Kekuasaan menari-nari dihadapan para pemburu aktulisasi diri, seperti  permen gulali merayu anak-anak dengan busananya yang ceria. Ia mendendangkan suaranya ditelinga para pencarinya, Ia bernyanyi bahwa ia akan  mewujudkan semua mimpi-mimpi mereka. Kekuasan membuat kita lupa siapa diri kita, iIa menipu kita ,bahwa  kita adalah Tuhan; bahwa kitalah yang menentukan garis tangan orang lain, bahwa kita dapat memberikan masa depan kepada mereka                                Â
Pada akhirnya waktu yang akan memaksanya untuk hijrah dari hidup kita dan tinggal dengan tuannya yang baru, Namun manusia lain didalam diri kita memberontak. Manusia itu berkata bahwa kita adalah pemilik tunggal kekuasaan itu. Namun apapun usaha yang dilakukan, kita  gagal menghentikan waktu. Kesadaran kemudian menyelimuti diri ini takala kita bercermin;  Tangan yang lemah,  kulit yang keriput dan Tubuh yang membungkuk.  Semua mengisyaratkan bahwa kita tidak lagi pantas untuk menunggang kekuasaan
Kita terdiam merenungi masa keemasan kita, Sementara di depan pintu ruman Berdiri sesosok bayangan yang wajahnya mengajak ikut dengannya  Dialah sang ajal. Pada saat itulah kita menyadari bahwa kita tidak pernah menunggang kekuasaan, Kitalah orang yang ditungganginya. Kita bukanlah orang yang memiliki nafsu : Kitalah nafsu itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H