Mohon tunggu...
Wemmy Al-Fadhli
Wemmy Al-Fadhli Mohon Tunggu... gembel -

Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya gak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir kan cuma selangkah. (Bob Sadino)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arti Kata Saok dalam Bahasa Padang

25 Desember 2015   08:07 Diperbarui: 25 Desember 2015   08:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu berlalu aq menghadirkan diri ke rumah salah seorang temanku yang mamanya baru saja meninggal dunia. Bisa dibilang karena temen yang satu ini adalah yang terdekat dengan aq ketimbang anak-anak lainnya di lingkungan rumahku. Kalo lagi menggelinding ke Jakarta aq biasanya pasti sempetin mampir ke kontrakan/kedainya barang 2-3 hari walau beliau sudah punya anak-isteri. Walau untuk dibilang sebagai sohib-sohib banget ya susah juga lah. Tentu tak ada orang yang persis visi hidupnya seperti kita; bahkan keluarga inti. Sebagai sampel salah satu sohib yang lainnya saja bukan sekedar sepermainan tetangga lagi tapi juga sesekolahan bahkan sedarah pada kakek kami yang banyak istrinya; sekarang atau tepatnya sudah bertahun-tahun ini kami jarang ketemu dan tidak lagi merasa dekat. Faktor penyebabnya menurutku dua ini yaitu (1) karena ia menempuh jalur fanatisme agama dan (2) aq hidup miskin hehe. Tapi sampai-sampai untuk tidak berteman lagi ya tidak juga; apalagi kami masih punya hubungan keluarga. Kalau benci-benci dikit mungkin dia ada karena persoalan beda firqoh ini; makanya kini ndak pernah lagi meneruskan kebiasaannya yang mendatangiku untuk silaturrahmi. Ada contoh lain, salah satu teman dekat cukup lama juga bertahun-tahun semasa kuliah kini juga saling gak komunikasi denganku. Namun kuyakin itu juga gak sampai musuhin banget melainkan cuma karena lagi gak punya kepentingan aja. Ya itulah dunia realita.

Bicara realita, sekarang aq kembali akan membahas soal kata-kata dalam bahasa daerah minang atau lebih tepatnya padang pinggir kota yang berpotensi akan punah. Di rumah teman pertama yang kuceritakan tadi--setelah sekian lama tidak intensif berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan orang lain--saya mendengar sebuah kata yang sudah bertahun-tahun kuping telingaku tidak pernah mendengarnya lagi. Buyung Simu--begitu julukannya--bercerita kepadaku, Ajun, Si Il, dan Miezaa tentang Mencos Tompel adik Enol yang kini berprofesi sebagai "semacam tukang palak" di bukik saok, sebuah lokasi semacam katakanlah wisata alam kecil-kecilan di daerah lubuk minturun, Padang. Obrolan kami sampai ke hal ini karena aq bertanya-tanya pada mereka tentang air terjun tujuh tingkat yang kulihat di website youtube; apakah hulu dari sungai lubuak minturun ataukah sungai bangek di sebelah sananya. Terus terang kemaren itu aq agak tersinggung melihat dokumentasi tentang tempat ini dari seorang perwira kanit intelnya korem wirabraja padang yang bukan orang asli sini. Sementara gw yang ras lokal koq gak tau menau tentang tempat ini. Walau masih bisa dimengerti karena kawasan hutan bukit barisan pada hulu sungai-sungai lubuak minturun ini adalah lokasi latihan/pendidikannya para tentara prajurit tamtama.

Yang lebih miris adalah ketika keyword lubuak/lubuk minturun ini ditik ke kotak searching google, foto dan video tentang air terjun tujuh tingkat ini justru muncul pada peringkat teratas yang diindeksnya. Rugi banget rasanya ketika masyarakat dunia maya searching informasi tentang daerah kelahiran dan kediamanku ini yang nongol adalah tempat-tempat yang gw sendiri tidak tahu! Memang sih tempatnya terlihat indah macam wallpaper windows saja; dan segala dokumentasi foto atau video tentangnya baru-baru semua data uploadnya. Artinya baru akhir-akhir ini lokasi itu "dirambah" oleh "orang kotamadya". Untuk itulah aq kira tepat kiranya dikonfirmasi pada sohib-sohibku yang orang kampung asli karena gw merasa agak tercemar kota sedikit karena sekolah dan mainnya sudah keluar dari kampung kami. Dan ternyata hanya Buyung Simu pulalah yang tahu di antara kami yang berkumpul waktu itu. Ternyata betul. Lokasi tersebut ada di hulu sungai lubuk minturun.

Tapi eh tapi sebenarnya yang hendak dibahas kali ini adalah hal-hal bahasa ya bukan soal pariwisatanya hehe. Bukik saok seperti yang disebut oleh Buyung Simu dicentengi Mencos Tompel tadi adalah bunyi bahasa minang/padang yang artinya bukit tutup. Ya, jadi saok disini artinya adalah tutup/menutup. Variannya morfologisnya ada saok-an (tutupi/tutupkan/tutupin), manyaok (menutup), disaok (ditutup), basaok (bertutup/tertutup), basaok-an (ditutupi), tasaok (tertutup), dan saoklah (tutuplah). Saya yang pasti tahunya ini adalah bahasa orang padang pinggir kota dan ndak tahu apa juga digunakan orang minang padang umumnya. Makanya sewaktu Buyung Simu menyebut istilah bukik saok yang artinya bukit tutup yang untuk pertama kalinya kami dengar sebagai sebuah frase terasa menjadi kelucuan tersendiri: bukit kok ditutup? Apalagi terasa jadi bernuansa humor ketika disebut salah satu teman kami Mencos Tompel menjadi "pemilik" bukit tersebut. Kalau aq menduga pemberian nama saok ini karena mungkin lokasinya sudah mulai masuk hutan lebat pegunungan bukit barisan yang memisahkan dengan kawasan pemukiman dan ladang penduduk. Disebut-sebut oleh sejarah adat bahwa asal muasal leluhur kami orang sekitar lubuk minturun adalah Kanagarian Saniangbaka Kabupaten Solok yang ada di balik pegunungan itu. Konon katanya kakekku sendiri masih biasa untuk jalan kaki ke rumah gadang kami disana dahulu kala. Tentu saja dengan metode ninja hatori: mendaki gunung mengarungi lembah!

Kembali ke kata saok. Kata ini menarik untuk dicatat bukan sekedar karena aq merasa geli sudah lama bertahun-tahun tidak mendengarnya. Namun karena kata ini bersinonim persis dengan kata lainnya yakni [tutuik] yang homofon dengan kosa kata bahasa indonesia yang berarti tutup tersebut. Kasus pada kata sangan (sampai) yang saya tuliskan beberapa waktu lalu juga pola kepunahannnya terlihat menimpa pada kata ini. Saya juga menduga kata tutuik ini tidak orisinil minang, melainkan pengejaaan dialek minang dari alofon-alofon yang lumrah dalam "spelling" bahasa indonesia/melayu. Popularitasnya akan tergenjot karena lebih mirip bunyinya dengan bahasa indonesia yang makin lebih sering digunakan/didengar. Walhasil, ada kemungkinan kata saok tersingkir dan suatu saat tidak akan pernah digunakan dan didengar lagi oleh orang minang asli. Tapi mudah-mudahan--selain lewat tulisan ini--adanya istilah 'bukik saok' di daerah lubuak minturun bisa sedikit membantu untuk mengabadikan kosa kata ini sebagai bahasa asli orang minangkabau/padang. Saat-saat ini mungkin hanya kaum tua di kampung-kampung yang masih lebih spontan untuk menggunakan kata ini daripada sinonimnya yang berbunyi mirip-persis dengan bahasa indonesia yang makin lebih lumrah untuk digunakan masyarakat. Kalau para kaum tua ini sudah wafat maka punahlah beberapa kosa kata dalam bahasa eksotik kami; karena anak-anak muda tentunya terlalu sibuk dengan berbagai urusan lain untuk mau tahu dan peduli tentang "masalah" ini. Oke, analisisnya saya 'saok' dulu sampai disini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun