Mohon tunggu...
N Nie Wei
N Nie Wei Mohon Tunggu... -

menulis artikel pariwisata, budaya,ilmiah populer, di beberapa media , hobi fotografi, travelling dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ayo Berbisnis di Sekolah, Lalu Lihatlah Apa yang Terjadi

26 September 2012   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:40 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya sekolah di zaman kemerdekaan ini, yang 'merebutnya'  dari penjajah dulu dirintis dan dideklarasikan oleh orang-orang  berpendidikan dan cerdas walaupun ilmunya mayoritas ala Belanda, bisa sangat lebih baik menghasilkan manusia bermartabat dan berjatidiri karena kemerdekaan memberi ruang sebebas-bebasnya untuk menimba ilmu dari manapun dan kemanapun tanpa dikontrol 'mahluk asing' yang bernama penjajah. Herannya, kemerdekaan itu, terutama dalam hal pendidikan, justru menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia mundur dalam kualitas. Kalau toh ada pendidikan yang tampak berkualitas, biasanya bukan sekolah yang diselenggarakan hanya untuk mengejar uang dan berbisnis, tetapi juga menekankan produk akhir berupa lulusan yang bisa dipertanggungjawabkan mutu perilaku,  pengetahuan dan akademisnya. Dan itu kebanyakan bukan sekolah NEGERI. Biaya sekolah memang sebanding dengan fasilitas yang disiapkan, karena memang JER BASUKI MAWA BEA.  Tidak ada sesuatu yang baik itu tidak memerlukan biaya. Parahnya,  slogan diatas malah diplesetkan dan banyak ditiru sekolah-sekolah yang tidak punya kepedulian terhadap lulusannya, kecuali hanya untuk MENGERUK UANG.

Miskin di zaman sekarang memang serba susah. Tapi kalau para pendidik sudah tak bisa mendidik dirinya sendiri untuk selalu ingat bahwa mereka punya beban moral dunia akhirat sebagai orang yang bertanggung jawab pada kegiatan belajar-mengajar termasuk pengajaran budi pekerti, norma, moral baik masyarakat maupun agama lalu apa fungsi sekolah? belajar ilmu apapun orang tua yang 'berpengetahuan' pun bisa mengajar anaknya (makanya ada home schooling) tanpa harus sekolah. Masalahnya, masyarakat yang terlanjur memakai standar ijazah adalah hal terpenting dibanding pengetahuan dan perilaku membuat sekolah jadi menara gading, meski lulusannya kadang tak layak sebagai 'orang sekolah' karena hanya sibuk dengan nilai yang kadang palsu (dari hasil nyontek, beli bocoran soal, beli nilai pada guru maupun dosen).

Pengalaman saya bekerja pada orang asing di Bali satu dekade lalu  sangat mengesankan. Saya hanya mengatakan dimana saya sekolah dan apa yang bisa saya kerjakan. Dan mereka hanya membuktikan lewat kemampuan yang saya perlihatkan tanpa harus meninggalkan ijazah asli saya pada perusahaan seperti cerita teman-teman saya yang jadi salesmen di satu perusahaan yang dikelola pribumi. Memperlihatkan fotokopinyapun mereka segan melihat (kenapa harus tidak percaya? mereka malu menjadi orang yang selalu mencurigai. Berbanding terbalik dengan perilaku orang Indonesia: selalu mencurigakan dan sulit dpercayai karenanya sulit mendapatkan kepercayaan). Lucunya kalau saya belum bisa mengerjakan sesuatu, karena belum pernah mendapatkan baik disekolah maupun kursus, si bos 'menyekolahkan' saya lewat beberapa pelatihan atas biayanya.

Kesimpulannya, ilmu dan perilaku seharusnya lebih penting daripada status dan nilai yang cenderung lebih banyak di rekayasa. Jika ingin Indonesia lebih baik secara kulitas baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusianya, kualitas sekolah dan pendidik harus betul-betul baik. Tak ada keajaiban, menanam padi tumbuh pohon salak. Ketika guru  dan sekolah hanya sibuk berbisnis...lihatlah apa yang terjadi! Muridpun berbisnis... dan tawuran. Kan itu yang 'diajarkan'  ketika mereka tak merasa mendapatkan haknya untuk mendapatkan  pengetahuan memadai dan pengayoman selama mereka berada di sekolah? Tawuran hanya salah satu ekspresi yang diambil dari sifat pendidik yang tak mau peduli dan 'mengeroyok' mereka dengan berbagai pungutan tanpa memikirkan apa yang terjadi pada orang lain. Saya mengalami juga pada kasus sekolah anak saya. Dia memang tidak tawuran, pamer hp atau lari dengan teman FB -nya. Tapi dia mengalami 'pelecehan' oleh guru-gurunya karena dianggap bodoh (baru pindah dari luar Jawa) dan jadi sasaran denda karena sering tidak mengerjakan tugas (dia mungkin dianggap kaya dan sengaja dibodohkan supaya bisa terus dipalak). Berkali-kali dia minta pindah sekolah, tapi saya menolaknya karena baru beberapa bulan pindah sekolah. Setelah betul-betul saya pantau dan telusuri bagaimana sistem di sekolahnya, saya akhirnya memang memindahkan dia ke sekolah lain. Sama-sama SMP negeri. Dan sekarang dia tidak di cap bodoh lagi. Bahkan dia mau belajar dan menikmati sekolahnya. Pulangpun dia masih ingin di sekolah, agar bisa berkumpul dengan teman-temannya dan main basket. Dia juga rajin ke perpustakaan, meminjam buku-buku bacaan yang menurut saya cukup baik. Asal tahu saja, sekolah anak saya sekarang masih berada di Kabupaten, sementara yang sebelumnya berada di kotamadya. Tapi arogansi sekolah anak saya dulu beserta pungutannya sempat membuat saya shock. Bagaimana mungkin, sekolah yang dianggap masyarakat bermutu, mengarah pada standar internasional, justru guru-gurunya hanya sibuk pamer status dan mengabaikan tugas utamanya sebagai pendidik, yang menghasilkan murid berkualitas dan berbudi pekerti. Mungkin karena uang adalah segala-galanya. Dan moral serta budi pekerti nomor sekian, meski mereka mengusung kegiatan sekolah memakai embel-embel  dan atribut agama. Dunia memang lebih menggiurkan dibanding akhirat yang belum dijalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun