Pagi yang cerah sang surya menyapaku lewat jendela . Aku pun beranjak bangun namun kasur mencoba mengajak untuk melanjutkan mimpi yang tertunda. Meski berat, aku melangkah kan kaki untuk meyambut tamu sang surya yang sudah menghampiri seluruh ruang kosong di jendela fentilasi.
Dengan mata sedikit terpajam dan alam bahwa sadar belum pulih sepenuhnya. Aku menonton film Indonesia di salah satu TV Swasta. Film ini menceritakan tentang anak muda idealis berlatarbelakang sebagai seniman yang mecintai puisi. Dia mengagumi sosok W.S Rendra. Setiap goresan tulisa pusinya dipengaruhi oleh Rendra.
Di satu sisi dia menentang kultur tradisional yang dibangun atas doktrin agama namun disisi lain dia sangat menyukai seni tradisonal itu. Ayah beliau adalah seorang muslim yang taat dan soleh. Ayahnya mengharapkan sang anak untuk mengikuti jejak Ayah. Perselisihan demi perselisihan sering terjadi karena perbedaan cara pandang.
Ditambah sang anak menjalani tali kasih dengan putri cantik seorang pengusaha.Namun, mereka memiliki perbedaan keyakinan. kedua keluarga dari dari pihak pria dan wanita tidak setuju dengan ikatan tali kasih yang sudah lama mereka jalani. Waktu terus berjalan , hubungan mereka pun putus akibat keluarga yang tidak merestui. Meski film itu masih berlanjut dengan adegan kisah yang lain tetapi aku mencoba menggoreskan isi hatiku atas apa yang telah kucermati di dalam film itu.
Cerita film terlihat klise tetapi banyak kita temui di kehidupan sehari-hari. Perbedaan keyakin selalu menjadi pupus disaat kedua pasagan kekasih ingin menunjukkan kasih sayangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H