Mohon tunggu...
welly seran
welly seran Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lebih hidup dengan semangat emas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembelajaran Berbasis Tablet, Mungkinkah?

9 April 2015   13:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_377635" align="aligncenter" width="300" caption="Sulit mendapatkan signal telepon, warga bangun menara kayu setinggi 15 meter"][/caption]

E-Sabak merupakan salah satu program yang akan digulirkan oleh Kemendikbud untuk mengganti peran buku cetak dengan buku elektronik. E-Sabak diproyeksikan sebagai solusi untuk mengatasi masalah ketimpangan kualitas pendidikan di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan wilayah-wilayah yang berada di Pusat Pemerintahan. Melalui e-sabak, Kemendikbud berharap masalah penyediaan dan distribusi buku yang selama ini kerap menimbulkan masalah dan memakan biaya besar, dapat diminimalisasi, karena dengan e-sabak pemerintah tidak perlu lagi mencetak buku. Buku-buku pelajaran akan dikonversi ke dalam bentuk file atau perangkat lunak yang nantinya disebar ke sekolah-sekolah secara online.

E-Sabak sebenarnya bukan program baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebelumnya kita mengenal BSE (Buku Sekolah Elekronik). E-sabak dapat dikatakan sebagai penyempurnaan dari BSE. Perbedaannya adalah pada Program e-sabak, tablet menjadi sarana utama proses pembelajaran yang akan menggantikan fungsi buku cetak.

Dengan e-sabak Kemendikbud mengadopsi kemajuan Teknologi Informasi ke dalam dunia pendidikan. Harapannya, pengadopsian ini dapat mengurai permasalahan yang dianggap paling krusial dalam dunia pendidikan, yaitu kesenjangan kualitas antara sekolah-sekolah yang berada di wilayah 3T dengan sekolah-sekolah yang berada di pusat. Berbagai masalah seperti kualitas kertas, proses distribusi, dan kerumitan lainnya seputar logistik dapat teratasi, karena dengan e-sabak kualitas isi buku antara sekolah-sekolah yang berada di daerah dan di pusat sama.

Rencana Kemendikbud terbilang brilian dan menjanjikan. Namun demikian, program penggantian buku cetak dengan buku elektronik bukan perkara mudah dan tentu saja membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Tablet butuh listrik, untuk memasukkan listrik ke wilayah 3T dibutuhkan jalan dan jembatan agar PLN dan Telkom dapat beroperasi. Tidak diragukan lagi bahwa infrastruktur akan menjadi hambatan utama dalam merealisasikan e-sabak.

Tantangan Infrastruktur

Fakta menunjukkan bahwa ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang berbeda jauh antara pusat dan daerah menjadi masalah utama dalam upaya pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Gagalnya penerapan kurikulum 2013 juga salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur. Untuk itu, penerapan e-sabak harus melalui tahap persiapan yang matang, agar ketika diimplementasikan tidak hanya menjadi produk yang matang secara konsep, namun tidak dalam penerapan di lapangan.

[caption id="attachment_377636" align="aligncenter" width="300" caption="Tidak ada jembatan penyeberangan, warga gunakan "]

14285601301984310273
14285601301984310273
[/caption]

Pemerintah harus betul-betul mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat menghambat penerapan e-sabak. Apalagi, berdasarkan instruksi presiden, pembangunan pendidikan di Indonesia harus dimulai dari daerah-daerah yang termasuk dalam kategori 3T, artinya penerapan program e-sabak harus dimulai dari daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Kemendikbud, mengingat di daerah-daerah tersebut infrastruktur sangat minim dan terbatas.

Konon kabarnya, pemerintah akan merealisasikan e-sabak di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timur Leste. Realisasi e-sabak akan diutamakan di tiga propinsi, yaitu Kalimantan, NTT, dan Papua yang berbatasan langsung dengan ketiga negara tersebut.  Tiga provinsi ini dianggap sebagai etalase atau wajah Indonesia di mata negara-negara tetangga, sehingga kualitas pendidikan dan infrastruktur pendukungnya harus ditingkatkan. Semoga saja tidak ada muatan politis dalam penerapan e-sabak di daerah perbatasan untuk menciptakan citra positif Indonesia di mata negara-negara tetangga.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut tentu tidaklah mudah, dari pengamatan penulis di lapangan, khususnya di Wilayah Kalimantan, daerah-daerah yang termasuk kategori 3T sangat sulit diakses. Fasilitas jalan yang layak, jembatan, listrik, apalagi jaringan internet menjadi barang langka yang sangat mahal harganya di daerah-daerah tersebut. Maka tidak heran jika masyarakat perbatasan lebih mengenal negera tetangga daripada negara sendiri, karena dari negara tetangga mereka justru memeroleh banyak kemudahan. Alasannya klasik, yaitu akses yang jauh lebih mudah.

Sebenarnya sebaran daerah tetinggal di Kalimantan tidak hanya terbatas pada daerah-daerah yang terletak jauh dari Ibu Kota Provinsi ataupun Kabupaten Kota. Saya mengambil contoh di Provinsi Kalimantan Barat. Bulan April 2014 lalu saya berkunjung ke provinsi ini, karena kebetulan saya merupakan salah satu putra daerah Kalimantan Barat yang memilih bekerja di Sumatera Selatan. Di provinsi ini saya melihat pembangunan di tingkat Kabupaten Kota sangat pesat dibandingkan tujuh tahun lalu. Bebergai fasilitas yang dimiliki seperti gedung, jalan, listrik, jembatan, dan jaringan internet menyamai Kota-Kota besar lainnya di Indonesia. Bahkan, kalau saya boleh membandingkan Kabupaten Melawi sebagai provinsi terluar di Kalimantan Barat, luas wilayah dan fasilitas yang dimiliki jauh lebih lengkap dibandingkan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan tempat saya berdomisili sekarang.

Namun demikian, jika Anda ingin melihat wajah Kalimantan yang sebenarnya, cobalah keluar dan lihat beberapa desa yang ada di sekitar. Anda akan melihat betapa timpangnya pembangunan di Kalimantan Barat. Seperti di Kabupaten Melawi, saya mengunjungi dua desa, yaitu Desa Pelaik Keruap dan Natai Panjang. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke Desa Pelaik Keruap sekitar dua jam perjalanan, sedangkan Desa Natai Panjang hanya membutuhkan satu setengah jam perjalanan. Waktu tempuh tersebut masih bisa dipangkas empat puluh lima menit apabila jalan sudah diaspal atau minimal diberi pasir dan batu, agar tetap bisa dilalui ketika hujan.

Di Desa Pelaik Keruap, saya belum melihat banyak perubahan dibandingkan dengan kondisi tujuh tahun lalu. Untuk menuju ke tempat ini kita masih harus melalui jalan tanah yang hanya bisa dilalui  kendaraan ketika kondisi cuaca cerah, karena kalau kondisi hujan roda kendaraan tidak akan bisa berputar karena lumpur. Untuk bisa mencapai desa ini kita juga harus menyeberangi sungai dengan jembatan penyeberangan yang belum tersedia, sehingga yang bisa menyeberang hanya kendaraan roda dua. Suasana malam di desa ini pun masih gelap gulita, karena listrik PLN tak kunjung masuk. Bagi warga yang jenuh dengan kondisi gelap gulita, mereka berinisiatif membeli diesel sendiri untuk bisa menikmati listrik.

Masyarakat desa tersebut juga sebagian besar belum mengenal yang namanya internet, jangankan internet untuk mendapatkan signal telepon seluler saja sulit. Ada pemandangan menarik yang saya saksikan terkait hal ini. Di desa tersebut signal telepon seluler hanya bisa ditangkap dari daerah dataran tinggi. Dataran tinggi di daerah tersebut terletak jauh di ujung desa, sehingga warga malas untuk pergi jauh-jauh hanya sekedar untuk menelepon atau sms. Untuk mensiasatinya warga berinisiatif membangun sebuah menara kayu dengan ketinggian lima belas meter. Bagi warga yang ingin menelepon atau sms harus menaiki menara kayu tersebut.

Di desa kedua, yaitu Desa Natai Panjang, permasalahan yang dialami juga sama, lagi-lagi masalah jembatan, jalan, listrik, dan jaringan telepon seluler yang masih dianggap sebagai barang langka. Padahal untuk menuju desa ini, kita hanya butuh waktu satu setengah jam menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan, apabila jalan sudah diaspal waktu tempuh bisa lebih singkat..

Inilah gambaran situasi lapangan yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, apabila pemerintah serius ingin menerapkan e-sabak mulai daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Contoh kasus yang terjadi di Desa Pelaik Keruap dan Desa Natai Panjang , Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat tersebut baru termasuk dalam kategori daerah tertinggal, kita belum berbicara mengenai kondisi yang terjadi di daerah-daerah yang termasuk dalam kategori daerah terluar dan terdepan. Pemikiran sederhana saya adalah kalau kondisi daerah-daerah yang dekat dengan Ibu Kota Provinsi dan kota kabupaten saja kondisinya seperti ini – jalan, jembatan, listrik, dan jaringan telepon masih menjadi barang mahal dan langka, lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan, bukankah kondisinya akan jauh lebih serius?

Mulai dari sekarang pemerintah harus mulai mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan untuk realisasi e-sabak. Saya tidak meragukan program ini, tetapi menurut saya masalah pendidikan di Indonesia bukan pada konsep melainkan infrastruktur. Apabila insfrastruktur sama rata antara daerah 3T dengan daerah-daerah di pusat, maka kesenjangan kualitas pendidikan dapat teratasi. Untuk apa konsep bagus, namun tidak bisa diterapkan di seluruh pelosok negeri. Kita harus belajar dari penerapan kurikulum 2013. Gagalnya penerapan kurikulum 2013 secara serentak di seluruh Indonesia, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur.

Oleh,

Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun