Pengalaman menarik sekaligus berkesan ini dimulai  pada tahun 2007 saat saya masih menempuh pendidikan sarjana di Jember, Jawa Timur. Disela kegiatan akademik kelas, saya membiasakan diri melakukan kegiatan penelitian rutin terkait obat tradisional pada suku-suku di daerah Jawa Timur bersama teman seorganisasi pecinta alam. Suku Tengger, salah suku atau etnis yang bermukim di sekitar gunung Bromo saya jadikan project pertama saya dan teman-teman terkait hal tersebut, tepatnya di Desa Ngadas Kecamatan Sukapura, Kab. Proboliggo.
Dikarenakan penelitian yang kami lakukan merupakan penelitian observatif, maka banyak memberikan kesempatan bagi saya untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Ada hal yang menarik disela penelitian tersebut. Jika pada umumnya apabila seseorang bertamu di rumah kita, maka kita mempersilahkan tamu kita tersebut di ruang tamu yang terletak di bagian depan rumah. Tetapi hal tersebut berbeda pada Suku Tengger, setiap kami bertamu ke rumah warga, selalu dipersilahkan menuju bagian dapur rumah yang kemudian mempersilahkan kami duduk di sekitar "pawonan". Pawonan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti tungku untuk kegiatan memasak sehari-hari.
[caption id="attachment_393038" align="aligncenter" width="300" caption="Budaya menyambut tamu khas Suku Tengger yang mempersilahkan bercengkrama di sekitar pawonan. (Sumber gambar: dok. pribadi)"][/caption]
Kearifan budaya lokal yang memiliki makna mendalam
Masyarakat Suku Tengger masih memegang teguh mandat secara turun menurun dari pendahulu (nenek moyang) mereka. Hal tersebut tercermin dari adat istiadat dan kebiasaan kearifan lokal yang masih bertahan dari gempuran modernisasi yang semakin gencar.
Menurut Sutarto (2009) identitas masyarakat Tengger terkesan problematis dan membuat banyak orang kecele, karena masyarakat Tengger bukan suku primitif, suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Hal ini dapat dilihat dari tata kehidupan yang dijalani oleh Masyarakat Tengger, seperti penggunaan sepeda motor sebagai alat transportasi, media elektronik televisi dan radio yang hampir semua keluarga memiliki, begitu juga alat komunikasi Handphone yang hampir semua kalangan muda juga memilikinya. Imajinasi dan eksotisme masal modern yang ditangkap melalui media elektronik yang dimiliki masyarakat Tengger hanya membuat masyarakat Tengger terhenyak dan terkagum-kagum tetapi belum terpengaruh oleh gaya hidup orang-orang atau tokoh-tokoh yang mereka lihat melalui media tersebut.
Sebagian besar masyarakat Tengger masih memposisikan dirinya sebagai wong gunung (orang yang tinggal di gunung) yang berbeda dari wong ngare (orang yang bertempat tinggal di tempat rata, di dataran rendah atau di kota). Di mata wong gunung, wong ngare itu penuh kesenjangan, banyak yang kaya, tetapi banyak pula yang miskin, tidak memiliki tanah. Menurut wong gunung, wong ngare itu lebih suka menyendiri dan membedakan status. Wong ngare sering menilai seseorang dari pangkatnya. Sebaliknya, bagi wong gunung, semua orang dianggap sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan). Karena padha dan sakturunan, maka dalam kehidupan wong gunung tidak dikenal istilah kongkon (menyuruh) orang lain. Istilah yang dikenal adalah bantu kuwat yakni memberi bantuan kepada tetangganya karena beban pekerjaan tetangga tersebut terlalu berat (Sutarto, 2009).
Selain bertujuan untuk menghangatkan tubuh karena suhu di daerah bermukim Suku Tengger yang tergolong dingin, ada filosofi yang terkandung pada salah satu kearifan lokal penerimaan tamu pawonan tersebut. Seperti penjelasan di atas, masyarakat Suku Tengger mempunyai sifat yang andap asor atau menghargai dan terbuka terhadap sesuatu dari dunia luar. Dengan menempatkan tamu di pawonan maka kesan yang masyarakat Suku Tengger tunjukkan adalah keterbukaan dan ingin lebih mengakrabkan diri dengan seseorang walaupun orang tersebut berasal dari luar komunitas mereka.
Saya pribadi akan selalu terkesan dengan sambutan masyarakat Suku Tengger. Walaupun beribu kali berkunjung kembali ke tempat tersebut, saya tidak akan pernah merasa bosan dan jenuh...
Hong Ulun Basuki Langgeng..
Sumber:
Sutarto, A. 2009. Sekilas tentang Masyarakat Tengger. http://prabu.files.wordpress.com/2009/02/ayu-sutarto-sekilas-tentang-masyarakat-tengger.pdf [26 April 2009]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H