Mungkin tidak pernah terpikir(kan) bagi Anda-Anda sebelum-sebelumnya, bahwa(sanya) kita-kita penutur bahasa Minang tulen ini tidak memiliki leksikon/leksem dan yang orisiniil. Bagi kita-kita yang mengikuti sistem pendidikan mayoritas di Indonesia, tentu kiranya mengetahui daripada bahwasanya adalah pelajaran bahasa di negara kita ini sekurang-kurangnya menuntut kompetensi akan empat bahasa: inggris, arab, bahasa Indonesia sendiri (ragam baku/formal), dan bahasa daerah/dialek/aksen (restricted code) yang dengan sendirinya (unconscious acceptance).
Tiga bahasa pertama (arab, inggris, dan indonesia itu) memiliki kosakata dan (and dan wa). Khusus bahasa minang (mungkin juga kasus yang sama menjangkiti bahasa-bahasa daerah lainnya), kata dan ini penggunaannya diwakilkan kepada kosakata jo yang secara leterlek lebih berarti atau bermakna: dengan, serta, bersama, dan sejenisnya. Selain itu--sebagaimana ditulis Professor Hermawati Sarif dari Universitas Negeri Padang dalam bukunya tentang konjungsi koordinatif lintas bahasa--hasil penelitian-penelitian para akademisi minanger`s menunjukkan bahwa "fungsi dan ini" dalam bahasa Minang bisa juga dimarkahi oleh elemen ekstra/paralinguistik berupa "jeda" (atau koma dalam penulisan). Disebutkan juga berkait fenomena ini, terdapat ciri khas bahasa Minang yang terdiri atas banyak klausa (yang dipisahkan jeda konjungsi setara ini) dalam satu kalimat yang bisa sampai sembilan (kecuali delapan klausa berdasarkan data yang bisa didapat?)
Dijelaskan--dan dicari-carikan makna yang membangga-banggakannya--bahwa ketiadaan kosakata khusus dan ini dalam bahasa Minang terkait dengan watak kebudayaan minang yang egalitarian. Untuk sesuatu yang jelas-jelas setara (dua atau lebih klausa), kecerdasan orang Minang mengkonsensuskan komunikasinya tidak perlu lagi eksplisit menggunakan konjungsi yang diverbalkan. Tapi untuk konjungsi intra-frasa, kenyataannya "kecerdasaan" tersebut masih eksplisit membutuhkan kemunculan kongkrit markah makna dan yang digantikan oleh kata jo. Dalam buku yang menjelaskan problematika hal ini tersebut, ada mungkin yang sedikit khilaf namun fatal ketika beliau mendalilkan ini kepada teori semesta-bahasanya antropolog Sapir-Worf dimana repertoire bahasalah yang membentuk pikiran kemudian selanjutnya world view bukannya lingkungan/konsensus budaya Minang yang membentuk kosa kata itu sebagaimana argumen-argumentasi yang pembantah hipotesis tersebut.
Daripada Anda bingung dan karena tak tuntas dan tak punya waktu untuk meneliti lebih lanjut supaya lebih paham lalu mengambil opini prematur bahwa linguistik atau ilmu bahasa ini doyan betul merumit-rumitkan hal yang sebetulnya sederhana tapi kadang malahan suka menyederhana-nyederhakan situasi yang esensinya rumit sebenarnya (sebagaimana dikatakan murphy law bahwa tidak ada yang sesederhana yang terlihat), baiklah saya akan membicarakan masalah ini dari sudut tinjauan romantisnya saja, okay?. Tidak ada salahnya kira Anda sedikit pengertian bahwa studi ini bagaikan jeruk menjelaskan jeruk karena jika dalam ilmu lain seperti sains/teknik misalnya bahasa hanyalah alat pengantar saja cuma tok dan angka-angka bisa menjelaskan maksud maka disini si jeruk harus membahas itu jeruk apakah itu. Jadi wajar agak mbulet sedikit yaaaa....
Okeh sebegindang dulu, kapan-kapan nanti novel ini kami lanjutkan. Harap maklum, sedang ada hal lain yang mendesak untuk saya "anukan". Sekedar hadir dulu. Lama sudah atau sudah lama nih komporsiana tak aq "bikin rame" dengan ide-ide non-produk (opini) massal dan asal beda. Hehe!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H