Mohon tunggu...
CHEIZA XAVIERA
CHEIZA XAVIERA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis (kalau mood)

Pecinta fiksi dan bibliophile, tapi malah berkecimpung di dunia teknik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Energy of Lazuardi

25 Mei 2024   02:14 Diperbarui: 25 Mei 2024   02:17 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Bumi. Suatu tempat dimana makhluk hidup tinggal, berinteraksi, hingga berevolusi. Berawal dari peristiwa bigbang yang kini membawa satu-satunya planet yang bisa dihuni sampai berusia 4,543 miliar tahun, setelah melalui begitu banyak fase perubahan untuk bisa dalam keadaan stabil selayaknya saat ini. Namun, dunia yang tenang tidak selamanya terlihat baik-baik saja. Bola biru di alam semesta yang nampak normal, kini tengah berjuang menghadapi transformasi akibat ulah manusia. Planet ketiga dari matahari ini sibuk bertahan akan ancaman perubahan iklim yang tidak bisa lagi diprediksi, lingkungan yang bersikap kontra pada tiap-tiap organisme, 'tak ketinggalan pula peristiwa yang merenggut banyak nyawa. Bencana alam yang terus terjadi seakan turut memperkeruh kondisi. Krisis pangan dan energi, serta pemanasan global bukan hal yang asing bagi telinga ribuan pribadi. Segalanya seakan kacau dan terlalu ekstrim untuk dibenahi. Presiden Indonesia, Joko Widodo (5 Agustus 2022) juga memaparkan, bahwasannya keadaan global tahun ini sulit dan tahun depan akan gelap, yang mana peristiwa tersebut terjadi di seluruh dunia, bukan cuma Ibu pertiwi. Bumi sedang dilanda kerusakan, berada di ambang kehancuran, 'pun diintai permasalahan pelik yang semakin menggeser tatanan kehidupan masyarakat penjuru negeri. Siapa yang dapat disalahkan bila sudah begini?

          Baik, problema sudah 'tak mampu lagi terhitung, apalagi jika harus diratapi satu per satu. Topik yang sekarang perlu ditelisik lebih jauh adalah pemanasan global, yang berujung pada ketidakseimbangan iklim. Kita patut berfokus ke cuaca yang berubah tanpa aturan, dahsyat berganti tanpa tentu. Sejak kapan dunia mulai tidak bersahabat? Oknum bagaimanakah yang wajib bertanggung jawab? Tidak perlulah mencari kambing hitam dan saling menuduh antar sesama penduduk buana. Kini, hendaknya kita menggalakkan perbaikan guna membantu bumi supaya bertahan sedikit lebih lama. Setidaknya, kita bisa mencoba menjadikannya lebih baik, jika memang mustahil mengubah ke keadaan semula. 'Tak ada salahnya berusaha, bukan? Terutama menyangkut keberlangsungan hidup khalayak ramai. Seluruh pribadi patut melek dan ikut memerhatikan lingkungan sekitar, sehingga kita mampu mencapai keadaan iklim yang netral atau neutral climate.

          Sedari dini, anak-anak bangsa telah digembleng untuk menghemat energi, sekian cara dijalankan supaya bisa menyelamatkan bumi. Mulai dari mematikan lampu bila tidak digunakan, berjalan kaki atau menggunakan kendaraan umum dengan harapan mengurangi penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil, hingga menanam pohon guna menghijaukan bentala. Tetapi, nyatanya, hal tersebut belum efektif, mengingat perlunya mencari alternatif energi, bilamana suatu waktu bahan bakar yang sudah mati-matian kita pangkas, benar-benar habis, tanpa sisa. Dilansir dari sumber Magdalene.co, Penelitian Millenium Alliance for Humanity and The Biosphere (MAHB) Stanford University (2019) menyebutkan bahan bakar fosil, migas, dan batu bara akan habis dalam 30 tahun, sedangkan cadangannya 'tak lagi tersedia pada 2052. Telah terlalu bergantung? Tentu saja. Tidak ada proses transisi yang mudah. Namun, kita harus beralih sesegera mungkin ke pilihan yang senantiasa ada. Tepat, energi terbarukan jadi jawabannya!

          Energi yang kita maksud ialah energi bagi kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, dalam arti tanah, air, bahan bakar fosil, cahaya matahari, dan berbagai sumber daya alam lain yang terdapat di bumi.

Komponen alam itu dipercaya para ahli sebagai alternatif pengganti bahan bakar yang setiap hari kita gunakan. Diharapkan, manusia tetap bisa melanjutkan hidup walau tanpa bahan bakar fosil, migas, dan bahan tidak terbarukan di masa depan, bila telah ditemukan dan dapat mengaplikasikan energi terbarukan yang sudah diteliti serta dikembangkan. Sekarang 'pun, beberapa daerah di permukaan butala perlahan beranjak menggunakan energi yang diklaim mampu membantu bumi, menghadirkan PLTA, PLTS, PLTU, termasuk PLTP. Selanjutnya dikenal dengan Energi Baru Terbarukan (EBT).

          Menurut berkas.dpr.go.id, EBT berasal dari terma energi baru, yang berarti semua jenis energi dari atau dihasilkan teknologi baru pengolahan sumber energi tidak terbarukan, dan sumber Energi Terbarukan --bermakna energi yang berasal atau dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Singkatnya, EBT merupakan energi yang berasal dari proses alam berkelanjutan atau sumber alamiah, memanfaatkan angin, geothermal, hydropower, surya, dan biomassa yang ketersediaannya berlimpah 'pun dianggap berpotensi untuk dioptimalkan. Bertujuan mencapai kondisi neutral climate, yakni usaha mengurangi gas emisi terutama karbon dan efek rumah kaca, tidak luput memulai tindakan penyerapan gas karbon melalui program target penurunan emisi (Net Zero Emission / NZE, netralitas karbon), yang ditargetkan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal.

Di antara lima strategi yang dipaparkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga, industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS), maka solusi yang patut dipertimbangkan salah satunya memajukan penggunaan laut bagi sumber energi.

          Laut Indonesia sangat kaya, bahkan keindahannya terkenal ke sudut-sudut kota di luaran sana. Planet dengan nama "Gaia" dalam bahasa Yunani ini mempunyai luas laut sebesar 3,25 juta km2 atau menguasai 71% area dunia, dikatakan 2/3 dari bumi ialah air, tepatnya didominasi lautan. Sedangkan Indonesia sendiri memiliki sekitar 6,32 juta km2 atau 62% luas wilayah NKRI (source: indonesiabaik.id). Sangat disayangkan, apabila brankas penting Nusantara tidak dipergunakan sebaik mungkin. Sebetulnya, sudah ada yang mulai melakukan penelitian terhadap potensi perairan kelautan bagi sumber energi alternatif yang baru, tetapi jelas hal itu belum cukup. Hendaklah pemuda bangsa berkontribusi lebih banyak dalam membantu menyelesaikan persoalan vital ini, sehingga mampu mendorong pengoptimalan harta yang termasuk murah dan melebihi kata berlimpah.

          Langkah seperti apa yang bisa diambil? Pertama, memanfaatkan air dan gelombang laut. Bahkan mengikutsertakan pasang dan surut. Kedua, mengobservasi sisi potensial dari arus laut. Seperti yang telah dicontohkan perusahaan pengembang energi arus laut dari Prancis, Naval Energies. Diketahui, teknologi yang digunakan terbilang sederhana dan ramah di kantong, daripada teknologi pembangkit umumnya. Yang ketiga, temperatur atau suhu. Perlu diingat, daerah dataran rendah, apalagi lokasi pantai dan laut, merupakan area dengan panas yang terasa menusuk, dibandingkan lingkungan pegunungan atau dataran tinggi. Hal tersebut disebabkan tekanan udara sangat tinggi, sehingga terdapat begitu banyak molekul udara yang bergerak cepat dan saling bertabrakan satu sama lain, lalu akhirnya menimbulkan suhu panas. Mirip seperti konsep efek rumah kaca (Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN dalam pemaparan kumparan.com). Dan terakhir, kekuatan gelombang yang dilihat dari pecahnya tamparan riak kala menerjang batu karang atau menerpa batuan dinding. 

        Ada cukup banyak ragam potensi EBT hanya dari satu sumber saja. Kita sudah bisa mengembangkan pembangkit listrik tenaga air, surya, bahkan uap. Indonesia sebenarnya mampu mempercepat penggunaan EBT tersebut, bilamana tidak terkendala teknologi untuk memanfaatkan tenaga laut, yang saat ini sedang diimpor dari luar negeri. Maka dari itu, inilah peran teruna negara mencetuskan serta memproduksi teknologi secara mandiri, tanpa harus mengimpor yang tentu memakan waktu guna pengiriman dan dana demi jasa. Padahal, tidak sedikit bahan baku pembuatan teknologi untuk memanfaatkan EBT diekspor oleh Indonesia. Alangkah banyaknya keuntungan yang dapat warga nikmati, jika produk tersebut dihasilkan tangan-tangan rakyat Nusantara asli, garapan anak bangsa. Sebuah kebanggan tersendiri karena memiliki generasi emas. Solusi meraih frasa di atas, hendaknya dikembalikan pada jawaban dari semua jawaban terkait kemajuan suatu negara, yaitu pendidikan.

          Tingkat majunya sebuah negeri selalu dinilai dari tinggi dan cakapnya pendidikan negara bersangkutan. Jadi, pemanfaatan energi apapun, bila tidak dikelola oleh SDM yang baik, maka akan lebih sulit untuk mengambil nilai fungsi dari lingkungan. Tanah tumpah darah kita memang luar biasa makmur, namun apalah gunanya demikian, jika penduduk 'tak mampu memanfaatkan. Semangat Indonesiaku! Eksplor pendidikan dan dayagunakan kekayaan seluas lautan, sebaik mungkin, demi pengoptimalan aset tanah kelahiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun