emisi karbon diluncurkan oleh PBB, Indonesia menjadi salah satu ngara yang berperan aktif dengan menindaklanjutinya dalam pemenuhan beragam target yang ditetapkan. Seperti yang diterapkan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), Indonesia menerapkannya dalam sejumlah kebijakan. Realisasi dan komitmen kebijakan tersebut dibagi kepada lima sektor yaitu limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan serta penggunaan bahan lainnya, dan sektor energi yang juga mencakup sektor transportasi. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari komitmen tersebut juga telah berhasil menurunkan emisi karbon dari tahun ke tahun.
Sejak inisiatif global dalam pengurangan"Sejumlah mitigasi juga tela dirancang dan dilaksanakan antara lain dalam bentuk perubahan RON ke yang lebih tinggi. Setelah tak ada lagi RON 80, pemerintah kemudian juga bergerak ke level lain yang dorongan agar penggunaan batrai listrik yang lebih diutamakan. Ini belum termasuk mandatory biodiesel dimana Indonesia menjadi satu-satunya negara yang telah menerapkan B35, untuk kemudian dinaikkan menjadi B40 pada tahun 2025 mendantang,"kata Menko Perekonomian Airlangga di Jakarta.
Dikatakannya lagi bahwa, manfaat langsung mandatory biodiesel yang mengkonsumsi 54,52 juta kilo liter minyak sawit, selain dapat mengurangi impor solar secara signifikan, dia juga mampu menyelematkan devisa tidak kurang dari Rp404,32 triliun.
Â
Konsistensi Indonesia dalam pengurangan emisi tersebut juga sudah bisa dilihat dari emisi karbon yang secara signifikan turun ke angka 945 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2020, 890 juta ton CO2 ekuivalen di tahun 2021, dan 884 juta ton CO2 ekuivalen di tahun 2022. Capaian penurunan emisi karbon tersebut perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan mengingat tantangan dan dinamika global saat ini dan ke depan akan lebih dinamis dan fluktuatif.
Tak sekedar bicara soal pengurangan emisi yang masih jadi persoalan di banyak negara, inisiatif seperti Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS)  di sejumlah daerah seperti  di Arun, Teluk Bintuni, dan Bojonegoro setara dengan  gudang di bawah tanah (ware house) yang biasanya akibat ekstraksi dari gas dan minyak.
"Potensinya adalah salah satu yang terbesar dengan pangsa pasar 25 sampai 30 dolar per ton, sehingga perlu ada regulasi secepatnya. Karena dari sana bisa dihitung pangsa yang bisa diserap dari pasar internasional dan berapa kewajiban pasar domestiknya. Jika ini bisa terlaksana, PLTU bisa ditarik, karena  bukan keberadaan pembangkitnya yang dilarang tetapi yang penting net zero emission-nya. Kemudian net zero emission-nya bisa kita tarik dengan pembakaran yang dicampur dengan blue ammonia, kemudian juga bisa karbonnya di likuifikasi, ditransportasikan, dan dimasukkan kembali ke dalam tanah. Dengan itu Indonesia bisa menyelesaikan net zero emission," ujar Menko Airlangga.
Dalam isu green energy itu juga, Indonesia banyak terlibat di berbagai inisiatif global antara lain dalam ASEAN Zero Emission Community, Just Energy Transition Partnership Program, hingga Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Termasuk juga dalam isu green economy yang berkaitan dengan  green energy. "Pendananannya antara lain datang dari AS, dan disandingkan dengan inisiatif yang dilakukan Indonesia dengan dorongan dalam beberapa pipeline yang beberapanya sangat mereka minati seperti geothermal  energy dan waste to energy," kata Menko Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H