Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyuarakan Suara yang Bersuara

23 Maret 2022   15:51 Diperbarui: 23 Maret 2022   16:05 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi menyanyi |sumber : thoughtsofjustafan.com

Hidup modern kadang terasa kering dan membuat penat. Sebab itu, musik, sastra, dan bentuk-bentuk karya seni yang lain makin perlu mewarnai kehidupan kita. Beberapa tahun yang lalu, ada grup musik bernama Lingga Binangkit dari Bandung yang biasa membawakan lagu-lagu bernuansa Islami. Lagu-lagunya amat bagus karena ditata dalam format empat suara. 

Demikian juga grup Bimbo. Paduan Suara Unpar Bandung, Paduan Suara Anak Indonesia, misalnya, sudah terkenal di mancanegara karena juga menampilkan suara yang sangat bagus Suara-suara dalam konteks pemilihan pimpinan juga sangat penting, baik pada aras lokal, regional, maupun nasional. Suara-suara dalam hubungan dengan Pilkada itu amat kental aroma politiknya, yang kadang-
kadang tidak lagi senapas dengan ketentuan perundangan dan bahkan menafikan nilai-nilai luhur ajaran agama. Aspek politik yang sarat dengan kekuasaan lebih mengedepan dalam konteks ini dan bukan politik dalam konteks "bagaimana mengelola sebuah 'polis' dengan baik".

Sebagai umat beragama, kita berharap agar warga bangsa kita tetap memiliki daya tahan keberagamaan yang tangguh, yang mengamalkan agama secara kafah dan profesional dalam menjalankan peran sebagai anggota partai politik. Dalam konteks menjalankan aktivitas politik yang profesional kita berharap agar agama tidak dikerdilkan dan/atau direduksi menjadi kendaraan, vehicle, instrumen politik (praktis). Pemikiran jernih tentang peran dan posisi agama dalam sebuah NKRI yang majemuk yang
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 harus selalu kita suarakan. Pikiran tentang harmoni, tali silaturahmi, saling menolong, bahasa dan "wording", diksi yang respek terhadap kemajemukan, mesti selalu diperdengarkan.

Suara-suara tentang persatuan bangsa, pengalaman empirik kelompok masyarakat dalam menumbuhkan toleransi, harus dibagikan kepada khalayak. Anggota parlemen, pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat, para akademisi,  semuanya mesti mengembangkan pikiran positif demi sebuah NKRI yang lebih baik. Kita harus lebih sering menggunakan kosakata "saling", "kita", dan "kami" dalam berinteraksi. Mari ungkapkan suara-suara penuh persaudaraan; bukan ancaman, ujaran kebencian, dan/atau penghinaan. Ungkapkan kata dan suara memotivasi, bukan arogansi kelompok/golongan.

Pepatah kita mengingatkan agar kita jangan bicara dengan suara kosong: "Bubarkan ini-itu!", "hentikan ini-itu!", yang bisa dimaknai naif dan emosional. Mari bersuara yang cantik dan elegan sesuai dengan fitrah kita sebagai umat beragama.

Suarakan suara-suara cerdas bernas yang visioner dan memberi pengharapan masadepan ditengah umat manusia yang gagap disergap Omicron.

Selamat Berjuang. God Bless!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun