Manusia ingin hidup, ingin merajut karya terbaik dipentas zaman, di ruang-ruang sejarah. Manusia mendambakan kehidupan; mereka berusaha menghadang maut; mereka ke Penang, Mount Elisabeth Singapore, Tokyo atau kemanapun menghalau penyakit dari tubuhnya agar ia segar dan tetap eksis.Â
D. Kemalawati mengasumsikan kematian itu sebuah ranjang, tempat tidur yang biasanya menjadi tempat untuk membaringkan tubuh lelah.Â
Ia mengingatkan kita tak usah risau dan takut kepada maut, rebahkan tubuh yang lelah (dan uzur); dalam lelap penuh harum mawar, mimpi indah datang.Â
Hari maut yang indah. Tak sempat lagi berfikir tentang hari-hari kedepan, bagaimana menjawab pertanyaan malaikat, azab kubur, purgatorio dan sebagainya.Â
Oleh karena secara detil maut itu pada dirinya amat rahasia dan tertutup maka seniman, komposer, penyair mencoba mengelaborasi inajinasi mereka seputar kematian berdasar sumber yang ada. Dalam konteks itu narasi-narasi yang ada dalam Kitab Suci tentang maut amat membantu. Maut terasa menjadi lebih akrab dan 'familiar' dengan narasi imajinatif yang dibuat oleh para penyair.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan "yang hidup dalam kemasyhuran tidak akan mati". Para tokoh, selebriti, pemimpin dunia, penulis, filsuf, para penemu, pejabat agama, semua mereka yang pernah hudup ditengah sejarah dan namanya termasyhur, mereka tidak akan mati; mereka akan hidup terus walau sudah mati.
Kita harus berjuang menjadi orang yang termasyhur, terkenal, populer dalam kriteria yang baik dan positif dan bukan karena melakukan perbuatan negatif yang bermuara pada pidana.Â
Tetapi biasanya orang-orang yang melakukn berbagai kebaikan dalam banyak wujud, para penemu, para ahli, mereka yang memberdayakan orang kecil, pada awalnya mereka tidak mencari kemasyhuran, mereka hanya melakukannya semua sesuai dengan kompetensi dan talenta mereka.
Jika kita berniat "tidak akan mati" lakukanlah yang terbaik dan positif dalam bidang kita masing-masing. Jauhilah perbuatan aib dan negatif. Patuhi dan taati perintah agama, sampai maut menjemput. Nama kita tidak akan mati.
Kematian bisa terjadi  di Rumah Sakit MMC, di Lembata, di jalan tol, di tempat isoman, di Adonara, di tikungan patah di Puncak, di Ruang ICU, dimana saja bisa terjadi kematian itu.Â
Maut bisa menjemput dengan tiba-tiba seorang Daniel Dakhidae, Umbu Landu Paranggi, Pangeran Philip tapi nama mereka akan tetap hidup menjadi bagian dari memori kolektif bangsa. Kita semua sedang berada dalam antrian panjang dan arakarakan menuju ke kematian.