Budaya badoncek adalah budaya sosial masyarakat Minang yang dipakai dahulunya dalam bentuk saling memberikan sumbangan secara materil untuk menopang kegiatan publik atau wujud spontanitas membantu anak nagari memenuhi kebutuhan individu yang tertimpa musibah. Bahkan lebih dari itu badoncek sebagai media menyukseskan semua kegiatan pembangunan infrastrukut untuk sosial di tengah-tengah nagari.
Istilah badoncek pada saat ini tidak lagi populer dikalangan masyarakat Minang secara utuh. Keadaan ini disebabakan pada era rezim Soeharto melalui kebijakan sentralistiknya menggalakan program sosial khusus masyarakat yang dinamakan dengan gotong royong. Akhibatnya budaya badoncek tersebut nyaris punah.
Jika dibandingkan nilai-nilai badoncek dengan nilai-nilai gotong royong sangat berbeda. Secara filosifi budaya, maupun dasar korenah nilai adat isti adat Minangkabau yang ada dimasyarakat. Namun secara tujuan akhir memang sama, kedua-keduanya merupakan kegiatan membantusesama masyarakat.
Perlu dipahami nilai-nilai badoncek yang diwujudkan ditengah masyarakat Minang tempo dahulu adalah suatu kegiatan sosial kemasyarakatan yang saling bantu membantu berdasarkan nilai adat basandi syarak-syarak basandi kitab bullah (ABS-SBK). Melalui ikatan adat isti adat yang dikendalikan melalui budaya reward dan budaya punishment antara masyarakat Minang yang terlibat didalamnya.
Sekarang, budaya badoncek tidak lagi mengaung sebagai budaya Minangkabau yang menguntungkan Masyarakat seperti dahulu. Terkesan dikalangan para tokoh masyarakat Sumbar, budaya badoncek ini sekedar kebiasaan luak rantau Piaman saja. Akhirnya budaya badoncek tersebut tidak lagi memiliki tempat di jantung rang Minangkabau sebagai nila-nilai yang memberi kebaikan untuk semua.
Sikap yang mengatakan budaya badoncek itu hanya milik luak rantau piaman, itu merupakan pemahaman yang keliru dan salah. Budaya badoncek pada dasarnya merupakan sosial budaya Minangkabau yang menganut filosifi ABS-SBK sudah hilang dan perlu kembali digalakan.
Saat ini sosial budaya badoncek sangat dibutuhkan oleh rang Minangkabau untuk membangun dan memajukan daerah yang sudah jauh tertinggal. Perlu dipahami sama-sama bahwa masyarkat Minang memiliki keterbatasan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Jika tidak ada budaya badoncek di Minangkabau sebagai solusi, berakibat pembangunan di Minangkabau tidak akan berhasil.
Pembangunan yang ada ditengah masyarakat sebahagian besar diselesaikan melalui peran nilai kebersamaan, alias badoncek melibatkan banyak orang tanpa melihat latar belakangnya. Mari ambil contoh seperti pembangunan Istano gadang pagaruyuang yang hangus ditelan api pada tahun 2012.
Sekarang pembangunan rumah gadang tersebut telah selesai. Istana tersebut sudah kembali megah. Pembangunan tersebut sukses karna Bupati Tanah Datar membuka diri dan menghimpun donasi sumbangan melalu budaya badoncek ditengah masyarakat Minang. Baik yang ada dirantau maupun yang ada dikampung untuk membangunnya.
Begitu juga pembangunan jalan layang kelok sembilan yang sekarang dinikmati oleh masyarakat Sumatra Barat untuk berpergian ke Pekanbaru. Kesemua prosesnya juga melalui pelibatan banyak pihak. Dimulai dari perencanaan dan lobby-lobby agar proyek ini bersekala nasional melibatkan kalangan yang duduk di eksekutif, legislatif dan tokoh Minang ditingkat nasional.
Mereka sama-sama menyetujui bahwa pembangunan jalan layang kelok sembilan tersebut dibutuhkan. Langkah kebersamaan ini sudah ada diera Gubernurnya Ajo manih menjabat (Almarhun Drs. Zainal Bakar), akhirnya pembangunan dilanjutkan oleh Gamwan Fauzi, dan Irwan Prayitno, yang sekarang kelok sembilan sudah bisa dinikmati masyarakat.