NARASI BERVISI MERINDU PEMIMPIN YANG MEMIMPIN
Oleh Weinata Sairin
"Leadership is an action, not a position." (Donald H. McGannon)
Pemimpin", "pimpinan", dan "kepemimpinan" adalah kata-kata yang amat dikenal dalam kehidupan masyarakat sejak lama.
Mengapa istilah itu amat populer? Ya, karena pemimpin adalah figur yang memandu dan mengarahkan sekelompok orang dalam suatu  organisasi untuk mencapai tujuan organisasi itu.Â
Di rumah ada pemimpin, yaitu ayah-ibu; di lingkungan ada pemimpin: ketua rukun tetangga, ketua rukun warga, lurah, ketua karang taruna; di sekolah ada pemimpin: ketua kelas, kepala sekolah; di kantor ada pemimpin dengan beragam nama: ada kepala seksi, kepala bagian, kepala subbagian, direktur. Di mana-mana ada pemimpin; hanya nama dan pola rekrutmennya saja berbeda-beda.
Ya, di kelompok atau institusi mana pun, baik kuno maupun modern, selalu ada pemimpinnya; orang yang diangkat menjadi pemimpin atau yang menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin. Pemimpin di level masing-masing mempunyai kriteria sendiri dalam pengangkatannya. Ada yang menggunakan persyaratan kualifikasi pendidikan, umur, pengalaman, kompetensi tertentu dalam merekrut pemimpin. Keragaman sistem rekrutmen, keberbagaian dalam persyaratan, memang amat tergantung dari
peraturan di setiap organisasi. Lembaga-lembaga berbasis keagamaan tentu saja memberikan persyaratan yang besar pada bobot keagamaannya.
Nama-nama pimpinan yang beragam itu, entah ketua, kepala, direktur, direktur jenderal, atau panglima, kesemuanya berdasarkan pada tradisi dan/atau diatur dalam peraturan organisasi dan memiliki batas waktu tertentu.
Tidak ada pemimpin yang tugasnya berlangsung seumur hidup, khususnya pada organisasi modern, kecuali ada orang-orang tertentu yang mengutak-atik peraturan yang ada untuk memberikan "dasar hukum" yang melegitimasi kepemimpinannya seumur hidup atau sekian periode melampaui ketentuan perundanganÂ
Seorang pemimpin, apa pun namanya, akan berusaha keras menoreh-kan sejarah dan mengukir karya terbaik di masa kepemimpinannya. Benjamin Franklin pernah menuangkan gagasannya dalam buku Poor Richard's Almanac. Ia mengatakan, "Seseorang yang banyak berbuat, banyak pula melakukan kesalahan." Namun, ia tidak pernah melakukan kesalahan
besar, yaitu tidak melakukan apa-apa. Pemimpin tidak boleh tidak melakukan apa-apa karena takut salah.
Pemimpin harus berbuat berdasar pada visi dan kalkulasi yang ia miliki. Pemimpin tidak boleh berdiam diri saja, apalagi dalam waktu yang lama. Ia harus berkata, berbuat, berdasarkan hasil pemikiran dan kontemplasinya. Ia tak bisa apatis, abai, masa bodoh, pura-pura tidak tahu. Ia mendorong dan memotivasi umat yang ia pimpin; ia terus memonitor dan sewaktu-
waktu melakukan pengecekan langsung di lapangan.
Memang, ada pembagian tugas sesuai dengan jobdes, tetapi pemimpin tak bisa berkata, "Wah, saya tidak tahu, itu bukan urusan saya. Itu urusan anak buah saya." Pemimpin harus menjadi orang yang "mahatahu" walaupun global; yang detail dan teknis biarlah anak buahnya yang memberikan penjelasan.
Pemimpin juga harus mengapresiasi apa yang sudah dilakukan anak buah, menghargai kreativitasnya. Ada kisah menarik tentang Ramon Magsaysay, Presiden Filipina ke-7 (1953--1957), yang memberikan kejutan bagi anak buahnya. Suatu saat sang Presiden melakukan inspeksi ke sebuah proyek baru di Pulau Mindanao. Presiden agak khawatir dengan kelanjutan proyek itu sejak pasokan pompa air dari luar negeri tertunda pengirimannya.
Pada saat ia sampai di proyek itu ternyata proyek masih tetap berjalan dengan baik sesuai dengan jadwal. Ia diinformasikan bahwa beberapa truk diesel Amerika telah dibeli, lalu dibongkar dan diubah untuk digunakan meng-gantikan pasokan pompa air yang belum datang.
Presiden memanggil Kepala PU dan bertanya: "Apakah kau yang bertanggung jawab akan hal ini?" tanyanya sambil menunjuk pompa air yang dibuat seadanya itu. "Ya, Pak!" jawab insinyur itu agak waswas, karena ia telah membeli truk tua dan melaksanakan proyek itu dengan caranya sendiri. "Angkat tangan kananmu!" perintah Presiden. Insinyur itu mengangkat tangannya.
"Ulangi sumpah jabatan ini sesudah kuucapkan!" kata Presiden dengan wajah berseri-seri. Sang insinyur Kepala PU merasa surprise karena ia ternyata dilantik dan diambil sumpah sebagai Wakil Menteri PU.
Ramon Magsaysay telah memberikan sebuah peneladanan yang amat jelas, bagaimana mewujudkan diri sebagai seorang pemimpin. Ia bertindak, tidak hanya duduk di belakang meja. Ia memonitor jalannya proses pembangunan. Ia menghargai para pembantunya. Ia berpikir dan berbuat. Ia bukan sekadar melaksanakan "janji-janji kampanye" dan bangga dengan hal itu.
Kepemimpinan adalah action, bukan position. Janganlah menjadi pemimpin yang hanya mengejar-ngejar posisi, dengan tebar pesona atau tebar yang lain. Laksanakanlah aksi bagi kesejahteraan masyarakat yang majemuk. Juga, jadilah pemimpin yang
bukan hanya untuk diri sendiri, kelompok pendukung, dan orang-orang terdekat. Ajaran agama amat jelas memberikan panduan bagi umat agar mereka yang menjadi pemimpin melakukannya dengan amanah; memberi kemaslahatan bagi orang banyak.
Mari bergerak maju, memberikan yang terbaik bagi banyak orang.
Jangan hanya duduk manis di belakang meja. Ayo, kita wujudkan kepemimpinan yang memimpin.
Kita semua rindu seorang Pemimpin yang memimpin dengan otak, perasaan, hati nurani, yang mengasihi rakyatnya tanpa pertimbangan Sara. Pemimpin seperti itu menorehkan sebuah sejarah dengan tinta emas. Dialah pemimpin sejati bukan pseudo pemimpin atau pemimpin artificial.
Selamat Berjuang. Kiranya Allah merahmati kita.
(Sumber : Weinata Sairin, Semerbak Bijak, BPK GM, Jakarta,2018)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI