Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Paskah 2022: Menginspirasi Hidup yang Berbuah

17 April 2022   16:35 Diperbarui: 17 April 2022   16:49 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuburan Yesus kosong | sumber: pesankasihdarisurga.blogspot.com

REFLEKSI PASKAH 2022 | PASKAH : MENGINSPIRASI HIDUP YANG BERBUAH

Hari-hari ini litani syukur lahir mengejolak dalam nurani. Hari-hari ini  rasa sukacita menggempita mengoyak dada. Hari-hari ini lantunan mazmur syukur mewarnai langkah-langkah perjalanan hidup umat Kristen. Betapa tidak, dua hari raya gerejawi: Jumat Agung (Kematian Yesus Kristus) dan Paskah (Kebangkitan Yesus Kristus) diperingat umat kristiani pada tanggal 15 April dan 17 April 2022. 

Kedua perayaan ini terjadi secara berangkai---pada hari Jumat dan Minggu  memiliki makna yang amat signifikan, bahkan determinan dalam konteks kekristenan yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat majemuk. 

Kedua perayaan ini, tanpa mengecilkan yang lain, menjadi penentu, menjadi mahkota dari perayaan-perayaan keagamaan Kristen yang lain. Kedua perayaan ini menjadi amat unik dan spesifik yang tak pernah dicari paralelnya dan analoginya dalam kehidupan sekuler. 

Kita patut bersyukur bahwa hari Jumat Agung dan hari Minggu telah lama dijadikan hari libur nasional sehingga umat kristiani  memiliki keleluasaan untuk melaksanakan ibadahnya pada hari-hari tersebut.  

Umat kristiani Indonesia meyakini bahwa kondisi ini akan berlangsung selamanya  di semua wilayah Negara Kesatuan RI sebagai implementasi tanggung jawab dan jaminan negara terhadap warganya mewujudkan keberagamaannya  secara utuh, penuh dan konsisten. 

Bahwa kedua perayaan itu semata-mata  suatu rancangan Allah,  suatu skenario dari kuasa Transenden, adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Para murid sendiri sebagai "the inner circle" yang setiap saat berjalan mengiring Yesus  ternyata tidak siap dan tidak mengerti tentang dua peristiwa itu. 

Oleh karena itu, mereka tidak mampu memahami terminologi  yang digunakan Yesus, mereka tak bisa menangkap dengan tepat idiom-idiom dan diksi-diksi yang diungkap Yesus.  Hal itu terjadi bukan saja karena ada kesenjangan pemikiran antara Yesus dan para murid, tetapi karena ada asumsi-asumsi tertentu yang dimiliki para murid  tentang Yesus dan pelayanan-Nya yang tidak pas.

 Tatkala Yesus bicara tentang Kerajaan Allah, misalnya, para murid dan keluarga mereka membayangkan Yesus akan mendirikan sebuah kerajaan  seperti pada zaman Daud dan mereka  sebagai "the inner circle" mengharapkan mendapat kursi empuk dalam kerajaan itu. Dalam konteks itulah Yakobus dan Yohanes mengajukan permintaan agar mereka dapat duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam kerajaan yang  akan Yesus dirikan (Mat. 20:20-21; Mrk. 10:36-37).

Masyarakat, bahkan para murid, juga tak mampu menangkap dengan tepat  makna yang terkandung dalam istilah Kerajaan Allah.  Mereka terjebak pada pemahaman-pemahaman yang lebih berdimensi politik, sehingga mereka, para murid,  saling mencari muka di depan Yesus dengan harapan akan mendapat jabatan basah di kemudian hari. 

Itulah sebabnya ketika Yesus menyatakan akan menderita sengsara, mati, dan bangkit, para murid tidak mau mengerti,  bahkan menolak hal itu. Mereka ingin Yesus tetap berada di gunung kemuliaan, bahkan melarang Yesus turun ke lembah penderitaan ke Yerusalem (Mat. 17:4; Mrk. 9:5; Luk. 9:33).

