Konsekuensi dari iman tauhid adalah tidak menyekutukan ketundukkan kepada Tuhan Yang Esa dengan aneka perihal selain-Nya. Kerena itulah dosa terbesar dan tidak terampuni dalam Islam adalah syirik. Menjadi pecinta, apalagi sampai menghamba, materi itu rentan dengan perbuatan syirik. Iman dan tidak beriman itu perbedaannya bisa sangat tipisnya. Yaitu seberapakah kita hanya menggantungkan diri hanya semata-mata kepada-Nya. Itulah tauhid, inilah jalan dan aliran yang hanif tanpa modif dan tercemar kemunafikan oportunisme pragmatisme. Maka daripada itu penting kiranya untuk membebaskan diri dari akhlak cinta harta. Meski sungguh berat terasa karena ialah faktor riil kejayaan kehidupan nyata di dunia. Bukankah semua orang mencari bahagia? Di antara ikut-ikutannya kita mengimani kebahagiaan janji-janji tentang alam syurga yang abadi namun absurd, abstrak, dan fiksi itu, kita harus bertempur dengan godaan nyata cinta hingga menghamba materi riil untuk kebahagiaan dunia. Takmudah? Ya.
Proporsionalitas Islam memang tidak melarang untuk menikmati yang halal dari karunia dan kenikmatan harta dunia. Namun karena saking riilnya bisa menjebak kita pada pemujaannya sehingga penting untuk berhati-hati dan introspeksi niat setiap saat. Makanya juga sikap berkelebihan, berkelimpahan, bermegah-megahan, dan mubadzir itu dilarang sangat keras dalam Islam. Meski kebetulan punya otoritas atas amanah harta benda dalam jumlah banyak, hendaklah tetap hidup zuhud, wara, dan qanaah. Abdurrahman bin Auf, satu dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga saja diceritakan lewat hadits Aisyah betapa beratnya langkah beliau untuk menuju syurga. Makanya orang-orang kaya dianjurkan banyak-banyak bersedekah untuk memperingan langkah mereka (kalopun itu harta 100% benar-benar halal dan ia boleh masuk syurga hihi). Bagaimana kalau tidak? Mungkin secepat kilat mereka dilemparkan ke neraka. Ciri-ciri harta yang halal itu diantaranya adalah diberikan oleh Allah dari arah yang tidak diduga-duga, tanpa disengaja. Bukan yang diperoleh dengan cara-cara licik dan penuh ambisiousisme pribadi, sikut kanan kiri, jilat atas injak bawah. Ini rentan dengan menggunungnya ketamakan di hati yang ujungnya: syirik harta.
Bekerja keras dan ikhlas dalam Islam harus diyakini bukan untuk hasil banyaknya harta melainkan semata-mata meraih ridho Allah atas karunia kekuatan, kesehatan, dan kesempatan yang diberikan tanpa memberi tempat bagi ambisi duniawi dan riya terhadap pandangan manusia. Hasilnya harus kita percaya sudah ditentukan Allah sekehendak-Nya, sama sekali bukan hasil kerja cerdas kita sebagaimana paradigma orang-orang kufur yang sebagaimana diceritakan dalam Quran menyibukkan diri secara optimum untuk urusan syurga dunianya. Begitu juga jika kita tidak ditakdirkan Allah untuk diberi amanah yang berupa banyaknya harta benda--sebagaimana kebanyakan terjadi pada para sahabat nabi dan orang-orang soleh--selayaknya pula tiada iri dengki kepada orang yang banyak hartanya, terkagum-kagum, apalagi merasa rendah diri. Ini juga mengakibatkan penyakit alwahn atau matrelinial. Kalau orang kaya cinta harta masih mending deh setidaknya sempat enak sedikit di dunia ini tapi ini sudah nasib kere malah tambah semakin matre, duh menyakitkannya. Bukanlah pula menjadi suatu halangan untuk kita mempunyai energi usaha yang lebih, sesuai kemampuan dan kesempatan masing-masing, dan rajin bekerja meski dengan hasil yang sangat sedikit karena segala sesuatu hasilnya tersebut harus diimani adalah atas kehendak-Nya. Ini berguna untuk menguji kesabaran sebagian orang dan kerakusan sebagian lain yang bisa terjebak merasa bangga diri karena ketetapan Tuhan diklaim adalah ditentukan hasil kerja (culasnya) yang padahal bisa jadi modal licik doang, wkwkwkwk.
Iblis menakut-nakutimu dengan kemiskinan, begitu diceritakan dalam Quran selaras dengan sebuah hadits dhaif, sehingga mengakibatkan kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Namun zaman kini, orang-orang yang kelihatannya ulama dan orang soleh dari tampilan luar pun turut menakuti-nakuti umat ini dengan kemiskinan dan bukannya mengikuti teladan Rasulullah malah lebih senang kongkow-kongkow sama orang beruang. Pantas saja Nabi mewanti-wanti perihal alwahn untuk prioritas pengajaran bagi zaman sekarang karena ustadz dan syetan pun sudah beda-beda tipis perbedaannya, he2. Tapi ingat juga, meski ada hadits berbunyi bahwa penghuni syurga itu kebanyakan fakir miskin namun bukan berarti juga bahwa kebanyakan fakir miskin masuk syurga. Karena sebagaimana diceritakan dalam Quran, Iblis akan mampu menyesatkan semua anak cucu adam terkecuali orang-orang yang mukhlis. Betapa sedikitnya jumlah orang yang cenderung ikhlas dalam kehidupan ini dapat kita lihat, dengar, dan rasakan. Makanya menjauhi akhlak matrelinial, alwahn, syirik harta itu penting bagi keselamatan kita yang bertauhid kepada Allah semata yang hanya menguji sangat-sangat sebentar ruh kita untuk numpang mampir sejenak di pohon dunia yang sekejap dan fana ini. Kepentingan politik dan materiil adalah motif dalam hubungan antar manusia-manusia kufur dan munafikun. Selayaknya hanya keikhlasan semata yang melandasi hubungan orang beriman yang lurus dan direkat kebenaran sprituil yang jujur. Saling berkasih sayang karena-Nya, hanya dan semata. Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H