Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Sepanjang Hayat: Pilihan Cerdas

20 November 2020   13:21 Diperbarui: 20 November 2020   13:39 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"It is impossible to begin to learn that which one thinks one already knows" (Epictetus)

Saat ini kesempatan belajar amat terbuka, asal seseorang haus ilmu, merasa tidak tahu apa-apa atau bahkan merasa "bodoh". Zaman dulu orang menambah pengetahuan dengan membaca koran, buku, mendengar siaran radio dan menonton tayangan televisi. 

Pada zaman itu, seseorang yang bookaholic maksimal pergi ke perpustakaan meskipun kondisinya masih terbatas. Demikian pula toko buku. Masih bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Jauh berbeda saat ini. Jumlah perpustakaan dan toko buku sangat banyak. Bahkan ada yang bisa diakses secara online.

Memasuki era digital, menambah ilmu hanya sebatas kepiawaian menggunakan ujung jari, bertanya pada "Mbah Google" atau memakai berbagai aplikasi untuk mendapatkan informasi yang up to date. Tidak sulit. Amat mudah "melahap" berbagai jenis informasi dan ilmu pengetahuan.

Hal yang amat menakjubkan (tetapi sekaligus mengkhawatirkan) adalah generasi cucu-cucu kita relatif lebih akrab dengan gadget. Mereka nyaris tidur dan bangun dengan gadget. Kerap, orangtua mereka tidak mampu mengontrolnya. Mereka sangat piawai mengunduh berbagai aplikasi, misalnya gim. Mereka mampu menirukan dialog-dialog dari kisah-kisah remaja yang ada pada gadget mereka. Itulah antara lain kehebatan generasi milenial yang amat spesifik dan belum "tertandingi".

Dampak positif perkembangan teknologi memang terasa "menyerang" anak-anak kita. Mereka hampir tak bisa lagi dikendalikan oleh orangtua mereka untuk tidak melahap semua konten dari gadget. Mereka takjub dan terpesona dengan teknologi baru itu dan kemudian benda-benda itu telah hadir sebagai mamon atau berhala baru dalam hidup mereka. Sekolah, komunitas keagamaan, dan lembaga-lembaga yang peduli anak mesti melakukan upaya keras agar dampak negatif dari teknologi gadget itu dapat dieliminasi.

Perkembangan teknologi adalah buah dari perkembangan ilmu dan teknologi yang dicapai umat manusia. Itu semua terjadi karena Tuhan menolong manusia, melengkapi akal dan pikiran manusia sehingga ditemukan teknologi baru. Dalam perspektif itu juga, manusia, dengan anugerah dan hikmat Tuhan, pasti akan dapat menemukan cara yang tepat untuk menanggulangi dampak negatif perkembangan teknologi.

Pepatah di atas menegaskan, tak mungkin memulai belajar jika (beranggapan) sudah tahu semuanya. Semua perkembangan yang ada harus dimanfaatkan untuk menjadi media pembelajaran. Kita harus menjadi pembelajar seumur hidup. Bukan sekadar mengejar
sertifikat.


Selamat Berjuang. God bless!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun