Di tengah heboh-heboh berita papa minta saham, mama tak lagi minta pulsa karena ditangkap polisi, hingga teroris minta surga dan musuh teroris dituduh cinta duniawi fana ini, dunia media sosial pada penghujung tahun 2015 ini diramaikan pula oleh harbolnas. Hari belanja online nasional, begitulah muasal penyingkatannya. Seolah ini sebuah gerakan nasional resmi negara ataupun upaya promosinya seperti hari santri, hari blogger, ataupun hari ketahanan nasional yang tak mulus jua diperjuangkan kedudukan politiknya sebagai fakta sejarah pemerintahan darurat republik dulu di Sumatera. Seolah juga harbolnas ini semacam tepuk tangan menyambut "Masyarakat Ekonomi Asean" yang resmi berlaku di Indonesia sehabis tahun ini. Dominasi jumlah kaum muda indonesia yang tergolong generasi gadget membuat hal-hal begini akhirnya gegap gempita juga. Terlebih setelah itu ada pula kegaduhan mengenai "manipulasi" harga yang katanya dinaikkan dulu tinggi-tinggi baru dijatuhkan dengan diskon segila-gilanya. Kalau tidak tahu harga pasaran barang dan tak punya waktu ngecek ya ketipu deh. Tapi sulit juga untuk menuduh ini manipulasi karena bukankah itu strategi bisnis semata. Lagian perdagangan dan dunia tipu menipu itu sudah kayak suami istri sulit dipisahkan. Bahkan kata-kata berbau positif seperti integritas dan kredibilitas sekalipun bisa jadi hanya sekedar senjata marketing alias alat promosi juga.
Cara pandang saya yang negatif ini akan saya lanjutkan pula dengan sebuah fenomena yang sejauh amatan negatif saya masih jarang didiskusikan publik. Beberapa tahun belakangan ini situs-situs pornografi yang tidak bermoral itu sudah tergolong sulit untuk diakses di Indonesia. Ini katanya berkat jihad cyber seorang menteri kominfo zaman Pak SBY yakni... sudahlah tidak usah saya sebut nama, kita sudah tahu sama tahu, nanti tambah terkenal dia. Politikus sekaligus ulama dari partai religius yang dituduh mirip ISIS ini memang sekarang seperti hilang di telan bumi suaranya. Terlebih fitnah korupsi dan poligami tengah bertubi-tubi tengah mendera partainya. Apapun ceramahnya pada rakyat akan beresiko disuruh ngaca. Namun perlu kita catat, sewaktu berkuasa beliau cukup sukses melibas viralnya konten pornografi di internet sebelum-sebelumnya. Bahkan tak tanggung-tanggung situs video umum seperti vimeo pun kena getahnya meski mencuat isu tak sedap bahwa web ini diblokir karena memuat fitnah tentang kelakuan kader partainya. Walhasil hingga sekarang banyak orang mendapat rezeki proyek perang melawan industri pornoisme yang akan selalu tumbuh, berinovasi, bermutasi hingga akhir zaman; sepanjang ia laku untuk dilempar ke pasar syahwat manusiawi.
Di saat bersamaan sekarang mulai makin booming industri e-commerce di dunia maya orang indonesia. Setelah upaya rintisan besar-besaran oleh marketplace plasa dot com beberapa tahun silam sepertinya sudah sakratul maut, baru akhir-akhir ini perdagangan dunia maya ini mampu lebih massif menarik pasar. Ini seiring dengan makin tumbuhnya populasi massa generasi gadget yang melek teknologi. Kalau partai politik masih belum mampu merasuki mereka selain pada kasus fenomena ketokohan Jokowi sepertinya, maka partai bisnis di Indonesia sepertinya pelan-pelan berhasil juga menarik hati mereka dengan segala tawaran kepraktisannya. Dalam catatan saya kehadiran situs lazada yang menawarkan brand xiaomi sebagi pendatang baru dunia penjualan gadget yang membanting harga lawan-lawan pesaingnya jadi pemantik besar ketertarikan konsumen untuk mencoba gaya baru jual beli ini. Terlebih situs ini berani mengambil resiko dengan sistem pembayaran cash on delivery terpikat sudahlah konsumen yang selama ini khawatir dengan maraknya penipuan di dunia maya. Akhirnya situs-situs entitas bisnis pesaing lainnya pun muncul sejalan tumbuhnya kepercayaan pasar. Pola distribusi barangpun menggeliat menemukan titik keseimbangan baru karena harga berhasil dibuat pecah saat rantai koneksi produsen konsumen bisa dipangkas sependek mungkin. Di dunia nyata saya menyaksikan sendiri bagaimana toko-toko gadget elektronik yang harus membayar sewa gedung untuk display barang mulai banyak bertumbangan, malah terpaksa ikut-ikutan membuka lapak front bisnisnya dengan toko maya di dunia yang "tak nyata".
Lalu apa hubungannya kaji panjang lebar saya antara industri e-commerce ini dengan sejarah perang terhadap pornografi di internet seperti di singgung tadi. Baiklah, anda sudah letih mendengar celotehnya dan tangan ini sendiri juga sudah lunglai untuk mengetikkan pikiran tuannya. Konon berbau negatif lagi. Sekarang biar gambar-gambar berikut ini yang bicara:
Â
Â
Â
Â
Â
Jadi bisakah kita bertindak adil kepada tampilan pornografi? Adilkah jika keras kepada pembuat materi semi-porno yg wong cilik tapi segan pada kebutuhan marketing erotis perusahaan besar... Dimana keadilan?