Mohon tunggu...
Yohanes Wempi
Yohanes Wempi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aktifis bermasyarakat, fokus bergerak dibidang budaya minangkabau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Robohnya Rumah Gadang Minang Kami

9 Maret 2015   09:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:57 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425869814359576174

[caption id="attachment_354761" align="aligncenter" width="282" caption="Rumah Gadang Minang Roboh"][/caption]

Pengaruh kehidupan globalisasi akibat keterbukaan informasi pemikiran telah meruntuhkan sendi-sendi adat istiadat Minangkabau, kondisi ini dapat dilihat dari perkembangan sosial budaya orang Minang yang telah meninggalkan nilai luhur adat istiadat secara lahir, hal ini diwujudkan dengan telah usang, bersemak-semak dan robohnya rumah gadang (baganjong) di daerah pedalaman Minangkabau, seperti Tanah Datar, Solok, Lima Puluh Kota, dan daerah lainya.

Keberadaan tidak terawatnya rumah gadang Minangkabau tersebut sebagai simbol nyata telah mulai runturnya nilai-nilat adat istiadat yang ada di ranah bundo secara menyeluruh. Tidak mustahil dimasa depan keberadaan rumah gadang di Minangkabau hanya tinggal oretan sejarah, begitu juga pengamalan sosial budaya Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) juga hilang. Jika keadaan ini terjadi betapa mirisnya perasan maka sangat wajar robohnya rumah gadang Minang Kami menjadi pemikiran yang perlu diselesaikan.

Penulis selaku pengamat dinamika sosial budaya Minang menyayangkan keadaan diatas terjadi ketika pemimpin di negeri Minang ini kebanyakan berlatar belakang penghulu atau memilik gelar datuak selaku pucuk adat, sosok pemegang teguh sako jo pusakon lamo. Kesemua keadaan ini terkesan telah terjadi pembiaran secara sistimatik simbol-simbol adat istiadat Minangkabau tersebut ditelan masa.

Pertanyaan, apakah orang Minang senang melihat rumah gadangnya roboh atau dibiarkan hilang ditelan masa dan berobah akibat pengaruh sosial budaya asing. Penulis yakin sebahagian besar orang Minang dikampung dan diperantauan tidak akan gembira melihat keadaan ini. Tapi menganggap keadaan ini terjadi dan tidak menjadi persoalan serius bagi orang Minang yang perlu diselesaikan.

Maka sangat pantas rasanya dengan keadaan tersebut penulis mengulangi lagi keperihatinan terhadap robohnya nilai adat istiadat rumah gadang Minangkabau setelah AA Navis mengkritisi secara tajam dinamika negatif penganut agama yang diuraikan dalam karya Cerpenya dengan judul “Robohnya Surau Kami” yang sangat terkenal pada era tahun 1955 sampai sekarang.

Perlu rasanya mengulang sekelumit nilai-nilai sosial budaya dari penjabaran Cerpen karya AA Navis tersebut untuk sama-sama dipahami oleh generasi adroid. Dalam tulisan Cerpen digambarkan bahwa “Robohnya Surau Kami” tersebut bercerita tentang seorang kakek diusia senja yang hidupnya dihabiskan sebagai seorang penjaga surau (Garin) yang taat beragama.

Namun, karena suatu peristiwa cerita bualan seseorang (Ajo Sidi) dan fitnah akhirnya kakek penjaga surau (Garin) itu meninggal bunuh diri dengan sangat menganaskan diluar akal sehat. Penyebab adalah tertekannya kondisi psikologis dari kakek penjaga surau itu sehingga nekat bunuh diri hanyalah sebuah cerita bualan atau ota mengada-ada dari Ajo Sidi yang sedikit banyak sangat menyentuh perasaan kakek tersebut.

Pada awalnya yang perlu sama dipahami, semasa Garin ini hidup, surau tempat ibadah yang dijaga oleh kakek adalah sebuah surau yang sangat teduh, nyaman untuk bersembahyang dan selalu melaksanakan aktivitas syiar Islam dengan sholat lima waktu sehari semalam terlaksana berjamaah, serta kegiatan wirid rutin terlaksana. Surau yang boleh dikatakan hidup nilai-nilai agamanya.

Ternyata keadaan begitu terbalik saat kakek penjaga surau (Garin) tersebut telah meninggal dunia. Surau tersebut terlantar, tiada yang merawat dan menjaganya, dalam Cerpen AA Navis yang pernah mengenyam pendidikan formal di INS Kayutanam, Padang Pariaman ini menggambarkan juga bahwa akhirnya menjadi surau tua yang tidak lagi terawat dan sangat usang. Parahnya surau itu berubah menjadi tempat bermain anak-anak tanpa mempedulikan kesakralan karena tempat ibadah, dan yang lebih menyedihkan bilik serta lantai kayu surau itu dijadikan sebagai persediaan kayu bakar bagi penduduk sekitar.

Begitu AA Navis menjeleskan betapa berdinamika kondisi kehidupan orang Minangkabau dalam pandangannya menyikapi runtuhnya nilai-nilai agama ditengah masyarakat. Jika mau sportif menyimpulkan penjelasan makna dari cepen AA Navis tersebut sudah terjadi juga pada rumah gadang Minangkabau, yang sama-sama bisa dilihat secara mata telanjang tanpa bermaksut menyeretnya kedalam ranah politis.

Rumah gadang merupak simbol bangunan yang mencerminkan nilai-nilai filosofi adat istiadat yang sakral, semua sisi kontruksi dari bentuk rumah gadang memiliki arti sosial budaya yang memiliki makna pelajaran dan hikmah tinggi untuk orang Minang, missal nilai-nilai yang dikandung dalam awal proses pembangunan fisik inprastrukturnya ada nilai musyawarah mufakat, ini adalah wujud kebersamaan atau ukhwah. Bentuknya bagonjong seperti tanduk kerbau ada juga maknanya, dan bentuk fisik lainya.

Robohnya rumah gadang Kami saat ini tidak hanya dalam kondisi usang, bersemak-semak akibat rumput liar atau runtuh dimakan usia karena tidak ada perawat secara fisik. Tapi robohnya rumah gadang sudah terjadi juga dalam bentuk pembangunan gedung instansi baru pemerintah daerah yang tidak menyesuaikan dengan bentuk utuh rumah gadang (bagonjong), terkesan dibuat dalam bentuk fisik rumah bagonjong abstrak atau bentuk rumah gadang jadi-jadian (serupa tapi taksama).

Pembangunan kantor dan fasilitas pemerintah yang berbentu rumah bagonjong absrak (jadi-jadian) diantaranya dapat dilihat dari tanpilan fisik bangunan Kampus Universita Andalas di Limau Manis, bangunan Mesjid Raya Sumatra Barat, bangunan olah raga di gor H. Agus Salim, Bangunan Pasar Banto Bukittinggi, plang nama beberapa instansi pemerintah. konon kabarnya rehap Gedung Kantor Gubernur Sumatra Barat juga dibuat dalam bentuk rumah gadang Minang yang tidak utuh asumsinya alias rumah gadang jadi-jadian tersebut.

Kritikan terhadap pembangunan fisik gedung yang dianggap menyerupai rumah gadang diinstansi pemerintah yang tidak membangu fisik dalam bentuk rumah gadang Minangkabau secara tidak utuh perlu dihindari atau sangat ideal dilarang. Mari bercermin kedaerah Bali yang konsisten menjaga serta mengemembangkan bangunan fisik budayanya, yang pada akhirnya menjadi daya tarik khusus sebagai sarana untuk kesejahteran dan kebahagian masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun