Beta tabu ketika gundu jadi gurau
Tertawa di ranah dan pesisir sabana
Gundu telah beradu
Kini buyung di desa-desa tak sececahpun mengusik tradisi
Gunung menyibakkan awan di tengah persawahan
Bani dan awak desa bertani panen sagu
Atau angin yang berbisik Maghrib itu menggiring ayah ibu berbondong ke masjid perbatasan
Waktu kecil dulu
Beta kerap tersapu binar veteran bangsa
Dengan pendidikan yang menjulang
Desir haluku muncul gelora
Atau lingkungan yang kerap berfatamorgana
Dahulu, Beta menghajatkan pemimpin kritis
Agar gema takbir bisa bertemu para awak
Waktu kecil dulu
Bilik kusam tempatku duduk di bangku sekolah melukiskan sejarah optimalisasi belajarku
Menteri dan pakar ilmu merajut kembali daun yang gugur
Beta ingin terbang bagai elang
Penuh nafsu ketika berburu ilmu
Dengan naluri bengis meraup seluruh isi buku
Fajar lalu, ketika sang saka dikibarkan masih sempat berorasi
"Aku menginginkan kesejahteraan yang dikobarkan para sanak!" Sergahnya
Beta merintih sedih
Indera dibungkam oleh tirta
Tidurku dihantui penjuru buana yang kini mereguk
Andai beta tak terabai secepat dulu
Mungkin penjunjung negeri sudah menggurui
Dan tidak lagi berkhayal dalam dunia fantasi
Nyatanya dalil terus membujuk agar awak negeri seperti pengecut
Berparak intensi awal yang dirujuk istimewa
Beta berperang intuisi menyulih diorama rakyat jelata
Surabaya, 12 Oktober 2017
-Wegig Yhusa Tanaya-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H