Saat proses riset data untuk esai ini saya menjadi teringat tentang pengalaman personal saya saat masih duduk di bangku SMP. Jadi dulu sekolah kami mengadakan tes psikologi kepada murid muridnya termasuk saya sendiri. Tesnya tidak terlalu rumit, bahkan sangat mudah. Karena kami tidak diberikan pertanyaan atau soal, hanya memerlukan sidik jari saja.Â
Proses pun tidak memakan waktu yang lama. Nah, tentu saja setelah semuanya selesai kami beristirahat sampai ada pengumuman dari pihak penyelenggara tes psikologi. 30 menit kemudian, hasil tersebut keluar. Dan dituliskan bahwa saya condong ke otak logika dan lebih cocok untuk menjadi seseorang yang profesinya menggunakan statistika. Namun ada sebuah masalah, saya tidak suka dengan statistika. Saya lebih suka ke bidang seni dan bahasa seperti yang saya lakukan saat ini.
Seperti halnya anak SMP biasa, saya bertanya kepada orang tua saya. Dan mereka berkata bahwa saya harus mengikuti apa yang data ditulis. Yang berarti saya harus meninggalkan bidang yang saya sukai untuk bidang yang saya kurang suka. Apalagi orang tua saya berkata, "Wendy harus ke SMK, laki-laki itu harus bisa kerja secepatnya."Â
Dan begitu juga dengan mantan guru saya, beliau juga memberitahukan hal yang sama tentang hal masuk ke SMK dan kerja. Namun berbeda dengan teman perempuan saya. Mereka malah diprioritaskan orang tua mereka untuk pergi ke SMA padahal hasil tes mereka lebih condong ke otak seni. Setelah saya bertanya ke beberapa teman perempuan saya, sebagian besar dari mereka menjawab, "Saya terpaksa masuk SMA karena saya disuruh mama." Mendengar jawabannya membuatku bertanya tanya. Apa arti perbedaan yang sebenarnya terjadi?
Kejadian seperti ini biasa disebut dengan istilah "stereotip". Melansir dari Dyah Gandasari Dkk dari bukunya yang berjudul Pengantar komunikasi antar manusia (2022) menyebutkan, stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.Â
Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Stereotip sendiri memiliki makna yang luas, tapi disini kita akan membahas tentang stereotip gender yang terjadi pada lingkungan sekolah.
Di bangku SD saya mencoba untuk mencalonkan diri saya untuk menjadi ketua kelas. Teman perempuan saya juga mencalonkan dirinya. Namun anehnya, dulu kami berdua tidak diberikan perintah untuk menyampaikan alasan kenapa teman teman yang lain harus memilih kami. Kami berdua hanya disuruh berdiri di depan kelas dan teman temanku yang lainnya diminta untuk memilih. Pada saat itu saya masih tidak tahu apa apa dan membiarkan hal itu terjadi. Setelah proses pemilihan, saya tidak mendapatkan vote dari teman teman saya.Â
Malahan teman perempuan saya yang mendapatkan pilihan penuh. Saya pun bertanya kepada teman teman, apa alasan mereka untuk tidak memilih saya, dan jawaban mereka adalah "Wendy kelihatannya gak pintar, Wendy gak cocok jadi ketua dan laki-laki gak cocok jadi ketua, ketua itu harus pintar." Mendengar perkataan mereka saya langsung duduk di bangku saya dan diam. Nah, pengalaman personal saya tadi adalah contoh sikap stereotip gender kepada murid. Stereotip ini sering dipakai oleh beberapa guru, orang tua murid atau bahkan orang orang yang kita kenal seperti teman teman saya pada saat di sekolah dasar.
Tetapi, kok bisa kita mempunyai pemikiran seperti itu? Karena otak kita cenderung untuk memilih daripada mencerna. Proses memilih ini dinamai bias gender. Melansir Berita Hari Ini dalam kumparan.com dengan judul artikel 'pengertian bias gender dan bentuk bentuknya yang muncul', disebutkan bahwa  bias gender adalah kondisi yang memihak dan merugikan salah satu gender sehingga menimbulkan diskriminasi gender.Â
Sederhananya, bias gender merupakan kecenderungan untuk lebih memilih salah satu gender daripada yang lain. Bias gender terkadang terbentuk tanpa disadari. Ketika seseorang mengaitkan sikap dan stereotip tertentu dengan orang atau kelompok tertentu, tanpa sadar sebenarnya ia telah melakukan bias gender.
Memang seberapa penting sih kesetaraan gender di kegiatan belajar mengajar? Pandangan berstereotip kepada murid, bisa mengurangi motivasi dan keinginannya untuk meraih mimpinya di masa depan. Tentu saja hal ini sangat merugikan bagi adik adik kita yang masih ada di bangku sekolah.Â