Pendahuluan
      Hidup adalah sebuah pencaharian. Manusia dalam dirinya selalu rindu untuk mencari. Ia akan mengalami kepuasan tertentu ketika sudah menemukan apa yang dicarinya. Seorang gembala domba tentu akan merasa puas dan senang ketika domba yang hilang ditemukan setelah sehari mencarinya. Yesus sendiri juga berkata "sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat" (Mat 18:13).  Tujuan pencaharian itu ialah kebahagiaan. Allah adalah sumber kebahagiaan tertinggi manusia. Aristoteles menyebutnya sebagai eudaimonia, yaitu keadaan jiwa manusia yang sempurna dan mengalami sukacita dan karena itu tidak tergantung pada subyektivitas.
      Kebahagiaan berarti manusia mengalami kontemplasi. Kontemplasi itu hanya akan menjadi riil kalau ada keselarasan dan relasi erat antara rahmat yang diberikan (gratia operans) dan ramhat yang diusahakan (gratia cooperans). Kontemplasi bukan sebuah idealisme naif atau utopia, melainkan anugerah cuma-cuma dari Allah. Kontemplasi tidak hanya terjadi di biara-biara dan tempat-tempat pertapaan,tidak hanya milik ekslusif kaum berjubah, tetapi lebih dari pada itu kontemplasi menyasar dalam diri orang-orang kecil, kaum proletar marginal. Secara ringkas kontemplasi mestinya terjadi di tengah dunia dengan segala dinamikanya. Dalam artikel ini pertanyaan-pertanyaan teodice menjadi fondasi refleksi mengenai kontemplasi di tengah para pemulung di TPA Nangarasong: apakah Allah itu adil? ketika Dia seakan-akan membiarkan sekelompok manusia dimarginalisasi? apakah hidup sebagai pemulung yang setiap hari bergaul dengan sampah itu dikehendaki oleh Allah? Saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan melihat dari dekat, mendengarkan, dan merasakan dengan hati kondisi para pemulung itu.
Kelompok pemulung di TPA Nangarasong
      Pemulung di TPA Nangarasong terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pemulung dari daerah Waturia dan kelompok pemulung dari Watuwoga. Riset yang dilakukan oleh Antonius Mario R. Lobo terhadap kelompok pemulung ini memperlihatkan bahwa para pemulung itu adalah kelompok orang miskin. Mereka mengalami beberapa jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan mutlak, kemiskinan relatif, dan kemiskinan struktural. Kemiskinan mutlak nampak dalam tingkat pendidikan yang relatif lebih rendah (53,4 % tamat SD dan 33,4 % tidak sekolah), keterbatasan akan konsumsi makanan yang sehat (80% jarang 1-3 kali dalam sepekan), keadaan rumah (53% berlantai tanah), ketersediaan air bersih (air dibeli pada tanki 60%), frekuensi makan dalam sehari (60% hanya makan dua kali dalam sehari), pengobatan terhadap keluarga yang sakit (53,3% berobat di rumah) dan pendapatan pemulung (53,4% berkisar 150-500 ribu per bulan). Selain miskin mutlak, kelompok pemulung juga mengalami Kemiskinan relatif yang nyata dalam kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Sikka terhadap keberadaan para pemulung. Lebih parahnya lagi mereka bukan hanya tidak diperhatikan tetapi mengalami pemiskinan dan diskriminasi (kemiskinan struktural ). Secara sosial, kemiskinan yang dialami turut menciptakan jurang antara para pemulung dan masyarakat lainnya. Para pemulung dianggap sebagai kelompok orang-orang yang bau, jorok, dan menjijikkan[1].Â
Â
Melihat dari Dekat
      Lobo benar ketika dia mengatakan bahwa para pemulung di TPA Nangarasong itu bau, jorok, kotor, dan menjijikan. Saya melihat dengan mata sendiri bahwa benar mereka demikian adanya. Tubuh mereka penuh daki dan menjadi sangat hitam. Tidak menarik untuk dipandang, apalagi didekati. Saya menyapa mereka dengan suara keras dari kejauhan: "selamat pagi....", sontak mereka menjawab serentak dan kompak, "selamat pagi juga frater". Sejenak saya diam dan hanya mata telanjang mulai melihat. Tanpa banyak bertanya, saya melihat orang-orang itu berebutan mengais sampah seakan-akan sampah itu makanan paling lezat bagi mereka. Beberapa dari antara mereka sudah uzur, tetapi tetap semangat walaupun sesekali terpaksa duduk di atas tumpukan sampah sambil terus mengais dengan tongkat seadanya. Mereka akan berhenti mengais setelah menemukan banyak barang bekas yang mereka perlukan dan akan kembali berlari dan berebutan sampah yang diangkut truck. Sungguh ini bukan pemandangan yang indah. Dalam benakku muncul pertanyaan ini: mengapa mereka mau bekerja seperti ini? apa yang mereka cari? Hanya melihat dan bertanya-tanya saja itu tidak baik. Apalagi melihat penderitaan yang dialami oleh sesama manusia. Saya mesti terlibat, dengan cara apa? Berdoa saja tidak cukup. Berhadapan dengan kenyataan itu sebagai murid Yesus Kristus mesti mengambil langkah pasti, turut merasakan kesengsaraan Kristus yang nyata dalam diri para pemulung itu. Paus Fransiskus dalam eksortasi Apostolik menegaskan keberpihakannya kepada kaum tertindas. Paus menulis: "Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, dari pada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri".[2] Dengan sigap, saya mengambil karung dan sebatang kayu kemudian mulai mengais sampah bersama para pemulung itu.
Â
Mendengarkan dan Merasakan dengan HatiÂ
      Apa yang dilihat mesti digenapi dengan apa yang didengar. Mendengarkan dengan hati. Sebab hati mewakili pusat keberadaan kita.Hati adalah alam dimana saya secara paradoks tidak hanya paling intim dengan diri saya sendiri, tetapi paling erat bersatu dengan semua. Mata hanya melihat cahaya, telinga hanya mendengar suara, tetapi hati mendengarkan dan merasakan makna. Saya mendengarkan litani keluhan dan rintihan kelompok pemulung itu. Sungguh mereka ditelantarkan, dibiarkan supaya tetap miskin oleh sistem yang menindas. Mereka mengakui bahwa ada bantuan yang datang silih berganti baik dari pemerintah maupun Gereja. Namun, bantuan itu tidak berarti sama sekali. Bahkan mereka diperalat oleh oknum-oknum tertentu guna mendatangkan bantuan yang bukannya membebaskan mereka dari kemiskinan, tetapi justeru membuat mereka semakin terpuruk. Mereka mengalami kesmiskinan struktural.     Â
      Sekitar pukul16.00, mobil pick up para pedagang tangan pertama yang mengangkut barang-barang bekas para pemulung itu datang. Saya mendekati mobil itu dan mulai bercanda dengan Moa[3], "kae..sepertinya badan saya lebih ringan dari karung itu..." kataku kepada Moa sambil terus duduk di atas timbanganya. Dengan senyum bungkusnya si Moa menjawab, "kalau begitu...nanti engkau, saya muat juga". Sebetulnya saya hanya menguji akurasi timbangan itu. Ternyata sumber ketidakadilan ada pada timbangan itu. Bagaimana mungkin berat 1 karung besar berisi kaleng dan barang bekas lainnya hanya mencapai 30-40kg yang kalau diuangkan sekitar 60-80 ribu. Lingkaran setan kemiskinan berawal dari timbangan itu. Para pemulung itu orang miskin bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan sengaja dibuat miskin oleh struktur sosial. Mereka terjebak dalam sistem dan struktur yang menindas dan ikut dalam aturan mainnya. Memberontak mereka tak mampu. Bertahan dan menikmati hidup di tengah ketidakadilan adalah pilihan terbaik.
      Pengelaman sehari bersama kelompok pemulung itu cukup mengasa kemampuan merasa yang sudah lama mati karena kenyamanan. Saya cukup merasa aman dengan diri sendiri, dengan kehidupan komunitas biara yang indah dan menyenangkan, prior yang baik, ekonom rumah yang bijak, deken yang altruis, sub-deken yang selalu kooperatif,dan para saudara sekomunitas yang pengertian dan selalu mendukung. Kerasnya perjuangan hidup para pemulung di TPA itu membongkar benteng kenyamananku, menampar kesadaranku untuk segera pergi dan menawarkan Kristus yang membebaskan. Pergi dari tempat ini untuk mengalami Dia yang ada dalam hati para pemulung itu dan merasakan sengsara dan penderitaan-Nya. Allah tidak ada di gundukan sampah, Allah tidak ada di asap tebal mengepul, atau di tanah kering bebatuan, Dia tidak bersemayam di bukit gersang Nangarasong. Allah hadir dalam diri para pemulung itu, Dia bersembunyi dalam hati mereka walaupun mereka itu "kotor". Allah bersemi dalam selubuk yang rapuh, milik kaum kotor itu. Tubuh yang kotor sekalipun menjadi temple yang indah bagi Allah, tubuh adalah bait Roh Kudus[4]
      Tempat itu memang sangat kotor dan kumuh, asap tebal mengepul dan penuh tumpukan sampah, bau busuk dan menjijikan. Tempat itu adalah ladang dan mata pencaharian mereka. Memang mereka itu "kotor" karena sampah yang diproduksi oleh ribuan manusia,oleh para penghasil sampah yang tidak tahu diri. Mereka kotor karena sampah kita. Namun, dari sampah itu mereka hidup, walaupun kotor dan menjijikan. Kita pada satu sisi membuat mereka tetap hidup, tetapi pada sisi lain membuat mereka menderita. Memang benar bahwa manusia itu homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Namun Tuhan tetap membiarkan manusia hidup dan memberi kesempatan untuk memaknai hidupnya.
Â
Penutup
      Para pemulung di Nangarasong adalah kelompok marginal dan miskin. Mereka miskin bukan karena kehendak sendiri melainkan dijajah oleh sistem dan struktur yang tidak adil. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Perjuangan untuk keluar dari sistem itu mesti dilakukan secara bersama-sama dan subversif dengan satu pemahaman teologis bahwa Allah tidak menghendaki satu orang pun menderita dan bahwa penderitaan Kristus di salib adalah fundamen pembebasan bagi umat manusia. Konstitusi no.16 secara implisit menegaskan bahwa melalui hidup seperti Kristus, dalam solidaritas dengan peristiwa dan harapan umat manusia, para Karmelit akan mampu untuk mengambil keputusan tepat untuk rela mengubah kehidupan, dan membuatnya semakin selaras dengan kehendak Bapa. Kontemplasi yang kita lakukan setiap hari di biara-biara mesti memiliki dimensi politis dalam arti pembebasan kalau tidak mau terjebak dalam kontemplatifisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H