[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Ilustrasi. Pengguna jalan melintas di depan baliho Alat Peraga Kampanye (APK) Caleg di Kudus, Jateng, Rabu (20/11). ANTARA/Andreas Fitri Armoko. Sumber: www.tempo.co"][/caption] “Wis nduwe semono yo ra pernah puas… ijih nggolek balen tikel tekuk terus (sudah punya segitu tapi tidak pernah puas… masih cari keuntungan berlipat kali ganda),” ungkap seorang bapak berjaket coklat lusuh dalam percakapan singkat kami ketika sama-sama membeli rambutan. Di dekat bakul rambutan tersebut memang terpampang papan iklan besar seorang caleg yang mohon doa restu rakyat untuk dapilnya. Iklan yang biasanya hanya mampu “dihuni” oleh maskapai penerbangan, pengembang besar, perusahaan otomotif, perusahaan rokok, atau perusahaan berskala nasional, kini telah dikuasai oleh caleg tersebut. Bukan hanya di satu lokasi, tetapi hampir tersebar di seluruh jalan protokol di kota (budaya) iklan kami ini! Logika sederhana Si Bapak tersebut sangat wajar dan rasional. Dari sononya iklan di jalanan (dan media massa lainnya) merupakan sarana yang digunakan oleh perusahaan untuk sosialisasi produk dengan tujuan utama mencari keuntungan. Prinsip ekonomi berlaku di sini: menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya berlaku di sini. Ketika ranah berbiaya puluhan milyaran (atau bahkan trilyunan rupiah?) ini digunakan oleh seorang caleg/capres untuk mempromosikan dirinya sendiri, maka hampir dapat dipastikan caleg/capres yang bersangkutan sudah membuat kalkulasi agar dengan modal “sekecil-kecilnya” tersebut dia (dan partainya) dapat memperoleh keuntungan berlipat kali ganda ketika berkuasa. Jika yang “kecil” itu sudah berpuluh milyar, maka kita bisa membayangkan berapa besarnya keuntungan yang akan mati-matian dia kejar ketika berhasil terpilih. Kendati tidak semua caleg mencari kekayaan dari jabatan, namun hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas caleg (dan capres) yang ada saat ini berjuang begitu rupa untuk berebut kekuasaan hanya untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, kroni dan partainya. Apa dasarnya? Sederhana, yang namanya wakil rakyat seharusnya ya otomatis sudah dikenal oleh rakyat, yaitu melalui proses alami melewati tahun-tahun panjang mendampingi rakyatnya serta memperjuangkan kepentingan rakyatnya melalui program-program kerja yang nyata dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Lha kalau ada caleg/capres baru nongol 2-3 bulan sebelum pemilihan bahkan sampai rela merogoh milyaran rupiah untuk menjual tampang dan janji gombal, apakah caleg/capres tersebut nantinya akan tulus berjuang untuk rakyat yang diwakilinya? Mustanil! Kemana saja mereka selama ini koq menjelang pemilu tiba-tiba butuh promosi diri dan mohon doa restu berbiaya puluhan milyar rupiah agar dikenal rakyat yang akan diwakilinya? Sungguh menggelikan bukan? Jadi, mulai sekarang, marilah kita mulai membaca iklan caleg/capres dengan kacamata ini: semakin besar, banyak, dan mahal, iklan yang dia keluarkan, hal itu menunjukkan semakin besarnya jarak kehidupannya dengan rakyat, sekaligus juga menunjukkan bagaimana keji dan tamaknya dia nanti akan merampok uang rakyat untuk mengembalikan modal dan meraup keuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H