Mohon tunggu...
Wendri Triadi
Wendri Triadi Mohon Tunggu... -

Me is Me....

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Propaganda Sebelum Pemilukada DKI”

19 September 2012   16:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:13 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya barusan baca pesan dari teman di group bbm , dia mengatakan bahwa :”Memilih pemimpin yang tidak seiman adalah haram (Al Maidah 51)”.

Lalu saya cek langsung di surat Al Maidah ayat 51, apa benar surat tersebut mengatakan hal demikian, ternyata memang benar adanya.

Setelah saya coba bengong sebentar dan mengingat-ingat bacaan yang pernah saya baca sebelumnya, maka saya mendapatkan  suatu tulisan dari bukunya Mohammad Hatta yang berjudul “Menuju Gerbang Kemerdekaan” Untuk Negeriku Sebuah Otobiografi Buku ke III di halaman 95 – 98 yang isi nya akan saya ketik dalam artikel singkat ini, supaya pembaca dapat memahami maksud dan tujuan dari cita-cita Muhammad Hatta tersebut.

PEMBUKAAN UUD 1945 DIGUGAT (Hal.95)

Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang menanyakan,dapatkah aku menemui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilakan mereka datang. Opsir itu,yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar, yang berbunyi , “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Akan tetapi, tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang – Undang dasar berarti mengadakan “Diskriminasi” terhadap mereka golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang – undang dasar, Mr. Maramis yang ikut serta dalam panitia Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr. A.A. Maramis Cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang 90 persen jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetepan itu adalah suatu diskriminasi. Pembukaan undang – undang dasar adalah pokok dari pada pokok sehingga harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian dari pada dasar pokok itu hanya mengikat sebagian dari Rakyat Indonesia, sekalipun yang terbesar, itu dirasakan oleh golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu, kalau di teruskan juga Pembukaan yang mengandung diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.

Karena opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini di dengung – dengungkan “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, Perkataan nya itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja di bentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat di atasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah diluar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalakan politik Devide et Impera, politik memecah dan menguasai. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkepala panas itu supaya mereka jangan terpengaruh oleh Propoganda Belanda.

TOLERANSI PARA PEMIMPIN ISLAM (Hal. 97)

Karena begitu serius rupanya, esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu, Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian Kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ke Tuhanan Yang Maha Esa”. Apa bila suatu masalah yang serius dan bias membahayakan keutuhan Negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.

Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana Undang0undang ke DPR, yang setelah di terima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem syariat Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Al Quran dan hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. Orang tidak perlu mengambil saja dari syariat Islam yang berlaku di negeri-negeri Arab dalam abad ke -8, ke-9, atau ke-10 yang pada waktu itu sesuai pula dengan keadaan masyarakat disitu.

Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Dalam bidang hukun perdata lainnya,hukum perniagaan  dan hukum dagang tidak perlu ada perbedaan. Dalam bidang-bidang ini mesti ada persatuan hukum bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Mungkin disana sini ada pengaruh adat sedikit dalam melaksanakan hukum, tetapi tidak akan mempengaruhi pokoknya yang asasi. Misalnya hukum yang menjadi dasar pembayaran dengan wesel atau cek sementara tidak dijalankan pada beberapa bagian Indonesia.

Kira-kira  puku 09.30 sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia di buka oleh ketuanya, Soekarno. Perubahan yang di setujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, di setujui oleh sidang lengkap Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan suara bulat.

Tanggapan saya :

Pendiri-pendiri Republik pasti pintar menafsirkan kalimat-kalimat dalam Al Quran dan pastinya lebih pintar-pintar dari pada pemimpin-pemimpin sekarang ini, Contohnya : Muhammad Hatta dan Wahid Hasyim. Apa yang mereka putuskan dan cita2kan itu yang tdk kita pahami sekarang ini...tetapi terserah pembaca untuk berpendapat apa?? yang penting Bravo Bung Hatta,,,heheheeee...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun