Mohon tunggu...
Welly Yapin
Welly Yapin Mohon Tunggu... Lainnya - Untuk Mengisi Waktu Luang

Mahasiswa hukum yang masih mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksistensi Perlindungan Hukum Kebebasan Pers Mahasiswa

1 Desember 2020   23:49 Diperbarui: 2 Desember 2020   00:05 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebebasan pers merupakan hak dasar setiap jurnalis yang dilindungi oleh hukum yang berkaitan dengan penyampaian informasi kepada khalayak umum tanpa keterikatan dari pihak tertentu. Dalam sebuah wawancara In House Training yang dilaksanakan pada 28 November 2020, Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Cakrawala Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro (SV Undip), Muhammad Yunip, berpendapat bahwa kebebasan pers itu hal yang harus dimiliki dari pers, yaitu kita menghasilkan suatu produk pers tanpa intervensi pihak luar. Artinya, kita bebas menentukan angle atau sudut pandang dan juga kita bebas dalam menentukan narasumber.
 
Menurut data dari Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2020 menduduki peringkat 119 dari 180 negara, bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan Timor Leste yang menduduki peringkat 78 dan Malaysia 101. Dari data tersebut, timbul sebuah pertanyaan, sudahkah kebebasan pers di Indonesia ditegakkan, khususnya pers mahasiswa?

Menurut Yunip, kebebasan pers mahasiswa di lingkungan universitas sudah baik di beberapa fakultas karena birokrasinya tidak melarang mahasiswa untuk mengkritik. Namun, di beberapa fakultas lain, pelaksanaan kebebasan pers belum terlaksana dengan baik karena pers mendapatkan tekanan dari birokrasi fakultas tersebut.

Kalo di universitas sendiri, ada beberapa (fakultas) yang udah baik karena mereka (birokrasi fakultas) tidak melarang mahasiswanya untuk mengkritik ataupun memberikan kebebasan pers gitu, tapi ada juga fakultas-fakultas yang mereka (pers mahasiswa) mendapat (tindakan) represif tadi. Jadi, menurutku kalo di fakultas, udah baik di beberapa fakultas dan ada juga yang belum,” ujarnya.


Pada kenyataannya, perlindungan hukum serta batasan-batasan bersuara para jurnalis mahasiswa masih sangat minim jika dibandingkan dengan para jurnalis senior yang memang menggeluti bidang kejurnalistikan. UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers pun tidak mengatur soal pers mahasiswa, tetapi sebatas mengatur pers nasional yang notabene adalah pers mainstream. Hal ini perlu diperhatikan dan tidak bisa dianggap sepele karena menurut Riset BP Litbang PPMI Nasional periode 2015—2016, dari 108 pers mahasiswa yang mengisi angket, terdapat 88 pers mahasiswa yang mengalami kekerasan. Hal ini pun semakin menguatkan alasan bahwa harus segera dibentuknya payung hukum bagi pers mahasiswa.

Yunip mengatakan bahwa sebenarnya para anggota pers mahasiswa mempunyai payung hukum secara tidak langsung dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.


“Jadi di Semarang atau di Indonesia pun kita sudah mempunyai Pers Mahasiswa Indonesia, lalu Pers Mahasiswa DK Semarang. Jadi lewat itulah kita sebenarnya mempunyai payung hukum secara tidak langsung untuk menguatkan basis-basis kita. Jadi jika kita ada masalah kita bisa langsung ke mereka gitu,” ujarnya.


Perlindungan hukum terhadap pers mahasiswa masih bisa dikatakan belum jelas. Padahal, pers mahasiswa yang masih belum dianggap ini sudah terbukti dapat mengisi peran penting dalam menopang dasar demokrasi dalam melaksanakan kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi. Namun faktanya, pers mahasiswa tidak dilindungi secara hukum dengan alasan pers mahasiswa belum terakreditasi sebagai wartawan professional. 

 
Tidak hanya persoalan permasalahan dan payung hukum, zaman yang semakin berkembang pesat juga menjadi masalah tersendiri bagi lembaga jurnalistik, terutama pers mahasiswa. Kemajuan teknologi di era post-millenials ini menjadi tantangan yang cukup sulit bagi lembaga pers mahasiswa untuk menyesuaikan keadaan yang semakin maju dan berkembang.


Yunip mengatakan bahwa adaptasi merupakan hal yang penting dilakukan bagi lembaga pers mahasiswa agar tidak tertinggal dengan media lain dan tetap bisa menjalankan tugas untuk memberi kemanfaatan untuk orang lain.


“Jadi yang terpenting dari era sekarang ini adalah kita bisa beradaptasi di era sekarang, kalau nggak kita bisa ketinggalan sama media-media lain ataupun sama media-media yang ngga jurnalistik. Jadi yang terpenting kita bisa adaptasi biar apa yang kita sebarkan bisa banyak bermanfaat,” tuturnya.


Pimpinan Umum LPM Cakrawala SV Undip itu juga memberikan pesan kepada para jurnalis muda agar tetap memperhatikan batasan-batasan tertentu dalam jurnalistik dengan cara tetap mengedepankan validasi dan tetap independen.


Cuman yang terpenting kita tidak melanggar etika-etika tersebut, misalnya kita tetap mengedepankan validasi kemudian kita tetap independen,” ucapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun