Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Suarakan Suara Cerdas, Bukan yang Kosong

19 November 2022   07:27 Diperbarui: 19 November 2022   13:14 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

SUARAKAN SUARA CERDAS, BUKAN YANG KOSONG

Oleh Weinata Sairin

"Sonare inani voce.
Bicara dengan suara kosong."
Di zaman Orde Baru dulu, kita diramaikan dengan kata-kata yang
populer, yaitu "hari-hari omong kosong" yang diakronimkan
menjadi nama pejabat di zaman itu
yang terkenal
pandai berpidato.
Masyarakat luas
mengenal dengan baik sang pejabat.

Istilah itu lahir sebagai ungkapan sikap protes masyarakat terhadap seseorang yang setiap hari berbicara, berpidato, menyampaikan gagasan dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat, tetapi isinya klise atau mengulang-ulang isu lama, basi, dan membosankan. Sang tokoh memang bukan orator yang suaranya menggelegar dan meyakinkan publik. Namun, lantaran ia tampil di ruang publik dan diliput media massa setiap hari, dengan konten yang selalu diulang, dari situlah akronim tersebut bermula.

Ada peribahasa dalam bahasa Indonesia yang amat populer di kalangan masyarakat luas, yang berbunyi: "tong kosong nyaring bunyinya". Peribahasa itu ingin menjelaskan tentang orang yang mahir berpidato, pandai memberikan motivasi kepada banyak orang dan semua orang terpukau dengan realitas itu. Namun kemudian, dalam praktiknya semua yang ia katakan itu hanya "omong besar" karena orang itu ternyata tak bisa apa-apa. Orang itu hanya pandai berorasi dengan bahasa yang muluk dan bombastis alias lebay, tetapi dalam kenyataannya tidak mampu melakukan apa-apa. Realitas seperti itulah yang diungkapkan dalam peribahasa "tong kosong nyaring bunyinya".

Baik "hari-hari omong kosong" maupun "tong kosong nyaring bunyinya" adalah dua untaian rumusan yang berbicara tentang kemandulan kata, ketidakbernasan kata. Kata-kata yang kosong, yang nirmakna, yang tak punya makna dan dampak, yang bagaikan sampah dalam dunia digital, yang sekadar untaian huruf, mungkin bisa membentuk kalimat, tetapi hanya berhenti pada tekstual, tak bisa membuah dalam karya. Peribahasa  "tong kosong nyaring bunyinya" memiliki kesetaraan makna dengan sang pejabat.

Dalam dunia modern, "suara yang kosong" masih banyak kita temui dalam kenyataan praktis. "Suara kosong" adalah ibarat suara yang keras terdengar di tengah hutan, di tengah padang pasir, atau di mana pun di negara antah-berantah, tetapi tidak punya makna apa pun. Suara itu berlalu begitu saja, tidak melahirkan tindakan apa pun. Tidak ada dampak apa pun, tak ada akibat apa pun.

Suara kosong terjadi apabila seseorang dengan amat piawai membujuk ratusan atau bahkan ribuan orang untuk memilih dirinya menjadi pemimpin dengan menjanjikan berbagai "angin surga", tetapi kemudian, sesudah terpilih menjadi pemimpin, ia tidak melakukan program-program yang dijanjikan itu; ia hanya mengumbar syahwat kekuasaannya sambil memperkaya diri dengan cara melawan hukum.

Suara kosong adalah janji-janji tanpa bukti, "PHP" ("Pemberi Harapan Palsu"; bahasa gaul anak muda zaman sekarang---ed.) yang dalam konteks dan kasus tertentu menyengsarakan rakyat, terutama rakyat miskin dan bodoh yang mudah terbuai serta terbius oleh para penjual mimpi tersebut, yang tega menjadikan rakyat sebagai tumbal bagi obsesi politik mereka.

Dalam Negara Indonesia yang masyarakatnya adalah para penganut agama beriman teguh, suara-suara yang diungkapkan ke ruang-ruang
kehidupan bukanlah suara-suara kosong atau suara-suara nirmakna. Bukan juga suara-suara penuh nista dan kebencian bernuansa SARA, atau suarasuara bombastis yang sinis terhadap ideologi negara, atau suara-suara bertendensi diskriminatif, suara-suara yang mencerca dan menguliti siapa saja yang dianggap berbeda, juga bukan suara-suara permusuhan penuh dendam kesumat terhadap sejarah kelam masa lalu.

Suara yang mestinya kita suarakan dalam sebuah NKRI yang maju, modern, dan berkeadaban adalah sebuah koor besar yang melantunkan puji syukur kepada Tuhan atas karya agung-Nya menciptakan Indonesia, suara suara penuh tali silaturahmi dan persaudaraan, suara-suara yang menggugah semangat kebersamaan dan memantapkan wawasan kebangsaan, suara suara dengan kata-kata cerdas bernas yang hendak membangun "Rumah Besar" Indonesia demi masa depan dunia penuh harmoni.

Mari, Saudaraku terkasih, kita bicara dengan suara yang cerdas dan bernas, suara yang indah, cantik, dan elegan. Kita garami, terangi, napasi, dan warnai negeri tercinta Indonesia dengan suara-suara penuh makna, yang memberikan pengharapan dan perspektif kehidupan. 

Selamat Berjuang Merayakan kehidupan. God bless Us.

(ws 181122.4.40)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun