Pagi hari tadi setelah bangun tidur, saya menyalakan handphone. Lalu kemudian ada notifikasi masuk ke group-group whatsapp yang saya ikuti. Salah satunya group whatsapp Covid19 + Seroja. Ya, group ini dibuat oleh teman-teman dari Forum Akademia NTT (FAN). Kebetulan saya adalah salah satu anggota aktifnya.
Semula group ini isinya hanya diskusi seputar masalah penyebaran virus corona. Setiap hari banyak perdebatan antar anggota dalam group ini. Mulai dari perdebatan serius soal strategi penanganan Covid19 di Indonesia dan khususnya di NTT hingga tak jarang pula ada selisih paham antar anggota dengan argumen masing-masing.
Perdebatan-perdebatan tentang virus corona kemudian mendadak beralih. Setidaknya dalam dua minggu terakhir ini. Beberapa hari yang lalu, baru saja terjadi bencana besar akibat badai siklon seroja yang memporak-porandakan hampir semua wilayah di NTT. Banyak korban jiwa dan materil lainnya. NTT berduka.
Para akademia di NTT kemudian mengalihkan topik diskusinya pada persoalan badai seroja. Ini setelah oleh admin group merubah nama group dari FAN Covid 19 menjadi FAN Covid 19 + Seroja. Saya terus mengamati alur pembicaraan dalam group ini hari demi hari. Karena seolah terlena dengan masalah seroja selama kurang lebih dua minggu terakhir, beberapa anggota group akhirnya bersuara "memperingatkan" bahwa pandemi Covid19 belum selesai.
"Jangan lupa peluang cluster baru akan muncul, terutama di posko pengungsian", "Jangan hanya fokus urus kebutuhan para korban, lalu mengabaikan protokol kesehatan di lapangan". Begitu kira-kira beberapa kritikan dari anggota.
Perlu diketahui, NTT adalah Provinsi Kepulauan. Dalam penanganan Covid19 di NTT banyak permasalahan dan tantangannya. Mulai dari masalah koordinasi lintas daerah, fasilitas kesehatan pendukung, hingga perdebatan terkait dukungan pemerintah serta masalah teknis lainnya. Teman-teman dari Forum Akademia NTT termasuk salah satu komponen masyarakat yang sangat kencang mengkritisi dan juga mencari jalan keluar atas permasalahan-permasalahan tersebut. Â Sehingga tidak heran ada anggota dalam group whatsapp ini terus mengingatkan untuk jangan lengah dalam peperangan melawan Covid19.
Kekuatiran munculnya cluster baru akhirnya benar adanya. Notifikasi masuk ke group whatsapp yang saya buka pagi tadi ternyata isinya berita tentang dua warga Kota Kupang yang mengungsi di posko pengungsian reaktif Covid19. Saya kaget baca berita hasil screenshot dari media cetak lokal yang dishare ini. Bayangan saya langsung tertuju pada anak-anak dan para lansia atau kelompok rentan lainnya yang ada di posko pengungsian. Entah berapa banyak lagi yang akan terinfeksi virus corona pasca kejadian ini?
Carut marut penanganan penyebaran virus corona di NTT pada situasi normal meninggalkan tanya besar bagaimana dengan kamp-kamp pengungsian lainnya di wilayah-wilayah terdampak dengan kondisi layanan kesehatan serba terbatas disana. Belum lagi fasilitas sanitasi dan air bersih juga sangat minim. Banyak orang mungkin berkerumun tanpa memakai masker dan mengikuti protokol kesehatan lainnya di posko-posko pengungsian. Ini benar-benar ancaman besar.
Sudah bisa dibayangkan duka masyarakat karena bencana seroja lalu terinfeksi virus corona. Ini ibaratnya sudah jatuh, tertimpah tangga pula. Lalu apakah kita akan biarkan hal ini terjadi begitu saja? Pertanyaan selanjutnya, apakah hal semacam ini juga sudah dipikirkan oleh pemerintah dalam menangani bencana di Malang yang juga baru saja terjadi? Apakah karena demi alasan memutus rantai penyebaran corona lalu kemudian pemerintah melarang masyarakat 'mengungsi' selama lebaran? Tapi dilain sisi, masih saja diijinkan kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan "dalil" telah memenuhi standar protokol kesehatan?
Melihat fenomena ini, satu hal yang pasti bisa kita lakukan adalah terus bergerak memerangi penyebaran virus corona dengan langkah-langkah antisipatif. Baik selama kehidupan masyarakat normal maupun selama masa-masa darurat bencana. Jika tidak, penyebaran virus corona makin tidak terbendung di Indonesia meskipun di beberapa tempat terlihat trennya menurun. Tapi hal ini bukan berarti sudah selesai "misi" Covid19 di Indonesia.
Kembali ke masalah bencana, coba kita amati bagaimana penanganan masyarakat korban bencana selama masa darurat diberbagai tempat. Apakah distribusi bantuan-bantuan kemanusiaan untuk para korban bencana seroja di NTT atau gempa bumi di Malang, sudah mengikuti protokol kesehatan? Apakah selain kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan, juga disertai layanan akses sanitasi dan air bersih, penyediaan masker dan peningkatan kesadaran mematuhi protokol kesehatan selama di posko pengungsian? Apakah disana juga sudah dilakukan rapid test antigen untuk mengetahui ada tidaknya penyebaran Covid19 di posko pengungsian?