Keputusan DPR terkait Pemilukada melalui DPRD harus disikapi dengan positif. Sebagai warga negara yang merindukan Pemilukada yang hemat dan bebas konflik kepentingan, kita seyogyanya mendukung langkah yang ditempuh DPR, asalkan ada jaminan bahwa proses ini hanya sebatas Pemilukada dan tidak meluas ke pemilu legislatif dan Pemilu presiden nantinya.
Keputusan DPR yang menetapkan Pilkada melalui DPRD setidaknya akan membawa beberapa dampak positif bagi proses politik di negeri ini. Besarnya ongkos politik yang harus digelontorkan ketika pemilihan secara langsung dilaksanakan setidaknya dapat diminimalisasi. Kampanye hitam yang tidak mendidik juga diharapkan dapat dihindari. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah konflik horizontal yang dapat meretakkan hubungan antarwarga masyarakat juga dapat dihindari, karena penetapan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada DPRD.
Di sisi lain, memang tidak dapat dimungkiri bahwa proses Pemilukada melalui DPRD juga akan menimbulkan dampak negatif, adanya kemungkinan “bisik-bisik” di kalangan elit politik terkait penetapan kepala daerah tentu menjadi hal yang paling dikhawatirkan dari sistem ini. Oleh sebab itu, wajar apabila terjadi gelombang protes di berbagai daerah terkait penetapan Undang-Undang Pemilukada. Namun, toh palu sudah diketok, yang bisa dilakukan sekarang adalah mendukung dan mengawal proses Pemilukada agar dilaksanakan seturut keinginan dan harapan rakyat.
Setiap kebijakan pasti menimbulkan resiko, hal ini yang harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemilukada yang sudah sepuluh tahun terakhir dilaksanakan secara langsung juga terbukti kurang efektif. Selain membutuhkan ongkos politik yang luar biasa besar, para pemimpin yang dihasilkan juga sebagian besar lebih mementingkan kepentingan pribadi dan partai pengusung, daripada kepentingan rakyat yang diwakili. Fakta membuktikan, bahwa banyak kepala daerah yang dipilih secara langsung terlibat kasus korupsi sebagai dampak dari besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan saat pemilihan.
Kementerian dalam Negeri bahkan mencatat sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala dan wakil kepala daerah tersangkut masalah korupsi. Salah satu kasus korupsi yang menimpa Gubernur Riau Rusli Zainal baru-baru ini, tentu masih segar dalam ingatan kita. Fakta ini tentu mengecewakan, kepala daerah yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya justru berbalik menusuk rakyat dari belakang. Inilah ironi yang terjadi dari sistem pemilukada langsung yang selama ini kita agungkan. Untuk itu, perlu ada perbaikan terhadap sistem Pemilukada, karena memang ada yang salah dengan sistem yang kita gunakan selama sepuluh tahun terakhir.
Pemilihan Langsung dan Money Politik
Berbicara pemilihan langsung tentu tidak terlepaskan dari praktik money politic. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh bakal calon untuk menarik simpati pemilih, tak jarang memercik bara api perselisihan di tengah masyarakat. Bakal calon yang sudah menggelontorkan mahar dalam jumlah besar tentu tidak ingin kalah begitu saja. Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan kursi kepemimpinan yang diimpikan.
Salah satu cara yang dianggap jitu adalah dengan melakukan money politic. Membagi-bagikan uang di daerah pemilihan masing-masing saat Pemilu, seperti sebuah tradisi yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Parahnya lagi, hal ini sama sekali tidak mengganggu proses demokrasi yang ada. Masyarakat seperti sudah terbiasa dan bahkan menjadikan money politic sebagai momen yang dinanti-nanti untuk meraup rupiah dari oknum elit politik "bermental busuk."
Situasi seperti ini sekaligus menjadi cerminan moral masyarakat kita yang rela menggadaikan nasib bangsanya demi imbalan lembaran lima puluhan ribu rupiah. Pertanyaannya, apakah kita masih akan terus menjalankan sistem yang seperti ini? Sebuah sistem yang merugikan berkedok demokrasi dari rakyat untuk rakyat? Ataukah kita tidak ingin mencoba sesuatu yang baru yang tidak menutup kemungkinan akan membawa perubahan pada proses demokrasi di republik ini?
Belajar dari Pengalaman
Kita sudah merasakan hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilukada secara langsung selama kurang lebih sepuluh tahun terkahir. Apakah pengalaman itu baik atau buruk, semua pihak tentu memiliki argumennya masing-masing? Satu hal yang pasti bahwa Pemilukada secara langsung membutuhkan dana besar dan rentan menimbulkan konflik horizontal, fakta ini tidak terbantahkan.
Salah satu bukti bahwa Pemilu langsung erat kaitannya dengan money politic adalah kasus yang menimpa sosok Rudi Hartono (34) yang menjadi korban Pemilu DPR, DPRD, dan DPD April 2014 yang lalu. Kisahnya bermula ketika pada hari Jumat (4/4), almarhum ditugaskan menjadi Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) oleh Ketua Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Propinsi Kalimantan Barat. Almarhum diberi tugas mengawal proses pemungutan suara di Desa Pelaik Keruap, tepatnya di TPS 03 desa tersebut.
Selama menjalankan tugas, almarhum dalam buku hariannya mengaku banyak mendapatkan intervensi dari berbagai pihak, khususnya dari salah satu caleg dan tim suksesnya. Dalam buku harian tersebut ia menuliskan beberapa temuan selama menjalankan tugas sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Atas temuan-temuan tersebut ia mendapatkan tekanan luar biasa dari para oknum caleg yang bersaing.
Pelanggaran sudah dimulai sejak surat undangan yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat yang terdaftar dalam DPT tidak disebarkan. Surat undangan tersebut tidak disebarkan atas perintah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan alasan sibuk dan banyak masyarakat yang sedang tidak berada di tempat. Atas pelanggaran ini almarhum menyatakan keberatannya secara lisan dan tertulis kepada pihak KPPS setempat, namun undangan tetap tidak disebarkan.
Beberapa tim sukses caleg juga pernah menawarkan sejumlah uang kepada almarhum agar mau bekerjasama memanipulasi hasil pemilu, tetapi ia menolak karena tetap berpegang pada prinsip ingin menyelenggarakan Pemilu yang besih dan adil demi kepentingan masyarakat di desa tersebut.
Pun demikian pada saat proses pemungutan suara Rabu (9/4), banyak pelanggaran yang terjadi, seperti temuan adanya surat suara yang dicoblos bukan di TPS, tetapi di rumah salah satu warga setempat. Belum lagi masalah surat suara yang tidak dicoblos karena pemilih yang terdaftar di DPT tidak hadir. Surat suara tersebut dicoblos oleh petugas KPPS dan dianggap sah oleh para saksi.
Alamarhum merasa sangat tidak puas dengan situasi yang terjadi, karena semua telah dirancang sejak awal untuk memenangkan salah satu caleg yang memainkan skenario money politic. Namun apa daya, ia berjalan sendirian dijalur yang menurutnya benar, sementara petugas yang lain larut dalam perannya masing-masing, karena sudah mendapatkan imbalan uang dan tidak mau mengambil risiko.
Istri dan anak almarhum pun tidak luput dari ancaman. Ancaman yang dimaksud berupa intimidasi kepada almarhum bahwa kalau almarhum terlalu jujur dan tidak mau diajak bekerjasama, alamarhum diminta menjaga anak dan istrinya dengan baik. Kalimat “menjaga anak dan isteri dengan baik” tersebut sempat menciutkan nyali almarhum. Atas ancaman ini almarhum melaporkan dan meminta perlindungan dari aparat desa setempat, namun tidak mendapat tanggapan positif. Sampai pada akhirnya almarhum ditemukan tewas bersimbah darah karena ditusuk benda tajam pada hari Jumat (11/4) tepat pukul 14. 30 WIB. Sampai detik ini, setelah lima bulan pasca kematian almarhum, penyebab pasti kematiannya belum juga diketahui.
Memetik Pelajaran dari Pengalaman
Pelajaran yang dapat kita petik dari sekelumit kisah korban Pemilu, Rudi Hartono (34) ini adalah bahwa sesungguhnya pemilihan secara langsung tidak akan pernah menguntungkan bagi rakyat, baik secara politik maupun sosio-kultural. Secara politik, aspirasi rakyat tidak akan pernah didengarkan, karena kepala daerah terpilih sibuk memikirkan proyek-proyek berbadget besar untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan pada saat pemilihan. Secara sosio-kultural, budaya suap menyuap dan saling sikut akan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat, karena para pemimpin mempertontonkan karakter yang seperti itu.
Berkaca dari kasus yang menimpa Rudi Hartono (34) dan keluarganya tersebut, sudah selayaknya kita mendukung proses Pemilukada melalui DPRD. Putusan telah ditetapkan dan yang bisa kita lakukan saat ini adalah mendukung dan megawal ketika sistem ini nantinya diterapkan. Saya meyakini bahwa kebijakan ini bisa menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang lazim kita hadapi dalam setiap kali pelaksanaan pemilihan langsung, baik pemilu legislatif, kepala daerah, maupun pemilu presiden dan wakil presiden.
Para pemimpin yang mendapatkan kursi kepemimpinan dengan cara membeli suara rakyat tentu tidak akan pernah memikirkan nasib rakyat, mereka hanya akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan untuk membeli suara rakyat. Kalau sudah demikian, maka jangan pernah bermimpi aspirasi kita yang diwakili akan didengar.
Oleh,
Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H