Mohon tunggu...
Weni Fitria
Weni Fitria Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Memperkaya pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Cerpen | Hilal Telah Tampak dan Cerita Tentang Seorang Bapak Tua

23 Mei 2020   19:19 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:19 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangan seorang lelaki tua|Foto:Pixabay

"Hilal telah tampak, "  bapak tua  yang sejak tadi duduk tidak berapa jauh dari tempat dudukku itu tiba-tiba berucap.

Ucapan yang entah ditujukan kepada siapa. Namun sontak membuatku terkejut. Betapa tidak, kami hanya duduk berdua. Suaranya yang terdengar tiba-tiba, mengagetkankanku yang tengah larut dalam lamunan tentang hari esok dan lebaran yang tinggal sehari lagi.

Dalam terkejutanku, kualihkan pandangan ke sosok bapak tua yang duduk setengah bersandar  di bangku halte yang tengah kami duduki. Matanya nampak terpejam   dengan tangan menggenggam tasbih. Tangan yang tampak kurus dan sedikit gemetar itu bergerak tiada henti seperti menghitung satu persatu untaian tasbih kecil itu. Mulutnya terlihat komat-kamit  tanpa bersuara.

Mulutku yang hampir terbuka untuk menanggapi kata-katanya, seketika urung berucap.  Matanya yang terpejam dan gerakan tangannya yang khusuk menghitung tasbih membuatku segan mengganggunya.

"Ah, biarkan saja, toh sepertinya bapak ini tidak bicara padaku. Lagi pula nampaknya dia tidak butuh tanggapan atas ucapannya barusan, " gumamku pada diri sendiri.

Sejak kedatanganku setengah jam yang lalu ke halte bis itu, bisa dikatakan kami belumlah bertegur sapa. Aku  datang ke halte itu untuk menunggu bus antar kota yang akan kutumpangi menuju kampung halamanku di kota sebelah. Jaraknya hanya dua jam perjalanan . Ketika aku tadi sampai di halte itu, bapak tua itu sudah duduk di sana. Dia duduk sendirian dengan mata terpejam dan tangan menggenggam tasbih. Disebelahnya tergeletak sebuah tas pakaian lusuh. Aku langsung berkesimpulan,  sepertinya bapak itu juga bermaksud menunggu bus di halte tersebut. Sama seperti diriku. Dan hanya ada kami berdua di sana siang itu.  

Aku bermaksud kembali pulang ke kota tempat tinggalku karena lebaran akan segera tiba. Lagi pula pekerjaanku di kota ini telah selesai. Bahkan bos tempatku bekerja memberitahukan kepadaku dan pada rekanku sesama pekerja untuk tidak usah kembali setelah lebaran. Bos  memberitahu bahwa setelah lebaran seluruh pekerja yang bekerja bersamanya akan dirumahkan. Semua dikarenakan krisis ekonomi yang tengah  tengah melanda dunia saat ini membuat ia terpaksa menutup usahanya untuk sementara waktu. Demikian ia memberi alasan.

Alasan yang tidak terlalu aku mengerti. Apalagi bagi diriku yang tidak terlalu paham dengan berbagai macam istilah ekonomi, termasuk krisis seperti yangdisebutkan oleh bos ku itu. Yang terbayang olehku ketika mendengar pemberitahuan itu adalah bagaimana perasaan istriku jika mendengar hal ini. Istriku tengah mengandung enam bulan dan belum lama ini berhenti bekerja  di sebuah tempat bimbingan belajar. Ketika itu ia memilih berhenti karena kandungannya mengalami masalah dan dianjurkan untuk beristirahat total oleh dokter.  

Sejenak kuhentikan lamunanku. Kuperhatikan sosok bapak tua itu. Kutaksir usianya mungkin sudah mendekati 60-an atau bahkan 70-an. Betapa ingin aku menanyakan kemana tujuannya siang itu. Sekaligus menanyakan kepada siapa dia bicara barusan. Serta apa maksud ucapannya tentang hilal yang  telah nampak.

Namun terpaksa kutahan rasa ingin tahuku. Karena nampaknya bapak  tua itu tak peduli sama sekali padaku. Lihatlah, matanya tetap terpejam dari tadi tanpa sedikitpun melihat kearahku. Atau bisa jadi dia memang tengah sibuk dengan dunianya sendiri, pikirku mencoba berprasangka baik.

Kembali kuteruskan lamunanku yang tadi terputus ketika mendengar suara si bapak tua. Ingatanku kembali melayang pada istriku yang tentunya akan bersedih saat nanti kukabarkan perihal berhentinya aku dari pekerjaan yang menjadi harapan satu-satunya bagi keluarga kami. Ditengah kondisinya yang mengandung pastilah berita itu akan memukul perasaannya. Bahkan mungkin ia akan merasa lebih terpukul daripada diriku sendiri.

"Ah, sudahlah, toh kita tak tahu hari esok seperti apa. Mudah-mudahan ada jalan terbaik bagi diriku dan keluargaku nantinya," kembali aku membatin pada diri sendiri. Lebih tepatnya mencoba menenangkan diri menghadapi situasiku saat ini.

Tiba-tiba suara klason mobil membuatku terkejut  untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku lebih tersentak dibandingkan saat mendengar suara si bapak tua tadi. Mungkin karena suara klason itu terdengar sangat keras di telingaku. Atau bisa jadi karena kehadirannya memang sudah aku tunggu-tunggu sedari tadi.

Sebuah minibus  kira-kira berkapasitas dua belas orang  berhenti tepat di depan halte itu. Melalui tulisan yang ditempel di dinding bus aku tahu bahwa itu adalah minibus yang menuju ke kota tujuanku. Aku langsung mengangguk ketika supir menanyakan apakah aku akan menaiki minibus tersebut.

Saat supir mempersilahkan aku naik, aku langsung  bergegas berdiri dan meraih tas pakaianku yang sedari tadi tergelatak begitu saja dekat kakiku. Akhirnya aku pulang, pikirku antara senang dan juga gundah tentunya.

Tiba-tiba langkahku untuk menaiki minibus terhenti. Aku kembali teringat tentang bapak tua yang sedari tadi duduk bersamaku di halte bus. Bisa jadi ia juga bermaksud menunggu bus yang sama denganku, pikirku.

Kubalikkan tubuhku kearah bapak tua yang masih setia duduk bersandar di bangku halte. Sejenak aku terkejut. Tasbih kecil yang tadi berada dalam genggaman tangannya tanpak terjatuh di lantai halte dekat kakinya. Tangannya nampak terkulai di kedua sisi tubuhnya. Matanyanya masih terpejam. Namun tak kulihat lagi mulutnya yang komat kamit.

Tergesa kudekati dia. Saat kuguncang pundaknya, aku termangu. Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kudapati bapak  tua yang tak kuketahui nama dan kemana tujuannya itu hanya diam. Tubuhnya yang terkulai hampir roboh, ketika kuguncangkan. Hal yang  benar-benar membuatku terkejut untuk ketiga kalinya. Kali ini rasa terkejutku melampaui saat klason bus memanggilku. Tentunya juga melebihi rasa terkejutku beberapa saat yang lalu,  saat bapak tua itu mengatakan hilal telah nampak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun