"Omnia humana brevia et caduca sunt. Semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap musnah".
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia dicipta (Ibr. bara) dari ketiadaan, menjadi ada. Ia bukan ada secara "sim sala bim"; ia dihadirkan menjadi berada oleh Allah, Kuasa Transenden.Â
Transenden, adalah Kuasa Yang Diatas, Kuasa Ilahi, kuasa yang tidak akan pernah tersaingi dan tertandingi. Allah itu Khalik, manusia itu makhluk. Sudah pasti terdapat beda signifikan antara Pencipta, Khalik, dengan yang dicipta, makhluk.Â
Khalik tidak berada dalam ruang kefanaan, Khalik tidak terkena, tersentuh dan atau berada dalam frame waktu. Khalik mengatasi waktu, Ia terbebas dari dimensi waktu.
Manusia berada dalam ruang dan waktu. Sebagai makhluk yang dicipta ia berdimensi waktu, ia dikuasai kefanaan dan sebab itu ia memiliki limit. Kita bersyukur bahwa manusia dalam kefanaannya, kelemahan dan keterbatasannya diberi mandat oleh Allah untuk mengelola bumi agar bumi dengan seluruh isinya memberi kemaslahatan bagi umat manusia dari generasi ke generasi.Â
Dalam konteks amanat itu, maka manusia dianugerahkan Allah akal budi, perasaan, intelektualitas sehingga tugas pengelolaan itu dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Oleh karena manusia adalah makhluk yang dikuasai kefanaan maka semua produk yang dibuat manusia adalah juga produk yang "fana" bukan sesuatu yang abadi, sesuatu yang waktunya terbatas. Dan semua yang ada di dalam dunia adalah barang yang fana, yang suatu saat akan musnah. Fana artinya tidak kekal, sementara, terbatas, sesuatu yang pada suatu saat akan lenyap dan musnah.
Dari segi bahasa, fana itu adalah lenyap, hancur, sirna, hilang. Menurut sebuah literatur istilah fana muncul dalam kajian tasawuf diabad III Hijriyah. Sufi yang pertama kali bicara tentang kefanaan adalah Abu Yasid Al-Bustami. Al Qusyairy penulis tasawuf abad V Hijriyah menjelaskan bahwa fana itu menunjuk kepada gugur atau hilangnya sifat-sifat tercela dan mengisyaratkan hadirnya baka (kekekalan) yaitu munculnya sifat-sifat terpuji.
Sejak awal manusia sudah sangat faham bahwa dirinya terikat dalam belenggu kefanaan. Kondisi itu tak bisa ditolak atau dilawan karena kefanaan adalah hakikat dari kemakhlukan.Â
Walaupun manusia menyadari bahwa ia adalah sosok yang fana, yang waktunya terbatas dan punya garis akhir namun acapkali kefanaan itu tidak nampak eksplisit dalam sikap hidup sehari-sehari.Â