Mohon tunggu...
Wemmy Al-Fadhli
Wemmy Al-Fadhli Mohon Tunggu... gembel -

Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya gak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir kan cuma selangkah. (Bob Sadino)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fenomena Pornetgrafi Pada(hal) Toko Online

14 Desember 2015   13:54 Diperbarui: 14 Desember 2015   18:51 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah heboh-heboh berita papa minta saham, mama tak lagi minta pulsa karena ditangkap polisi, hingga teroris minta surga dan musuh teroris dituduh cinta duniawi fana ini, dunia media sosial pada penghujung tahun 2015 ini diramaikan pula oleh harbolnas. Hari belanja online nasional, begitulah muasal penyingkatannya. Seolah ini sebuah gerakan nasional resmi negara ataupun upaya promosinya seperti hari santri, hari blogger, ataupun hari ketahanan nasional yang tak mulus jua diperjuangkan kedudukan politiknya sebagai fakta sejarah pemerintahan darurat republik dulu di Sumatera. Seolah juga harbolnas ini semacam tepuk tangan menyambut "Masyarakat Ekonomi Asean" yang resmi berlaku di Indonesia sehabis tahun ini. Dominasi jumlah kaum muda indonesia yang tergolong generasi gadget membuat hal-hal begini akhirnya gegap gempita juga. Terlebih setelah itu ada pula kegaduhan mengenai "manipulasi" harga yang katanya dinaikkan dulu tinggi-tinggi baru dijatuhkan dengan diskon segila-gilanya. Kalau tidak tahu harga pasaran barang dan tak punya waktu ngecek ya ketipu deh. Tapi sulit juga untuk menuduh ini manipulasi karena bukankah itu strategi bisnis semata. Lagian perdagangan dan dunia tipu menipu itu sudah kayak suami istri sulit dipisahkan. Bahkan kata-kata berbau positif seperti integritas dan kredibilitas sekalipun bisa jadi hanya sekedar senjata marketing alias alat promosi juga.

Cara pandang saya yang negatif ini akan saya lanjutkan pula dengan sebuah fenomena yang sejauh amatan negatif saya masih jarang didiskusikan publik. Beberapa tahun belakangan ini situs-situs pornografi yang tidak bermoral itu sudah tergolong sulit untuk diakses di Indonesia. Ini katanya berkat jihad cyber seorang menteri kominfo zaman Pak SBY yakni... sudahlah tidak usah saya sebut nama, kita sudah tahu sama tahu, nanti tambah terkenal dia. Politikus sekaligus ulama dari partai religius yang dituduh mirip ISIS ini memang sekarang seperti hilang di telan bumi suaranya. Terlebih fitnah korupsi dan poligami tengah bertubi-tubi tengah mendera partainya. Apapun ceramahnya pada rakyat akan beresiko disuruh ngaca. Namun perlu kita catat, sewaktu berkuasa beliau cukup sukses melibas viralnya konten pornografi di internet sebelum-sebelumnya. Bahkan tak tanggung-tanggung situs video umum seperti vimeo pun kena getahnya meski mencuat isu tak sedap bahwa web ini diblokir karena memuat fitnah tentang kelakuan kader partainya. Walhasil hingga sekarang banyak orang mendapat rezeki proyek perang melawan industri pornoisme yang akan selalu tumbuh, berinovasi, bermutasi hingga akhir zaman; sepanjang ia laku untuk dilempar ke pasar syahwat manusiawi.

Di saat bersamaan sekarang mulai makin booming industri e-commerce di dunia maya orang indonesia. Setelah upaya rintisan besar-besaran oleh marketplace plasa dot com beberapa tahun silam sepertinya sudah sakratul maut, baru akhir-akhir ini perdagangan dunia maya ini mampu lebih massif menarik pasar. Ini seiring dengan makin tumbuhnya populasi massa generasi gadget yang melek teknologi. Kalau partai politik masih belum mampu merasuki mereka selain pada kasus fenomena ketokohan Jokowi sepertinya, maka partai bisnis di Indonesia sepertinya pelan-pelan berhasil juga menarik hati mereka dengan segala tawaran kepraktisannya. Dalam catatan saya kehadiran situs lazada yang menawarkan brand xiaomi sebagi pendatang baru dunia penjualan gadget yang membanting harga lawan-lawan pesaingnya jadi pemantik besar ketertarikan konsumen untuk mencoba gaya baru jual beli ini. Terlebih situs ini berani mengambil resiko dengan sistem pembayaran cash on delivery terpikat sudahlah konsumen yang selama ini khawatir dengan maraknya penipuan di dunia maya. Akhirnya situs-situs entitas bisnis pesaing lainnya pun muncul sejalan tumbuhnya kepercayaan pasar. Pola distribusi barangpun menggeliat menemukan titik keseimbangan baru karena harga berhasil dibuat pecah saat rantai koneksi produsen konsumen bisa dipangkas sependek mungkin. Di dunia nyata saya menyaksikan sendiri bagaimana toko-toko gadget elektronik yang harus membayar sewa gedung untuk display barang mulai banyak bertumbangan, malah terpaksa ikut-ikutan membuka lapak front bisnisnya dengan toko maya di dunia yang "tak nyata".

Lalu apa hubungannya kaji panjang lebar saya antara industri e-commerce ini dengan sejarah perang terhadap pornografi di internet seperti di singgung tadi. Baiklah, anda sudah letih mendengar celotehnya dan tangan ini sendiri juga sudah lunglai untuk mengetikkan pikiran tuannya. Konon berbau negatif lagi. Sekarang biar gambar-gambar berikut ini yang bicara:

 

 

Jadi, apa bedanya situs belanja online ternama ini dengan situs porno terlarang walau awal-awalnya susah buat disingkap?

Tapi eh tapi, ada juga tanggulnya yg jebol:

 

 

 

 

Jadi bisakah kita bertindak adil kepada tampilan pornografi? Adilkah jika keras kepada pembuat materi semi-porno yg wong cilik tapi segan pada kebutuhan marketing erotis perusahaan besar... Dimana keadilan?

Bahkan, baru mau masuk ke kompasiana buat posting ane ternyata disuguhin interface begini:

 

Bahkan setelah "ngisi buku tamu" makin menjadi-jadi:

Soal situs porno masih bisa diakses dengan proxy baik via web lain ataupun menggunakan program yang diinstal kita semua sudah tahu. Operator provider internet mungkin juga memakai strategi buka tutup pintu. Sudahlah, haram-haram dikit daripada nggak makan dan bisa beli mobil dilema juga bagi kita-kita yang orang realistis. Yang katanya ustad's atau pendeta-pendeta saja isunya juga begitu, apalagi kita-kita orang biasa aja yang berlindung kemana arah angin (kenikmatan). Soal tanpa proxy pun masih ada atau bahkan banyak juga situs porno yang lolos atau mungkin baru dibuat alamat barunya kita juga maklum dan sama-sama tahu bahwa faktanya perang moral melawan jutaan "situs sangat sangat sangat sangat manusiawi dan fitrah ini" ini berat banget teknis pelaksanaan day to daynya. Cuma yang menarik pikiran kotor saya yang negatif ini adalah kok materi porno tersebut terdapat juga secara massal pada seksi-seksi tertentu website e-commerce? Tulisan saya kali ini tidak membahas panjang dulu tentang defenisi pornografinya meski itu keahlian saya hehe. Tapi itu akan membawa pemirsa realistis ke solilokui dunia ide yang nirkepentingan selain kebenaran sebagai apa adanya kebenaran itu sendiri. Sebaiknya sementara kita bahas dulu hal kongkret terlihat jelasnya oleh kedua bola mata bahwa setiap kepala manusia yang masih bisa menjumlahkan satu tambah satu sama dengan dua dalam sistem bilangan persepuluhan pasti bisa berpikir bahwa apa yang dihajar dalam perang melawan pornografi itu dalam kadar tertentu juga terdapat pada situs jualan barang biasa.

Memang konon lagi katanya justru industri pornografi inilah pioner bagi semua jenis bisnis e-commerce. Biasa, untuk menarik orang melirik tentu harus dengan sesuatu yang "menarik" awalnya. Sayangnya keterusan karena mungkin lebih menguntungkan; dan di luar ranah moral yang bisa saja belum ada konsensusnya untuk semua, cara-cara licik ini wajar saja dalam kompetisi bisnis tentunya, kecerdasan dalam "the fittest survival". Memang gambar-gambar pornografi yang ditampilkan disini tidak utuh telanjang bulat atau versi hardcore, namun dalam beberapa kali temuan saya lihat bahkan sudah keluar dari softcore. Beberapa gambar bahkan masih perlu saya edit untuk ditampilkan disini walau pada situs asalnya terbuka full. Soal defenisi mana yang sudah di batas porno ini memang bisa menimbulkan perdebatan dan telah ada berbagai kasus pada iklan tv bahkan yang lebih massif lagi daya jangkau broadcastnya. Ujung-ujungnya secara hukum positif tafsir atas porno ini diserahkan pada lembaga berwenang atau hingga pengadilan yang bisa jadi hakimnya terkoneksi dengan mafia hehe. Menariknya lagi konon belum ada perangkat hukum resmi mengatur khusus untuk toko online di Indonesia ini; tertinggal bahkan dari negara tetangga yang sama-sama akan bersaing dengan kita menghadapi MEA. Mungkin para petinggi suci yang merasa paling tahu kebenaran masih debat alot tentang standar moral bangsa kita. Ah, barangkali ini hanya menunggu heboh saja. Liciknya saya mencoba curi start meledakkannya padahal moral saya sendiri absurd juga. Hahaha dasar negatif mania, orang lain yang akan bersaing mengeruk kepentingan darinya. Guoblokk... mungkin kata almarhum Om Bob Sadino yang suka porno sedikit dengan celana pendeknya. ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun