Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengemas Ranah Minang Tidak Cukup dalam Satu Ulasan (Part 1)

11 Mei 2016   09:45 Diperbarui: 11 Mei 2016   12:24 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ngarai Sianok 2016

 

Padang, Sumatra Barat menjadi pilihan tujuan saya berlibur di long weekend yang baru lewat (5-8 Mei 2016). Jakarta sudah menjadi kota tempat tinggal yang sangat penat dan jenuh sehingga saya tetap bepergian di tanggal sekian meskipun saya tahu pasti biaya akan lebih mahal baik di Jakarta maupun di tempat tujuan.

Tadinya saya dan suami berencana pergi ke Dieng lewat Jogjakarta, untung saja batal karena Jogjakarta ternyata sangat padat di tanggal sekian (gosipnya sih karena film AADC 2 =D), selain itu tiket pesawatnya mahal sekali (IDR 10jt/2 orang/PP) sedangkan tiket kereta sudah penuh dari jauh-jauh hari.

Sebelum saya menulis lebih jauh, saya akan jujur bahwa ulasan perjalanan saya kali ini tidak akan detil seperti sebelumnya. Beberapa tempat yang menurut saya alamnya masih bagus dan sepi tidak akan saya sebutkan lokasinya supaya kebersihan dan “sepinya” tidak terganggu oleh manusia.

TRANSPORTASI

Saya dan suami berangkat dengan maskapai Garuda dan pulang dengan maskapai Citilink, harga yang kami dapatkan masih masuk akal untuk peak season yaitu IDR 2.500.000 /orang PP, padahal saya mencari tiket paling hanya H-3 minggu keberangkatan. Untuk transportasi selama di Sumbar, tips dari saya adalah menyewa mobil jika ingin pindah-pindah kota seperti saya, atau sewa skuter jika hanya ingin bermain dalam kota. Biaya sewa mobil di www.okerent.com adalah IDR 350.000/hari termasuk supir (di Padang sulit mencari tempat penyewaan mobil yang mau lepas kunci. Jika ada yang tahu, boleh dishare di sini konteknya).

Sebenarnya biaya sewa mobil di hari biasa hanya IDR 325.000/hari, berhubung saya datang di peak season jadi lebih mahal sedikit. Mobilnya tipe Avanza, bersih dan wangi (dibersihkan setiap hari), supirnya on time dan baik, mobil dan supir boleh dibawa keluar kota dengan tambahan IDR 100.000/malam untuk biaya penginapan supir.

BBM ditanggung penyewa, sedikit gambaran tentang biaya BBM selama di Sumbar : saya mengisi premium full tank IDR 200.000 itu cukup untuk perjalanan rute Padang-Bukit Tinggi-Batu Sangkar-Payakumbuh-Bukit Tinggi-Padang selama 2 hari. Jika hanya ingin keliling dalam kota, isi bensin IDR 200.000 saja sudah cukup. Jika ingin meyewa skuter lebih murah lagi hanya IDR 50.000/hari. Sedikit informasi, selama saya di Sumbar cuaca setiap hari pasti ada hujannya dan cukup deras, jadi pertimbangkan baik-baik jika ingin menyewa skuter.

Kontek Okerent (pak Ricky) : +6285263666197 / +6282283910000 (WA)

Bandara Internasional Minangkabau di malam hari
Disambut dengan bahasa Inggris

HARI 1

Saya tiba di kota Padang jam 10 malam dan sudah ditunggu supir di bandara. Kebetulan teman saya Ingrid memperkenalkan saya dengan kenalannya di Bukit Tinggi namanya Uda Koin,orang Bukit Tinggi asli,  jadi saya sudah janjian untuk langsung bertemu (sekaligus kenalan) dengan Uda satu ini malam itu juga di lobi hotel.

Malam pertama di Bukit Tinggi saya menginap di Novotel (dulu bernama The Hills), yang bisa saya dapatkan kamarnya atas bantuan kenalan juga. Percayalah, punya banyak kenalan apalagi di berbagai kota dan daerah sangat menyenangkan! =DD. Jika tidak dibantu, saya yakin sekali tidak akan mendapat kamar di Novotel karena sudah benar-benar penuh di tanggal sekian.

Bangunannya lama tapi nyaman dan pelayanannya menyenangkan

Novotel Bukit Tinggi menyenangkan walaupun bangunannya sudah agak lama. Pelayanannya bagus, dan bagi saya yang terpenting adalah lokasinya yang strategis dan dekat dari mana-mana. Mau ke tempat wisata, bisa. Mau cari makan atau minimarket, tinggal jalan kaki. Mau belanja di Pasar Atas, tinggal jalan kaki juga! (Rumah Makan Aceh Baruna yang terkenal letaknya persis di seberang hotel lho).

Pagi jam 10, saya dan suami sudah siap diajak “sedikit hiking dan trekking” oleh Uda Koin. Saya sih senang-senang saja, tapi suami saya sudah mulai stress mendengar kalimat itu haha.. Rute kami adalah memutar dari Ngarai Sianok, turun ke Goa Jepang, lanjut ke The Great Wall melalui sawah, kemudian tiba lagi di kaki ngarai. Tiket masuk ngarai IDR 8.000/orang.

Ngarai Sianok dari atas sudah terlihat bagus, sayang sekali tempat ini pun katanya sudah sangat tercemar dan tereksploitasi manusia. Jika Anda melihat foto di atas, tepat setahun yang lalu bagian lembah di tengah masih penuh dengan pohon. Tahun lalu teman saya Ingrid kemari, dan ketika saya memperlihatkan keadaan Sianok sekarang ini komentarnya adalah : “Ini Sianok?? Dulu nggak begini lho!” Sedih sekali mendengarnya.

Kenapa ya, manusia tidak bisa hanya datang, melihat, kalau mau ambil foto pun jangan merusak dan konyol-konyolan, buang sampah minuman dan makanan pada tempatnya, dan sudah? Kenapa harus merusak? Dan kenapa juga penduduk sekitar Sianok malah membangun berbagai fasilitas untuk memudahkan pengunjung seperti warung-warung sehingga sungai dan pohon menjadi korban? Sedih sekali jika membayangkan daerah di tengah lembah itu tadinya asri dan sekarang menjadi seperti itu..

Pintu masuk ke Lobang Jepang

Ngarai Sianok mempunyai goa dan terowongan artifisial yang dibangun dari zaman Jepang oleh pekerja romusha, namanya seharafiah aslinya yakni Goa Jepang. Dari goa ini kita bisa tembus ke bawah, ke kaki lembah dengan berjalan kaki. Ketika saya tiba, Goa Jepang sedang agak ramai karena musim liburan. Di dalam goa udaranya dingin tapi tidak lembab, cukup gelap dan bergema.

Konon dulu Jepang mengerahkan banyak sekali pekerja romusha untuk menggali terowongan ini sebagai tempat penyimpanan senjata, bunker, dan penjara. Saya tidak bisa membayangkan cadas sekeras itu dibuat hanya betul-betul dengan tangan dan tenaga manusia! Menurut Uda Koin, pekerja yang sudah kelelahan dan tidak kuat, langsung dibunuh di tempat sehingga korban pekerja romusha sebetulnya sangat banyak.

Bagi yang sensitif (seperti suami saya) pasti bisa merasakan aura spooky dan creepy di sepanjang lorong yang gelap. Berhubung jalur biasa ramai oleh pengunjung, Uda Koin mengajak saya dan suami mengambil jalan pintas melalui terowongan yang masih otentik (lorong di dalam goa bercabang-cabang), untuk melewatinya juga kami harus membungkuk karena atapnya rendah. Cara membedakan lorong yang otentik dan yang sudah digunakan untuk wisata adalah yang otentik dinding dan lantainya masih asli batu, belum dilapisi semen. Di sini suasananya lebih spooky dan dingin lagi!

Untuk masuk ke goa mesti turun sekitar 50 meter 
Kalau melalui terowongan biasa lebih ramai tapi lebih ga serem
Dalam terowongan yang otentik jalannya mesti bungkuk karena langit-langitnya rendah

Jika Anda penyuka cerita seram, maka saya punya cerita di tempat ini ketika sedang mengambil foto. Saya melintasi terowongan otentik hanya ber3 : saya, suami, dan Uda Koin. Lalu saya meminta suami saya untuk memotret bayangan orang di dinding. Ketika suami saya mengambil foto bayangan di bawah, kami lalu bingung bayangan siapa itu?

Bayangannya sosok laki-laki (sedang saya perempuan), tidak terlalu gemuk dan tinggi (suami saya gemuk dan tinggi), dan tidak memakai topi (Uda Koin lagi pakai topi Dora the Explorer). Nah lho…  jadi itu bayangan siapa ya?? Hiiiy!! Suami saya keluar goa dengan keringat bercucuran, padahal udara dalam goa sejuk cenderung dingin.

Lanjut setelah Goa Jepang, dimulailah hiking dan trekking kami untuk mencapai The Great Wall. Pemandangan sepanjang rute adalah sawah dengan dangau berbentuk rumah gadang, itu ada di mana-mana! Kebetulan kakek Uda adalah herbalist, jadi sedikit banyak Uda mengenal tumbuhan unik yang ada di sepanjang jalan : mulai dari tanaman untuk anestesi berwarna kuning (gigit bunganya dan letakkan di sisi mulut yang mau dibaalkan), tanaman tato-tatoan, tumbuhan akar camphor yang bisa dipakai sebagai pengganti kayu putih, sampai tumbuhan jahe-jahean.

Betapa kayanya alam kita! Sampai suami saya yang bukan pecinta alam saja bisa berkomentar ,”Ternyata memang alam Indonesia sangat kaya ya! Sayang banget cuma dirusak, apalagi kalau suatu hari nanti tempat ini digunduli buat ditanami sawit. Habis sudah deh kekayaan alam kita!” T.T Sedih bukan mendengarnya.. belum lagi ditimpali oleh Uda Koin, “Iya apalagi kalau sudah ditanami sawit. Tanah kita sudah tidak bisa ditanam apa-apa lagi selepas sawitnya tidak menghasilkan lagi.” Sedih… please jangan ada lagi lahan hutan di Indonesia yang dibakar dan ditanami sawit atau apapun yang mengganggu keseimbangan alam!

Gigit bunganya yang kuning supaya zat yang menyebabkan baal keluar
Kata Uda : "Di tangan saya aja bikin tatonya, kalau di tangan mbak wenny ga keliatan nanti" hehe
Pemandangan sepanjang jalan menuju The Great Wall. Asri banget kan

 

The Great Wall merupakan tiruan, tembok buatan pemerintah setempat memang tujuannya untuk memajukan pariwisata sekitar Ngarai Sianok. Walaupun cuma tembakan dan panjangnya jalan yang mesti ditempuh paling hanya 1 km, tapi cukup bikin ngos-ngosan buat yang jarang berolahraga =D.

Tangganya tinggi-tinggi! Untuk mencapainya kita harus menyeberangi jembatan kayu goyang dulu yang sudah diperkuat dengan besi (namun tetap saja suami saya hampir tidak jadi mau menyeberang pakai jembatan itu! Dia hanya mau menyeberang karena diberitahu kalau tidak menyeberang kita tidak akan kembali melalui jalan situ lagi untuk menjemput dia haha).

Happy wedding anniversary, Bear! Yes, we don’t eat at some fancy restaurant to celebrate it, but this one is far more worth every sweat right? =DD. Di sini juga lagi-lagi saya melihat sampah plastik di sesemakan tanaman pinggir tembok!!

Apa maksud dari plastik yang melampir di tumbuhan pinggir tembok?? Padahal di sepanjang tembok disediakan banyak tempat sampah!
Minum dulu sanah... hehehe Beruang cape yah? Bajunya sampe kuyupp

Di sini juga Uda Koin menunjukkan bunga morning glory yang bisa berubah warna dari ungu menjadi biru bila terkena asap rokok. Bagus nih buat indikator pencemaran lingkungan! Jika mau melihat video perubahan warnanya, boleh lihat di instagram saya.

Setelah The Great Wall, kami kembali ke tempat parkir lewat jalan hutan. Sebaiknya pakai sepatu kalau mau ke tempat ini karena pakai sandal malah akan menyulitkan dan memperlambat perjalanan. Kami melewati dasar Ngarai Sianok, sedih sekali melihat hutan yang sudah dibabat dijadikan jalan lewat mobil dan sungai yang sudah tercemar oleh sampah dari pemukiman dadakan penduduk =(

Tempat di mana dulunya isinya pepohonan sekarang sudah gundul dan jadi aspal buat lewat jalan mobil
Belum lagi sungainya jadi tercemar sama aktivitas pemukiman dadakan penduduk sekitar Sianok. Sampai orang-orang sini bilang sama saya :"Ahok disuruh kemari aja buk, supaya alam kita tetap terjaga!" haha

Dari lokasi Ngarai Sianok, kami pergi ke suatu tempat yang jauh lebih natural ketimbang Ngarai Sianok. Hanya ada 1 tempat ngopi di sana, dengan lembah dan sawah dan sungai yang masih bersih dan belum tercemar.

Saya diajak hiking sedikit menyeberang separo sungai dan menyusuri sawah, bisa melihat sapi merumput dengan santainya walaupun ada manusia berdiri di dekatnya.  Suami saya tidak ikut, dia menunggu di tempat ngopi berhubung sudah basah keringat dan betis lelah. Kopi dan suasananya enakk bikin betah, sampai suami saya bisa bilang,”Wah udah duduk di sini rasanya gamau pindah tempat ke mana-mana lagi!” Hihihi...

Tempat yang bikin Beruang mager ke mana-mana lagi
Kopi ini enak banged! Tanpa gula, susu, krimer udah enak dan wangi!
Bagian sungai yang masih belum tercemar.. Semoga manusia ga nyampah sampai di sini
Pemandangan sambil minum kopi.. Saya punya foto yang jauh lebih bagus lagi, ada di instagram saya
Sawah, sapi, pohon, dan manusia hidup berdampingan di sini

Dan foto yang akan saya post berikutnya adalah penyebab mengapa saya tidak akan share tempat ini secara umum : bayangkan saja, apa salah batang kaktus sampai harus diukir-ukir dan ditulisi nama-nama?? Saya sungguh tidak habis pikir dengan kebiasaan vandalisme orang kita! Tanaman bagus-bagus dan tidak salah apa-apa juga tetap saja dirusak!

Pemilik tempat ini menikah dengan orang Belanda, dan kebetulan 2 keponakannya sedang datang berlibur dari Belanda. Dari bahasa Belanda yang diterjemahkan pemilik tempat ini, kira-kira demikian keluhan 2 anak lelaki bule itu ,”Kenapa kaktus ini ditulis-tulisi? Salah mereka apa dan apa juga bagusnya? Perasaan tadi malam masih belum ada tulisan di batang-batang kaktus ini..”. Jadi maaf saja, saya tidak akan memberitahu lokasi tempat ini, walaupun tempat dan kopinya sangat enakkk!

Korban manusia yang tangannya ga pernah sekolah

Perjalanan saya lanjutkan ke Danau Maninjau yang terletak di Kabupaten Agam. Danau Maninjau ini sudah tereksploitasi walaupun belum separah Danau Singkarak. Danau ini sangat luas dan ketika saya tiba sehabis hujan, kabut tipis menutupi permukaan danau. Untuk mencapai bibir danau kita harus melewati 44 kelokan, siap-siap yang mudah mabok karena kelokannya curam, tajam, dan patah! Kami makan siang di tepi danau ini, kemudian perjalanan kami lanjutkan ke daerah perajin perak (silverwork) yang berjarak 36 km dari danau.

Oh iya, makanan khas danau ini adalah ikan bili-bili. Ikan ini enak digoreng kering kemudian dicocol sambal yang sudah menjadi keahlian orang Minang untuk membuatnya. Ikan bili-bili ini awalnya populer di Danau Singkarak, namun karena sudah terlalu diekspoitasi dan juga ditangkap berlebihan, konon ikan bili-bili di Singkarak sudah langka. Pun kalau ada, itu yang dikirim dari Medan.

Danau ini luas banget lho! Danau Maninjau yang berpayung sama kabut

Daerah perajin perak berada di Koto Gadang. Kami sempat melihat-lihat cara pembuatan perak di salah satu perajin bernama Uda Cici. Pembuatannya masih sangat manual! Cetakan, ukiran, benang perak berulir, detil hiasan yang berukuran hanya beberapa millimeter, semua dikerjakan tanpa mesin! Uda Cici sempat curcol sedikit sih, bahwa sayang sekali perajin perak sudah semakin langka.

Generasi muda Minang sangat jarang yang tertarik untuk belajar tradisional seni membuat perak, padahal yang menawarkan ingin memodali sangat banyak baik dari dalam maupun luar negeri! Apa pasal? Ternyata membuat kerajinan perak tradisional sangat pelik dan butuh kesabaran serta ketelitian tingkat tinggi mengingat orang Minang sangat peduli terhadap detil.

Untuk membuat hiasan mata kalung saja butuh waktu berbulan-bulan, kata Uda Cici “Sampai mata nih mau menangis saking kecil-kecilnya. Susah ini bikinnya, belum dibakarnya mesti hati-hati. Terlalu lama, maka perak akan meleleh dan harus dibuat lagi dari awal.” Uda Cici mengatakan pengerjaan kerajinan perak sangat tergantung mood, dan karena pengerjaan 1 benda saja bisa berbulan-bulan maka harganya juga tidak murah. Modalnya saja, sebongkah perak 1 kg bisa IDR 10 jt! Perak kalau asli ya seperti emas, lunak bisa dibentuk-bentuk dan tidak cepat hitam seperti yang dijual di mal.

Uda Cici ini udah certficated lho sebagai perajin perak profesional
Lihat detilnya! Semua dikerjakan satu-satu, manual, dan dibakar sendiri

Lepas dari silverwork, saya diajak Uda Koin mengunjungi 1 ngarai yang super bagus! Jauh jauh jauh lebih bagus ketimbang Ngarai Sianok karena belum ada akses ke ngarai itu. Sungai di bawahnya masih belum tercemar, pohon-pohonnya masih utuh.

Di ngarai ini jika berteriak maka pantulan (echo) nya akan jelas terdengar. Saya tidak akan membagi lokasi ngarai yang 1 ini juga, karena saya takut akan dirusak lagi oleh manusia-manusia yang tidak sungguh-sungguh cinta dan peduli sama alam, hanya ingin foto-foto eksis di socmed. Bayangkan, di ngarai sebesar ini isinya cuma ada saya dan Uda Koin! Jika ingin mendengar dan melihat pemandangan 180 derajat ngarai ini, bisa dilihat di instagram saya.

Ngarai kalau masih belum terjamah manusia rupanya elok seperti ini

Matahari sudah mulai tumbang di sisi barat, sudah waktunya saya kembali ke Bukit Tinggi untuk jalan-jalan di pusat kota, melihat Jam Gadang yang menjadi icon Bukit Tinggi. Saking menjadi maskotnya bangunan ini, sampai ada yang bilang “belum ke Bukit Tinggi kalau belum foto sama Jam Gadang” haha.. sebenarnya yang membuat unik bangunan ini adalah di angka jamnya.

Penomoran angka jam menggunakan huruf romawi, dan angka 4 nya tidak ditulis IV namun IIII. Selain itu jam ini sudah dibangun dari zaman Belanda dan ketika itu atap jam berbentuk ayam jantan. Kemudian pada zaman penjajahan Jepang, atap jam diganti menjadi bentuk dome (kubah), dan ketika Indonesia merdeka atap jam diganti lagi menjadi rumah gadang oleh Presiden Sukarno.

Spot foto wajib, dipenuhi manusia

Tidak jauh dari area Jam Gadang, hanya dicapai dengan jalan kaki saja adalah Pasar Atas. Pasar Atas ini sebenarnya konsepnya mirip pertokoan di Blok M Melawai kalau kata saya, atau mirip dengan Pasar Baru karena kios-kios beratap tenda warna warni memenuhi kiri kanan jalan dan menjual berbagai macam mulai dari kaos gambar Jam Gadang, jam tangan, sepatu, sampai makanan kering dan basah. Saya sendiri kemari karena mencari dendeng sapi dan jangek =D.

Aneka jajanan! Ada jual ikan bili-bili juga di sini

Perjalanan hari pertama ditutup dengan makan malam sate padang, tapi uniknya sate padang ini sausnya warna merah. Katanya sih karena dicampur cabe giling. Rasanya mantap! (tapi kurang pedas untuk ukuran lidah saya). Kekurangan sate ini adalah dagingnya kecil-kecil banget sampai makan seporsi tidak cukup haha.. katanya kalau sausnya merah seperti ini berarti tipe sate padang khas daerah pesisir.

Beruang dengan porsi pertama sate padang merah!

Cukup sudah perjalanan di hari pertama yang sudah sampai ke mana-mana, sudah hiking dan trekking sampai dari keringat jadi kering lagi (haha), tiba saatnya beristirahat. Malam kedua saya tidak kebagian tempat di hotel, jadi di guesthouse pun jadilah! Salut kepada suami saya yang akhirnya bisa tidur dalam guesthouse haha.. guesthouse kami letaknya di dekat bypass Bukit Tinggi (namanya Penginapan Makmur).

Masih baru, bersih, pelayanannya ramah. Boleh ambil minum, bikin teh dan kopi sepuasnya, harganya juga terjangkau untuk ukuran peak season (IDR 350.000/malam, bisa ber2).

Kontek Penginapan Makmur : Bu Ningsih +6285365800998 (telp)

Lumayan bersih kan untuk ukuran guesthouse

Cerita perjalanan saya berikutnya akan saya tulis di ulasan yang terpisah. Sekali lagi, saya minta maaf jika ada pembaca yang tidak puas karena ada beberapa tempat yang saya rahasiakan lokasinya. Ini semata-mata untuk melindungi alam Indonesia kita yang indah dan mencegah terjadinya kerusakan lebih parah lagi. Semoga saya bisa membantu melestarikan alam kita dan terus belajar untuk menjadi penulis travel yang bijaksana dan pandai. Sampai jumpa lagi!

---

Instagram @kurniawanwenny

wenikurniawan@yahoo.com 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun