Mohon tunggu...
wen kiwi
wen kiwi Mohon Tunggu... -

i'm just a little bit caught in the middle of life..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dimana Semangat Indonesia yang Dulu?

9 Juni 2010   08:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan dari seorang Siauw Giok Tjhan. sumber:wikipedia Indonesia Siauw Giok Tjhan (lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, 23 Maret1914 – meninggal di Leiden, Belanda, 20 November1981 pada umur 67 tahun) adalah seorang politikuspejuang dan tokoh gerakan kemerdekaanIndonesia dari golongan Tionghoa-Indonesia. Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November l98l, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden. Siauw sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng" sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu. Orang sederhana Ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang lain. Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru. Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar kakak iparnya (Ny. Siauw Giok Tjhan) ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, Ibu Siauw Giok Tjhan bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat. Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara Urusan Minoritas oleh KabinetAmir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (keretakuda) untuk ke ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta. Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja tulis. Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi kenegaraan Indonesian pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-DirekturBank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya. Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme". Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia. Siauw Giok Tjhan hanyalah salah satu contoh seorang warga negara Indonesia yang sangat mencintai dan menghargai negaranya. Masih banyak Siauw Giok Tjhan lain yang rela berkorban demi negara yang mereka cintai. Kemanakah semangat nasionalisme para pejabat negara yang seharusnya berjuang demi kemajuan bangsa dan negara? Dimanakah semangat Indonesia yang dulu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun