Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berbuat Baik, sebagai Respons Atas Kebaikan Tuhan

22 Agustus 2021   05:00 Diperbarui: 22 Agustus 2021   06:29 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbuat baik | Sumber : m.kapanlagi.com

"Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang"~ 1 Tesalonika 5:15

Kekuatan utama kekristenan terletak pada figur Yesus yang menampilkan sosok pemimpin sempurna yang menjadi referensi umat. Yesus tidak hanya berkata dan berkata, tetapi juga mewujudkan kata-kata-Nya itu dalam akta, dalam action, dalam perbuatan dan tindak nyata. Didalam Yesus, kata-kata tidak berhenti pada kata, tetapi membuah dalam karya. 

Di situlah kekuatan utama yang mewarnai sosok seorang Yesus, pribadi yang perfect, yang menjadi acuan bagi para pengikut-Nya yang berkembang dari zaman ke zaman. Tentu saja hal itu bukan satu-satunya kekuatan utama yang terdapat dalam kedirian Yesus. 

Doktrin, ajaran teologi tentang keselamatan, penebusan, pengampunan---untuk menyebut beberapa---adalah hal-hal baru yang membuat banyak orang datang dan percaya kepada-Nya. Keselamatan tidak terjadi karena perbuatan manusia, tetapi melulu sebagai karya Allah di dalam Yesus Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib. Sesuatu yang sama sekali baru, yang berada di luar kalkulasi dan kategori pemikiran manusia.

Ajaran Yesus yang menekankan "kasih", baik kasih kepada Allah maupun kasih kepada sesama, menjadi penanda utama/ciri khas dari kekristenan.

Melalui ciri khas itulah kekristenan menjadi kekuatan yang powerful yang mewarnai dunia. Kesemua ajaran Yesus itulah yang terus-menerus diimplementasikan dalam kehidupan Jemaat-jemaat Kristen di abad-abad pertama. 

Menarik sekali membaca Surat Paulus kepada Jemaat di Tesalonika. Dalam ayat yang dikutip di awal tulisan ini, Paulus memberikan pengingatan agar jemaat jangan mengembangkan sikap "balas dendam", yaitu membalas kejahatan dengan kejahatan. 

Paulus mendorong jemaat untuk senantiasa mengusahakan yang baik di lingkup internal dan eksternal yang menjangkau semua orang. Ini adalah resonansi dari apa yang Yesus ungkapkan dalam khotbah di bukit. Yesus mengatakan, "Kamu telah mendengar firman mata ganti mata, gigi ganti gigi." 

Namun, berbeda dengan pola pikir itu, Yesus malah menyatakan, "Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (Matius 5: 38, 39). Yesus tidak menganut "hukum pembalasan". Ia mengembangkan hukum kasih, yang rela memberikan pipi kirinya (juga) setelah pipi kanan ditampar oleh orang lain. 

Nasihat Paulus kepada Jemaat Tesalonika meneruskan ulang apa yang Yesus nyatakan dalam khotbah di bukit dengan beberapa penekanan penting.

Paulus menasihatkan agar diusahakan senantiasa yang baik. Tidak dijelaskan lebil detail dan elaboratif apa yang dimaksudkan dengan "sesuatu yang baik" itu. Namun, dalam konteks Jemaat Tesalonika, yang baik itu minimal adalah merajut tali persaudaraan di antara warga jemaat dari berbagai latar belakang yang berbeda; mengembangkan harmoni untuk memantapkan kebersamaan internal. 

Selain itu, kata "baik" dalam konteks eksternal adalah juga lebih terbuka dalam mengapresiasi realitas kemajemukan, concern pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat luas, memberi topangan dan dukungan nyata bagi permasalahan riil yang tengah digumuli masyarakat. 

Dalam perkembangannya, paling tidak 10 tahun terakhir ini, kekristenan mengalami pergumulan dan tantangan yang cukup dahsyat dalam menjalankan tugas panggilannya di tengah masyarakat majemuk Indonesia.

Ujaran kebencian, penistaan, hujatan, persekusi, kesulitan pembangunan gedung gereja, pelarangan ibadah, penghentian/pengusiran ibadah dan sebagainya, telah menjadi bagian integral dari sejarah kehadiran kekristenan di Indonesia.

Gereja dan umat Kristen dalam menghadapi realitas itu lebih memaknainya sebagai bagian dari salib yang harus dipikul, artinya tidak  memberikan perlawanan yang berarti kecuali mendoakan agar Tuhan mengubah mindset mereka tentang kekristenan, dan agar Roh Kudus menguasai mereka sehingga mereka diperkenalkan dengan figur Yesus Kristus, Jalan dan Kebenaran dan Hidup.

Nasihat Paulus kepada Jemaat Tesalonika masih tetap memiliki relevansinya bagi kita yang hidup di zaman kini, dengan berbagai dinamika di dalamnya. Tahun 2024, tatkala ada agenda Pilkada serentak dan Pilpres di negeri ini, bukan tidak mungkin hambatan terhadap kekristenan makin mengemuka. 

Kekristenan tidak berada di bawah dan/atau tunduk pada kuasa apa pun, termasuk kuasa politik. Ketika politik identitas dan keragaman SARA tetap dipahami sebagai bagian dari strategi mendulang keberhasilan, friksi dan gesekan dalam hidup beragama akan tetap memiliki peluang. 

Menghadapi realitas itu, sebuah kekristenan yang cantik, elegan, dan penuh kasih harus makin ditampakkan dalam dunia nyata. 

Sikap inferior, sindrom minority complex, tidak boleh mewarnai kekristenan. Kekristenan harus lebih memiliki self-confident sebagai sebuah entitas yang sejak awal ikut proaktif mendesain rumah besar Indonesia, dan yang sama sekali bukan warga negara kelas dua atau penumpang tanpa karcis di gerbong NKRI..

Di era pandemi, tatkala kemiskinan, pengangguran bahkan kematian melilit kehidupan umat manusia maka umat Kristen, organisasi Kristen, lembaga-lembaga oikoumene di semua aras harus lebih proaktif dalam 'berbuat baik'. Banyak bentuk perbuatan baik yang bisa dikakukan : pelayanan spiritual lewat medsos, pemberian sembako, kunjungan pastoral, penguatan iman dlsb. 

Di tingkat lokal selain ada Jemaat, ada juga persekutuan oikoumene, badan kerjasama Gereja, komunitas 7 Gereja dan sebagainya.
Mereka bisa melakukan kegiatan yang terarah bagi mereka yang terpapar Covid, tanpa memandang Sara.

Dengan cara itu kehadiran Gereja makin dirasakan dan ajaran Yesus yang mengasihi, dirasakan resonansinya pada  aras praksis.
Mari melakukan kebaikan dan kebajikan sebelum kita sendiri terpapar. 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless Us.

REFLEKSI ALKITAB, 22 AGUSTUS 2021 : BERBUAT BAIK, SEBAGAI RESPONS ATAS KEBAIKAN TUHAN

Weinata Sairin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun