Mohon tunggu...
Wemmy Al-Fadhli
Wemmy Al-Fadhli Mohon Tunggu... gembel -

Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya gak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir kan cuma selangkah. (Bob Sadino)

Selanjutnya

Tutup

Money

Kontrakkin Ajah Negara Ini Pada ASing

3 Juni 2013   20:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:35 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karut marut yg berlarut-larut merudung negara ini mungkin membuat kita kadang nakal di hati jadi bertanya: apakah mampu bangsaku ini mengelola negaranya sendiri? Sebagaimana sejarah penjajahan negeri kita; yang mana pihak penjajah merasa kurang bertanggungjawab kalau harus melepas bangsa besar dan luas ini kepada orang-orang yang tak mampu mengurusnya sendiri. Memang politik etis yang (pada akhirnya) ditelurkan, tentu saja lewat ide politikus mereka sendiri di Amsterdam, telah cukup punya manfaat nyata untuk membuka akses pendidikan kepada pemoeda-pemoedi bumi poetra ini. Cikal bakal bapak-bapak dan ibu-ibu pendiri bangsa, mengurus pra hingga paska proklamasi untuk merdeka, yang mana anak cucunya hingga ke ujung abad milenium ini masih memegang (megang doank tidak menduduki) singgasana kuasa. Feodalisme sistem kerajaan negeri-negeri Indonesia lumrah membuat kultur begini awet, lah di Inggris Raya sana saja anggaran negara masih menggaji 'royal family'-nya. Faktanya pertumbuhan pesat ekonomi yang tidak diiringi pemerataan ke seluruh lapisan dan seantero wilayah negeri membuat terus timbul pertanyaan: apa betul yang terjadi sekarang bangsa sendiri menjajah bangsa sendiri. Seperti lirik lagu dangdut "mars pembantu" tentang nasibnya yang nggak maju-maju. Dan tak tanggung-tanggung Ibu Megawati Soekarno Putri secara terus terang (yang tidak sesuai dengan kultur timur dan 'islam') mengumbar kembali ke depan publik tentang pesan ayahnya 'the founding father' kita bahwa tugas engkau ke depan lebih berat. Kami, kata Soekarno, berjuang melawan penjajah bangsa asing sedangkan engkau, Mega, akan bertempur dengan sesama bangsa sendiri. Apa tak merah kuping SBY yang telah "memberi" kursi empuk Ketua MPR kepada Pak Taufik Kiemas yang 'pan' kesulitan mengeja bahasa Indonesia ini. Tapi itulah politik, keras, sementara yang fokus pada ekonomi dan kemakmuran pun keras usahanya untuk selalu menempel pada pihak yang berkuasa. Salah satu bentuk kekerasan itu kita lihat hari ini babak belurnya geng 'islamic broterhood' cabang Indonesia yang sudah tidak lagi (menggunakan tag line) bersih, profesional, dan peduli. Menkeu baru yang diisukan bermahzab liberal dan titipan kompromi kepentingan Golkar makin menambah sedap wacana tentang telah tergadainya kemandirian bangsa ini pada 'interest' pemodal besar asing dengan segala kepentingannya atas dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tengah fakta statistik bahwa porsi terbesar SDM angkatan kerja produktif muda Indonesia berpendidikan hanya menengah dasar, sementara yang susah payah menyelesaikan pendidikan tinggi juga tidak produktif karena salah perencanaan untuk diselaraskan kepada dunia industri--yang insinyur pertanian kerja di bank, lulusan keuangan jadi pengajar bahasa inggris, eh lulusan sastra tak cocok jadi sastrawan, bahkan lebih parah lagi lulusan sekolah jalanan alias preman malah jadi konglomerat berkat skill politik tentu alias bukan preman bego--kita jadi memang patut bertanya: mampukah pengurus bangsa ini mengelola negara sesuai konstitusi untuk keadilan sosial bagi semua, bukan cuma cari selamat masing-masing seperti para insinyur-insinyur cerdas lokal yang dimanfaatkan perusahaan asing, yang menahan diri dari ikut memikirkan keruhnya politik negara ini karena bisa dimaklumi akan bisa menganggu 'cash flow' ke mereka punya periuk nasi? Yang tidak disediakan oleh sesama bangsa sendiri? Makanya jangan heran jika penulis naif ini punya ide: ya sudahlah daripada bertengkar terus dengan antek-antek asing atau yang sering kita tuduh dengan komprador atau PBB (Persatuan Babu Barat) itu lebih baik langsung saja kita kontrakkan negara ini untuk dikelola SDM asing beneran sekalian. Mana tahu karena secara peradaban ilmu mereka lebih mapan jadi pengelolaannya lebih maknyos ketimbang kita-kita yang ras lokal. Insaallah uang sewanya cukup untuk ngebulin periuk nasi secukupnya dan sama rasa sama rata. Toh Pak Harto sudah memulainya di Bukit Grasbergnya Freeport. Ide ini muncul karena penulis melihat daerah tambang tersebut mirip banget dengan yang ada di Grand Theft Auto San Andreasnya perusahaan amrikiyah bernama Rockstar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun