalu tempat ini belum terjamah listrik.
Karena Lembah Harau makin lama makin terkenal, turis makin berdatangan, maka akhirnya listrik pun masuk ke tempat ini. “Kebanyakan dari mereka inginnya bisa charge HP soalnya,” demikian ujar pemiliknya. Saya tadinya sempat tidak mau share nama homestay cantik ini, tapi tampaknya tidak adil buat pemiliknya dan saya rasa pemiliknya cukup bijaksana memilih pelanggan karena dia sendiri pernah menyilakan calon pelanggan pulang ketika pelanggan itu datang dengan gaya “kekotaan”nya dan banyak komplen tidak ada AC, tidak ada wifi, tidak ada pemanas air. Haha.
“Jika ingin menginap di hotel seperti itu, cari saja di Jakarta atau minimal di Padang! Di sini namanya juga homestay, dan di sini mengutamakan alam dan pengalaman kita dengan alam!” wah, salut banget saya Uda! Betul itu, orang yang tidak bisa menghargai dan menyayangi alam lebih baik di kota saja ketimbang datang ke desa dan merusak alamnya!
Hari sudah malam, kami harus mengantarkan Uda Koin kembali ke Bukit Tinggi baru kemudian kembali ke Padang. Makan malam kami di perbatasan masuk ke Bukit Tinggi, lagi-lagi sate padang dan martabak kubang. Kali ini sate padangnya enakk! Tapi ada yang lebih enak lagi di kota Padang yakni sate padang polot Cipta Rasa =D, namun saya akan menyudahi ulasan saya tentang Sumbar di artikel ini karena bagian dari Sumatra Barat yang mencuri hati saya adalah justru di luar kota Padangnya.