Wajar saja, jika komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas masih dipertanyakan. Harusnya masih segar dalam ingatan untuk aturan 2% tersebut. Tak ayal pelaksanaan fungsi eksekutif pemerintah dipertaruhkan. Bagaimana mungkin pemerintah bisa "memaksa" perusahaan swasta mematuhi aturan mempekerjakan 2% penyandang disabilitas, jika pemerintah sendiri tidak bisa memberikan contoh nyata dalam implementasinya.
Pembaruan kriteria perekrutan
Sampai saat ini, kriteria yang diminta secara umum selalu mewajibkan pelamar sehat jasmani dan rohani. Arti "sehat jasmani" inilah yang menimbulkan interpretasi bahwa tidak ada kesempatan penyandang disabilitas fisik untuk ikut dalam proses perekrutan. Ini tentu menguatkan paradigma mempekerjakan penyandang disabilitas hanya akan mempersulit dan tidak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan juga masih banyak dijumpai dalam masyarakat.Â
Jika penyandang disabilitas memang benar memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, kenapa tidak ada ruang kesempatan untuk mereka membuktikan? Sekelumit cerita yang banyak dijumpai di media menuliskan bahwa beberapa penyandang disabilitas terpaksa "diistirahatkan" lantaran mereka memiliki disabilitas fisik, padahal disabilitas fisik yang dimiliki secara logika tidak menghambat pekerjaan yang ada.Â
Untuk itulah, pemerintah harus memperbaharui kriteria perekrutan yang diberlakukan. Bisa dengan mehilangkan kriteria sehat jasmani, cukup sehat secara rohani. Ataupun dengan menyempurnakan kriteria "sehat jasmani" dengan "sehat jasmani (khusus penyandang disabilitas dengan mempertimbangkan derajat disabilitas yang dimiliki). Dengan demikian, selain akan membuka pintu kesempatan untuk penyandang disabilitas, juga akan turut meningkatkan kesadaran masyarakat akan kemampuan penyandang disabilitas.
Wendra Afriana, adalah pemerhati penyandang disabilitas.
Telp: 08561715004, email: weiyacb@gmail.com