Gelombang pemikiran Yesus tidak sama dengan gelombang pemikiran para murid. Yesus memarahi Petrus dengan amat keras.  Ketika Petrus merespons negatif informasi  Yesus bahwa Ia akan menderita (Mrk. 8:33). Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus  berada di luar kategori pemikiran para murid.  

Mereka menolak Yesus yang menderita, mereka panik ketika Yesus mati, mereka tidak solid,mereka tercerai-berai,  karena pemahaman mereka tentang Yesus dan misi-Nya amat lemah, dangkal dan sumir. 

Kebersamaan mereka secara fisik  ternyata tidak menjamin luasnya wawasan mereka tentang Yesus. Mereka lebih terfokus pada profit atau keuntungan, bonus apa yang akan mereka terima sebagai murid Yesus, bukan pada nilai-nilai luhur yang dipresentasikan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya.  Mereka terjebak menjadi murid yang simbolik  dan formalistik,  tidak menjadi murid yang mampu memancarkan dan membagi misi Yesus ke spektrum yang lebih luas.

Hari-hari ini tatkala Gereja-gereja dan umat Kristen memasuki Jumat Agung dan Paskah, adalah saat yang amat tepat  untuk merenung ulang arti hakiki peristiwa itu serta menimba makna aktual bagi kekinian zaman. 

Peringatan Jumat Agung dan Paskah akan jatuh menjadi sebuah seremoni  dan selebrasi tanpa makna, bahkan nilai-nilai sakral dan transendentalnya  akan tereduksi jika pemahaman kontemporer  dari kedua hari raya itu tidak mendapat ruang.  Ada beberapa hal substantif yang mesti digarisbawahi ketika kita memperingati Jumat Agung dan Paskah.

Pertama, Gereja-gereja di Indonesia  harus menjadi "Gereja bagi orang lain"; Gereja yang menderita dan solider  dengan umat manusia yang terkapar,terpapar dan menggelepar di pinggir-pinggir kehidupan. Dan tidak boleh menjadi Gereja  yang hidup bagi dirinya sendiri, Gereja yang introvert  dan ekslusif; Gereja yang teralienasi  dari konteksnya; yang tercerabut dari dunia sekitar.

Kedua, Gereja dan persekutuan Kristen harus mampu menampilkan kekristenan otentik yang melalui ajaran Yesus Kristus tentang cinta kasih, perdamaian, kejujuran, pengorbanan, pengampunan,  pembebasan, direfleksikan di dalam tindakan nyata. 

Gereja harus menanggalkan kekristenan simbolik dan formalistik, kekristenan yang mandul, apatis,  dan non-kontributif. Dengan cara itu, kredibilitas dan akuntabilitas Gereja memberi makna bagi dunia.

Ketiga, Gereja dan persekutuan Kristen  harus benar-benar menjadi Gereja yang bangkit, yang mampu membangkitkan  dan mencerahkan umat serta masyarakat, sehingga mereka dapat menatap  dengan mantap keakanan yang disediakan Allah dalam Kristus.
Peringatan Paskah harus mampu membangkitkan Gereja dan umat Kristen untuk memberi perspektif baru bagi warga bangsa yang terpapar Covid 19, Omicron, bagi setiap orang yang terpapar nanar dipinggir-pinggir kehidupan.

Perayaan Jumat Agung dan Paskah ditengah-tengah Saudara-saudara Muslim yang tengah menunaikan ibadah Puasa memiliki makna yang amat penting dan strategis utamanya dalam konteks memperkuat komitmen kita dalam mengembangkan moderasi beragama di Indonesia. 

Kadar toleransi setiap umat beragama di negeri ini makin  mengembang dan menguat dengan hadirnya secara  bersamaan peristiwa keagamaan dari dua agama.

Peristiwa Paskah mestinya bisa menginspirasi sebuah kehidupan yang  berbuah, yang bermakna bagi orang lain.Tanpa itu semua maka Paskah hanya sebuah selebrasi  tanpa makna!

Selamat Merayakan Paskah.

God bless us!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun