Mohon tunggu...
welly seran
welly seran Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lebih hidup dengan semangat emas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembelajaran Berbasis Tablet, Mungkinkah?

9 April 2015   13:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya sebaran daerah tetinggal di Kalimantan tidak hanya terbatas pada daerah-daerah yang terletak jauh dari Ibu Kota Provinsi ataupun Kabupaten Kota. Saya mengambil contoh di Provinsi Kalimantan Barat. Bulan April 2014 lalu saya berkunjung ke provinsi ini, karena kebetulan saya merupakan salah satu putra daerah Kalimantan Barat yang memilih bekerja di Sumatera Selatan. Di provinsi ini saya melihat pembangunan di tingkat Kabupaten Kota sangat pesat dibandingkan tujuh tahun lalu. Bebergai fasilitas yang dimiliki seperti gedung, jalan, listrik, jembatan, dan jaringan internet menyamai Kota-Kota besar lainnya di Indonesia. Bahkan, kalau saya boleh membandingkan Kabupaten Melawi sebagai provinsi terluar di Kalimantan Barat, luas wilayah dan fasilitas yang dimiliki jauh lebih lengkap dibandingkan Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan tempat saya berdomisili sekarang.

Namun demikian, jika Anda ingin melihat wajah Kalimantan yang sebenarnya, cobalah keluar dan lihat beberapa desa yang ada di sekitar. Anda akan melihat betapa timpangnya pembangunan di Kalimantan Barat. Seperti di Kabupaten Melawi, saya mengunjungi dua desa, yaitu Desa Pelaik Keruap dan Natai Panjang. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke Desa Pelaik Keruap sekitar dua jam perjalanan, sedangkan Desa Natai Panjang hanya membutuhkan satu setengah jam perjalanan. Waktu tempuh tersebut masih bisa dipangkas empat puluh lima menit apabila jalan sudah diaspal atau minimal diberi pasir dan batu, agar tetap bisa dilalui ketika hujan.

Di Desa Pelaik Keruap, saya belum melihat banyak perubahan dibandingkan dengan kondisi tujuh tahun lalu. Untuk menuju ke tempat ini kita masih harus melalui jalan tanah yang hanya bisa dilalui  kendaraan ketika kondisi cuaca cerah, karena kalau kondisi hujan roda kendaraan tidak akan bisa berputar karena lumpur. Untuk bisa mencapai desa ini kita juga harus menyeberangi sungai dengan jembatan penyeberangan yang belum tersedia, sehingga yang bisa menyeberang hanya kendaraan roda dua. Suasana malam di desa ini pun masih gelap gulita, karena listrik PLN tak kunjung masuk. Bagi warga yang jenuh dengan kondisi gelap gulita, mereka berinisiatif membeli diesel sendiri untuk bisa menikmati listrik.

Masyarakat desa tersebut juga sebagian besar belum mengenal yang namanya internet, jangankan internet untuk mendapatkan signal telepon seluler saja sulit. Ada pemandangan menarik yang saya saksikan terkait hal ini. Di desa tersebut signal telepon seluler hanya bisa ditangkap dari daerah dataran tinggi. Dataran tinggi di daerah tersebut terletak jauh di ujung desa, sehingga warga malas untuk pergi jauh-jauh hanya sekedar untuk menelepon atau sms. Untuk mensiasatinya warga berinisiatif membangun sebuah menara kayu dengan ketinggian lima belas meter. Bagi warga yang ingin menelepon atau sms harus menaiki menara kayu tersebut.

Di desa kedua, yaitu Desa Natai Panjang, permasalahan yang dialami juga sama, lagi-lagi masalah jembatan, jalan, listrik, dan jaringan telepon seluler yang masih dianggap sebagai barang langka. Padahal untuk menuju desa ini, kita hanya butuh waktu satu setengah jam menggunakan kendaraan roda dua. Bahkan, apabila jalan sudah diaspal waktu tempuh bisa lebih singkat..

Inilah gambaran situasi lapangan yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, apabila pemerintah serius ingin menerapkan e-sabak mulai daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Contoh kasus yang terjadi di Desa Pelaik Keruap dan Desa Natai Panjang , Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat tersebut baru termasuk dalam kategori daerah tertinggal, kita belum berbicara mengenai kondisi yang terjadi di daerah-daerah yang termasuk dalam kategori daerah terluar dan terdepan. Pemikiran sederhana saya adalah kalau kondisi daerah-daerah yang dekat dengan Ibu Kota Provinsi dan kota kabupaten saja kondisinya seperti ini – jalan, jembatan, listrik, dan jaringan telepon masih menjadi barang mahal dan langka, lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan, bukankah kondisinya akan jauh lebih serius?

Mulai dari sekarang pemerintah harus mulai mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan untuk realisasi e-sabak. Saya tidak meragukan program ini, tetapi menurut saya masalah pendidikan di Indonesia bukan pada konsep melainkan infrastruktur. Apabila insfrastruktur sama rata antara daerah 3T dengan daerah-daerah di pusat, maka kesenjangan kualitas pendidikan dapat teratasi. Untuk apa konsep bagus, namun tidak bisa diterapkan di seluruh pelosok negeri. Kita harus belajar dari penerapan kurikulum 2013. Gagalnya penerapan kurikulum 2013 secara serentak di seluruh Indonesia, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur.

Oleh,

Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun