REFLEKSI ALKITAB, MINGGU 27 MARET 2022
PENGETAHUAN PENTING DALAM KEHIDUPAN
Oleh Weinata Sairin
"Sekalipun ada emas dan permata banyak, tetapi yang paling berharga ialah bibir yang berpengetahuan" (Amsal 20:15)
Dalam kehidupan sekuler dan dunia nyata, emas adalah salah satu standar yang menjadi acuan tentang nilai kekayaan pribadi/institusi. Kepemilikan seseorang/ lembaga terhadap emas sebagai barang berharga menjadi penunjuk status bonafide tidaknya pribadi atau lembaga tersebut. Nilai emas sebagai barang berharga sering dijadikan referensi untuk menjadi patokan nilai suatu barang pada kurun waktu tertentu.Â
Dengan mengingat nilai emas yang stabil di tengah berbagai fluktuasi harga, tidak heran jika banyak orang yang menjadikan emas sebagai investasi. Dalam memenuhi keinginan pasar seperti ini, PT Antam menyediakan format emas batangan untuk kemudahan investasi.
Kitab Amsal yang disusun lebih kurang tahun 900 SM dan diyakini berasal dari Salomo, memahami emas dalam angle yang berbeda, barang yang antagonistis. "Amsal", yang berasal dari kata Ibrani, misyle/masyal, yang bermakna "misal"; 'perbandingan', adalah kumpulan tulisan beraneka ragam gaya yang isinya berupa nasihat pendidikan, terutama bagi orang muda.
Menurut Amsal, sekalipun banyak yang kita miliki, emas dan permata itu tidak bermakna dan berharga, tidak tinggi dan unggul. Dengan tegas dan eksplisit, Amsal menyatakan bahwa yang paling berharga adalah "bibir yang berpengetahuan", bukan emas dan permata yang banyak. Emas dan permata yang banyak tidak akan bisa 'mengalahkan' "bibir yang berpengetahuan".
Pembandingan yang diungkapkan Amsal ini cukup menarik: "emas dan permata" dengan "bibir yang berpengetahuan". Unsur-unsur itu dijadikan sebagai materi pembandingan mungkin karena emas dan perak sudah amat dikenal di kalangan umat, bahkan bisa jadi, emas dan perak sudah menjadi bagian dari 'investasi' umat zaman itu. Di sisi lain, Amsal juga ingin memfokuskan umat pada dimensi edukasi; sebab itu ia gunakan istilah "bibir yang berpengetahuan". Bukan sekadar bibir yang bisa melafazkan kata, melainkan bibir yang mengucapkan kata-kata santun, elegan, berhikmat, dan penuh kasih sayang; bukan bibir merah berlumur Etude, Lancome, Revlon, atau Saint Laurent.
Amsal menyinggung hal yang amat fundamental bagi manusia modern yang tengah tergerus oleh roh sekularisme dan sedang berjuang melawan Omicron. Kita diingatkan agar tidak terpenjara dan/atau merasa arrive (sukses) dengan memiliki emas dan permata, sebagai representasi dari harta/aset duniawi, tetapi kita perlu memberi fokus pada "bibir yang berpengetahuan". Bibir yang dapat mengungkap empati, cinta kasih, solidaritas bagi sesama, dengan advokasi bagi kaum marginal. Bukan bibir yang asbun (asal bunyi), menebar kebencian dan kegaduhan.
Bibir tidak sekadar "lips", tapi maksudnya  bisa juga "mulut" bahkan "seluruh kedirian seseorang".
Bagi penulis Amsal emas dan permata itu yang biasanya menjadi tolok ukur kekayaan seorang socialita tidak punya makna signifikan andai pribadi seseorang itu bodoh, nir pengetahuan, sehingga diksi yang keluar dari bibirnya, dari mulutnya itu vulgar, nir edukasi atau "kampungan".