Mohon tunggu...
Wendy Lesmana
Wendy Lesmana Mohon Tunggu... lainnya -

sekolah alam

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Risalah Tentang Pengetahuan Modern

21 September 2012   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pagi itu aku duduk di pojok belakang, diantara 40 orang remaja dalam sebuah ruangan sempit tanpa AC, cukuplah kipas angin dan 4 jendela kecil, sebagai pengatur suhu dan sirkulasi udara. Sempat kulihat jam tanganku menunjukkan jam 07:35, saat orang yang berumur setengah baya memasuki ruangan, dan itu tandanya, proses perkuliahan akan segera dimulai. Dari jauh kuperhatikan penampilan bapak itu, dia memakai kemeja warna hitam, dengan setelan celana kain bewarna gelap, kulihat juga sepatunya, vantofel hitam, yang bau semirnya masih bisa kucium.

Beberapa saat, kelas menjadi sunyi senyap, membuat suara laptop yang baru dinyalakan oleh bapak yang duduk di depan tersebut, terdengar begitu nyaring, mengisi keheningan kelas. Kusempatkan melihat laptop yang menjadi sumber suara itu, dari jauh nampak ada gambar buah apel yang tidak utuh lagi disisi luarnya. Selanjutnya, sinar proyektor menyala, menarik perhatian kelas untuk fokus kedepan, dan mulailah si bapak itu bercerita seperti biasanya, perihal narasi besar, perihal teori-teori dan juga masalah sosial. Dia jelaskan panjang lebar apa itu yang dinamakan masalah sosial, lantas apa itu kemiskinan. Bagi dia, kemiskinan itu disebabkan oleh manusianya sendiri, mereka malas bekerja, apalagi mereka yang tinggal di negara ini, bisanya cuma mengeluh, tanpa mau berusaha dan bekerja keras. Masalah-masalah sosial dijelaskannya dengan ringan, dalam hukum kausal, hukum sebab akibat, tak ubahnya rumus yang ada di ilmu alam. Dia bilang bahwasanya apa yang dikemukan tadi itu benar, karena sudah terlegitimasi oleh beberapa literatur yang telah ia baca. Penasaran, kuperhatikan buku-buku diatas mejanya, samar-samar dapat kubaca nama-nama tokoh barat dari sampulnya.

Dan bapak itu terus beretorika, dan retorikanya masih tetap sama, saat pertemuan pertama dimana waktu itu dia memperkenalkan dirinya, menceritakan latar belakangnya. Kusimpulkan kala itu, dia adalah borjuis, dimana ketika melihat riwayat pendidikannya, rata-rata dia menempuh jalur pendidikan di sekolah-sekolah favorit, yang untuk masuk saja, dibutuhkan biaya ekstra.

Setelah 30 menit berlalu, dia akhiri dongengnya. Dibukalah sesi tanya jawab seperti biasanya, dan tentu saja, dengan aturan main yang sama pula, bahwa setiap argumen dan penjelasan harus didasarkan pada data. Tiba-tiba, seketika itu juga, ruang kelas menjadi ruang eksistensi, remaja-remaja berkacamata, berbicara, menjelaskan, menguraikan pandangan, dengan acuan buku yang kurang lebih sama dengan buku yang ada di meja depan. Akupun menyimpulkan teriakan-teriakan mereka, bahwa mereka masih ada dalam satu pandangan, dengan bapak tadi, bapak yang secara eksplisit menyatakan dirinya sang ahli tafsir realitas.

Sayang, kudapati kemudian, bahwa pandanganku sedikit berbeda, mungkin hal ini dikarenakan pengalaman yang aku lalui dulu. Dimana selama 5 tahun bekerja menjadi buruh pabrik di kota Gresik. Tentu saja kala itu, aku mengerti dan mengalami benar, apa itu yang disebut orang dengan Kemiskinan. Miskin kurasakan bahkan lebih, aku menjadi bagiannya, hingga membuatku faham benar tentang arti kerja keras, karena dulu, selama 5 tahun, kugadaikan waktu luangku dengan kerja lembur. Kuputuskan itu semata-mata untuk menambah penghasilan yang pada waktu itu masih dibawah UMR (upah minimum regional).

Refleksi itu kemudian bertranformasi menjadi aksi, kuputuskan untuk ikut mengada, dalam ruang yang penuh dengan mitos ilmiah. Ku katakan apa yang kurasakan, kujelaskan apa itu kemiskinan, kuceritakan apa itu kenyataan (realitas dilapangan). Ku ajukan pandangan, tanpa ada kutipan, hanya berdasar pada pengalaman, bukan dari buku-buku kebenaran. Saat dirasa cukup, ku akhiri ceritaku, disambut dengan wajah skeptis dan ragu dari penghuni ruang ilmiah.

Tanggapan telah aku perhitungkan, akhirnya... bapak itu menanggapi dongenganku, dia jelaskan dengan memposisikan diri sebagai juru kebenaran, dia katakan, “saat ini kita sedang berada dalam ruang ilmiah mas..., ruang ilmu pengetahuan, dimana setiap pendapat atau pandangan harus didasarkan pada data, data yang bisa dipertanggungjawabkan”. Jelas, kupahami bahwa beliau meragukan penjelasanku tadi, akan pengalaman yang memang benar-benar kualami. Mungkin, Hal ini semata-mata karena pandanganku tanpa dasar, dasar literatur (teks) yang katanya telah melewati uji kebenaran. Memang dalam realitas, kebenaran selalu berbicara tentang kesepakatan. Dalam oposisi biner kita juga melihat perbedaan antara benar dan salah, benar haruslah tidak salah, dan salah itu berarti tidak benar. nah lho... berarti jika ada dua pandangan yang berbeda, harus ada yang benar dan yang salah, dan yang benar itu adalah hasil dari kesepakatan, begitulah ketika aku diajari tentang dialektika pengetahuan.

Akhirnya, benar apa yang dikatakan Fuchs dan Ward, dalam buku George Ritzer yang berjudul Teori Sosial Postmodern, kebenaran (di zaman modern) selalu berbicara teks, karena semua didasarkan pada teks (literatur,buku, tulisan), segala sesuatu yang bukan teks (pengalaman individu Yang tidak dituliskan) akhirnya harus hilang dari penglihatan.

Blandongan, 21 Nop. 11

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun