Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menapak Tilas Sejarah Indonesia Tahun 60-an

14 Desember 2014   06:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah beberapa bulan saya tidak menulis sesuatu di Kompasiana ini, namun perjumpaan kembali antara saya dan seorang teman dari Sorong, Papua membuahkan perjalanan wisata sederhana yang menggelitik saya untuk mengulasnya. Karena itu di awal tulisan ini saya ingin berterimakasih kepada teman saya, Ingrid dari Sorong, Papua yang menemani saya melakukan perjalanan super spontan namun ternyata sangat berkesan bagi kami.

Perjalanan kami sangat sederhana, kami mengunjungi Museum Pancasila Sakti atau yang lebih dikenal sebagai Museum Lubang Buaya bagi sebagian besar orang. Hari itu saya sedang duduk-duduk saja di rumah Ingrid, memikirkan enaknya jalan-jalan ke mana ketika tiba-tiba tercetus, "Grid... ke Lubang Buaya yuk! Gue pengen banget nih ke sana dari dulu tapi ga tau mau ajak siapa!" (secara anak muda jaman sekarang kan doyannya hang out di mal hehehe.. kalau saya ajak ke museum yang ada juga saya dibilang aneh =P ). Ternyata ide saya langsung disambut antusias oleh Ingrid. Jam sudah menunjukkan angka 1 siang hari, buru-buru kami bertanya kepada mbah Google transportasi ke museum tersebut. Bagi teman-teman yang berminat untuk mengunjungi Museum Pancasila Sakti, transportasinya sangat mudah kok! Cukup dengan naik Bus Transjakarta jurusan Pinang Ranti (ini halte terakhir koridor ke arah Pinang Ranti, jadi ngga usah bingung turun di mana, di akhir perjalanan TJ jurusan Pinang Ranti, itulah tempatnya =)) Jangan lupa bertanya kepada penjaga pintu TJ di mana harus turun untuk transit bus ya!). Turun di halte Pinang Ranti, sudah banyak angkot menanti, maaf saya lupa nomer berapa tapi tanya saja sama semua orang di halte angkot ke lubang buaya yang mana, pasti dikasihtahu kok. Biaya angkotnya 4rb sekali jalan ya teman-teman..

Kami tiba di museum jam 15.00, gerimis menyambut kami. Tiket masuk ke dalam museum sekitar 5rb/orang, dari loket tiket ke museum maupun ke sumur maut masih harus berjalan kaki kira-kira 10 menit. Kalau malas jalan kaki bisa juga naik ojek 5rb, tapi saya sih memilih jalan kaki karena suasananya lagi pas banget. Mendung, menjelang sore, dan museum ini kan suasananya agak spooky menurut saya jadi enakan jalan kaki saja. Kami agak terburu-buru karena menurut bapak penjaga loket museum akan ditutup pukul 4 sore, sedangkan sumurnya ditutup pukul 5 sore. Wah, mesti mengejar waktu nih!

Kami langsung menuju ke museum utama. Awalnya kami sangat penasaran dengan rumah penyimpanan kain baju pahlawan revolusi yang masih berdarah (konon) namun ternyata jika ingin melihat bagian museum yang itu kami harus datang lebih awal karena jam 14 sudah ditutup. Bagian utama museum berisi diorama, ada yang kecil namun ada juga diorama yang besar berukuran manusia betulan (misal diorama penembakan Ade Irma Suryani dan kaburnya Jendral Nasution dengan melompati tembok belakang rumahnya).

[caption id="attachment_382415" align="aligncenter" width="350" caption="diorama pembuangan jenazah pahlawan revolusi ke dalam sumur maut"][/caption]

[caption id="attachment_382418" align="aligncenter" width="467" caption="foto para pahlawan revolusi yang dipajang berjejer"]

14184851751517823471
14184851751517823471
[/caption]

Diorama yang terdapat dalam museum utama jumlahnya banyak, setiap jendral yang ditangkap dan atau dibunuh di tempat dibuatkan dioramanya masing-masing. Di depan kaca penyimpanan diorama diceritakan kisah penangkapan secara rinci. Dari cerita-cerita itu, saya menyadari bahwa tidak semua pahlawan revolusi itu merupakan jendral/petinggi Angkatan Darat seperti yang selama ini saya kira. Beberapa di antara mereka merupakan tentara bawahan yang sedang bertugas menjaga rumah atasan mereka malam itu, kemudian ditembak karena mereka mempertahankan rumah atasannya. Sungguh tragis bukan, meninggal seperti itu tanpa mengetahui apa kesalahan mereka. Walaupun diorama itu berupa patung tapi dapat dilihat di foto di atas tentang diorama pembuangan jenazah ke dalam sumur maut yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Untung saja saat itu ada serombongan anak SD yang sedang karyawisata ke sana sehingga suasana agak ramai.

Pindah dari museum utama, memasuki bagian kedua, sama juga berisi diorama. Sampai di bagian ini hari sudah makin sore dan makin mendung, saya makin dag dig dug masuk ke dalam karena hanya saya dan Ingrid yang memasuki bagian itu. Diorama di tempat ini meceritakan keadaan kisruh setelah kejadian G30S PKI di berbagai dearah di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah yang disinyalir merupakan basis partai PKI. Ternyata memang suasana politik dan keamanan Indonesia di tahun 60an sangat mencekam. Orangtua saya dulu sering bilang, "kau belum rasa waktu tahun 60an, ngeri sekali, kita semua sembunyi di rumah tidak berani keluar. Toko-toko orang Cina banyak dijarah dan dibakar kemudian pemiliknya disuruh pulang kembali ke Cina karena semua yang berbau Cina dianggap komunis. Sekolah papi dulu sekolah Cina, ditutup jadi papi terpaksa pindah sekolah. Angkong (kakek) papi diusir dari Indonesia jadi kita semua anak-anaknya ditinggal di Indonesia karena cuma dikasih waktu 1 hari. Itu juga semua usaha ditutup jadi angkong sakit hati karena jerih payahnya selama ini bangun usaha di Indonesia jadi habis". Memasuki museum bagian ini dan melihat dioramanya saya baru betul-betul mengerti ternyata memang sampai sebegitu mengerikannya suasana waktu itu. Ada diorama orang-orang yang dianggap pendukung PKI, aktivis, mahasiswa, maupun seniman ditangkapi dan dinaikkan ke atas truk untuk kemudian dibawa ke mana dan tidak pernah kembali lagi. Pada hari pemakaman para pahlawan revolusi, setelah jenazah mereka ditemukan dan dievakuasi dari sumur maut, Jend. Nasution, satu-satunya yang selamat dari penangkapan itu berpidato seperti demikian :

1418485964862968219
1418485964862968219

Memasuki daerah ketiga di museum ini, daerah sumur maut. Kali ini langit sudah benar-benar gelap, sangat mendukung suasana mencekam yang sudah melanda saya. Di depan sumur maut didirikan monumen untuk mengenang para pahlawan revolusi, sedang sumur mautnya sendiri sudah dipagar dan dipasangi lampu warna merah dari dalam sumur. Kita tidak boleh membuang apapun ke dalam sumur tersebut. Konon sumut tersebut dalamnya 12 meter, namun selihat saya diameternya tidak terlalu besar. Bagaimana bisa lubang tersebut memuat jenazah sekian banyak, dalam bayangan saya apakah ada di antara mereka yang sudah tidak utuh lagi, entahlah =(

[caption id="attachment_382423" align="aligncenter" width="467" caption="sumur maut sudah dipagari dengan baik dan rapi"]

1418486193160233579
1418486193160233579
[/caption]

Bagian lain yang masih berada di dalam kompleks sumur maut adalah bangunan rumah-rumah yang di dalamnya ditaruh patung seukuran badan manusia, seperti diorama langsung di TKP. Rumah yang paling mencolok adalah rumah interogasi, di mana di dalam rumah itu duduk berjejer para jendral besar AD, ada yang dalam keadaan terluka, sedang diinterogasi oleh penjemputnya. Selain itu yang menambah aura seram adalah dipasangnya radio rekaman interogasi tersebut. Saya tidak tahan berada lama-lama di tempat itu, namun ini adalah sedikit gambaran diorama besar tersebut :

14184863991412832680
14184863991412832680
Akhir kata dari perjalanan saya, saya cuma mau menyampaikan bahwa ada baiknya sesekali kita merefresh pengetahuan sejarah kita supaya apa yang buruk jangan sampai terulang lagi. Tulisan ini pun ada di dinding salah satu museum berisi diorama. Museum ini bernama Museum Pancasila Sakti, yang tujuannya mengenang kesaktian Pancasila dalam menyelamatkan ideologi bangsa Indonesia yang saat itu hampir menjadi komunis. Tentu saja dalam keadaan politik yang panas seperti itu akan ada pihak yang merasa benar ataupun salah. Benar ataupun salah, tapi CARA menanganinya tentu harus bijaksana. Museum ini juga membuat saya sadar bahwa kita harus benar-benar pandai menjaga diri. Kekuasaan terhadap sesuatu dapat membuat orang sehebat apapun menjadi gelap mata, dan berakibat jatuhnya korban di pihak yang tidak tahu apa-apa. Saya tidak menuding jari ke salah satu pihak, namun yang namanya gelap mata dapat menimpa siapapun jadi apa yang sudah terjadi sebaiknya kita ambil hikmahnya, kita jaga diri kita, sehingga tidak merugikan orang lain. Dalam skala yang lebih besar : supaya Indonesia tidak perlu merasakan lagi seramnya suasana di tahun 60an tersebut. Terima kasih.

[caption id="attachment_382427" align="aligncenter" width="467" caption="Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan dan sejarahnya"]

1418486749262478832
1418486749262478832
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun