Bahkan setelah "ngisi buku tamu" makin menjadi-jadi:
Soal situs porno masih bisa diakses dengan proxy baik via web lain ataupun menggunakan program yang diinstal kita semua sudah tahu. Operator provider internet mungkin juga memakai strategi buka tutup pintu. Sudahlah, haram-haram dikit daripada nggak makan dan bisa beli mobil dilema juga bagi kita-kita yang orang realistis. Yang katanya ustad's atau pendeta-pendeta saja isunya juga begitu, apalagi kita-kita orang biasa aja yang berlindung kemana arah angin (kenikmatan). Soal tanpa proxy pun masih ada atau bahkan banyak juga situs porno yang lolos atau mungkin baru dibuat alamat barunya kita juga maklum dan sama-sama tahu bahwa faktanya perang moral melawan jutaan "situs sangat sangat sangat sangat manusiawi dan fitrah ini" ini berat banget teknis pelaksanaan day to daynya. Cuma yang menarik pikiran kotor saya yang negatif ini adalah kok materi porno tersebut terdapat juga secara massal pada seksi-seksi tertentu website e-commerce? Tulisan saya kali ini tidak membahas panjang dulu tentang defenisi pornografinya meski itu keahlian saya hehe. Tapi itu akan membawa pemirsa realistis ke solilokui dunia ide yang nirkepentingan selain kebenaran sebagai apa adanya kebenaran itu sendiri. Sebaiknya sementara kita bahas dulu hal kongkret terlihat jelasnya oleh kedua bola mata bahwa setiap kepala manusia yang masih bisa menjumlahkan satu tambah satu sama dengan dua dalam sistem bilangan persepuluhan pasti bisa berpikir bahwa apa yang dihajar dalam perang melawan pornografi itu dalam kadar tertentu juga terdapat pada situs jualan barang biasa.
Memang konon lagi katanya justru industri pornografi inilah pioner bagi semua jenis bisnis e-commerce. Biasa, untuk menarik orang melirik tentu harus dengan sesuatu yang "menarik" awalnya. Sayangnya keterusan karena mungkin lebih menguntungkan; dan di luar ranah moral yang bisa saja belum ada konsensusnya untuk semua, cara-cara licik ini wajar saja dalam kompetisi bisnis tentunya, kecerdasan dalam "the fittest survival". Memang gambar-gambar pornografi yang ditampilkan disini tidak utuh telanjang bulat atau versi hardcore, namun dalam beberapa kali temuan saya lihat bahkan sudah keluar dari softcore. Beberapa gambar bahkan masih perlu saya edit untuk ditampilkan disini walau pada situs asalnya terbuka full. Soal defenisi mana yang sudah di batas porno ini memang bisa menimbulkan perdebatan dan telah ada berbagai kasus pada iklan tv bahkan yang lebih massif lagi daya jangkau broadcastnya. Ujung-ujungnya secara hukum positif tafsir atas porno ini diserahkan pada lembaga berwenang atau hingga pengadilan yang bisa jadi hakimnya terkoneksi dengan mafia hehe. Menariknya lagi konon belum ada perangkat hukum resmi mengatur khusus untuk toko online di Indonesia ini; tertinggal bahkan dari negara tetangga yang sama-sama akan bersaing dengan kita menghadapi MEA. Mungkin para petinggi suci yang merasa paling tahu kebenaran masih debat alot tentang standar moral bangsa kita. Ah, barangkali ini hanya menunggu heboh saja. Liciknya saya mencoba curi start meledakkannya padahal moral saya sendiri absurd juga. Hahaha dasar negatif mania, orang lain yang akan bersaing mengeruk kepentingan darinya. Guoblokk... mungkin kata almarhum Om Bob Sadino yang suka porno sedikit dengan celana pendeknya. ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H