Apa yang dilihat mesti digenapi dengan apa yang didengar. Mendengarkan dengan hati. Sebab hati mewakili pusat keberadaan kita.Hati adalah alam dimana saya secara paradoks tidak hanya paling intim dengan diri saya sendiri, tetapi paling erat bersatu dengan semua. Mata hanya melihat cahaya, telinga hanya mendengar suara, tetapi hati mendengarkan dan merasakan makna. Saya mendengarkan litani keluhan dan rintihan kelompok pemulung itu. Sungguh mereka ditelantarkan, dibiarkan supaya tetap miskin oleh sistem yang menindas. Mereka mengakui bahwa ada bantuan yang datang silih berganti baik dari pemerintah maupun Gereja. Namun, bantuan itu tidak berarti sama sekali. Bahkan mereka diperalat oleh oknum-oknum tertentu guna mendatangkan bantuan yang bukannya membebaskan mereka dari kemiskinan, tetapi justeru membuat mereka semakin terpuruk. Mereka mengalami kesmiskinan struktural.     Â
      Sekitar pukul16.00, mobil pick up para pedagang tangan pertama yang mengangkut barang-barang bekas para pemulung itu datang. Saya mendekati mobil itu dan mulai bercanda dengan Moa[3], "kae..sepertinya badan saya lebih ringan dari karung itu..." kataku kepada Moa sambil terus duduk di atas timbanganya. Dengan senyum bungkusnya si Moa menjawab, "kalau begitu...nanti engkau, saya muat juga". Sebetulnya saya hanya menguji akurasi timbangan itu. Ternyata sumber ketidakadilan ada pada timbangan itu. Bagaimana mungkin berat 1 karung besar berisi kaleng dan barang bekas lainnya hanya mencapai 30-40kg yang kalau diuangkan sekitar 60-80 ribu. Lingkaran setan kemiskinan berawal dari timbangan itu. Para pemulung itu orang miskin bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan sengaja dibuat miskin oleh struktur sosial. Mereka terjebak dalam sistem dan struktur yang menindas dan ikut dalam aturan mainnya. Memberontak mereka tak mampu. Bertahan dan menikmati hidup di tengah ketidakadilan adalah pilihan terbaik.
      Pengelaman sehari bersama kelompok pemulung itu cukup mengasa kemampuan merasa yang sudah lama mati karena kenyamanan. Saya cukup merasa aman dengan diri sendiri, dengan kehidupan komunitas biara yang indah dan menyenangkan, prior yang baik, ekonom rumah yang bijak, deken yang altruis, sub-deken yang selalu kooperatif,dan para saudara sekomunitas yang pengertian dan selalu mendukung. Kerasnya perjuangan hidup para pemulung di TPA itu membongkar benteng kenyamananku, menampar kesadaranku untuk segera pergi dan menawarkan Kristus yang membebaskan. Pergi dari tempat ini untuk mengalami Dia yang ada dalam hati para pemulung itu dan merasakan sengsara dan penderitaan-Nya. Allah tidak ada di gundukan sampah, Allah tidak ada di asap tebal mengepul, atau di tanah kering bebatuan, Dia tidak bersemayam di bukit gersang Nangarasong. Allah hadir dalam diri para pemulung itu, Dia bersembunyi dalam hati mereka walaupun mereka itu "kotor". Allah bersemi dalam selubuk yang rapuh, milik kaum kotor itu. Tubuh yang kotor sekalipun menjadi temple yang indah bagi Allah, tubuh adalah bait Roh Kudus[4]
      Tempat itu memang sangat kotor dan kumuh, asap tebal mengepul dan penuh tumpukan sampah, bau busuk dan menjijikan. Tempat itu adalah ladang dan mata pencaharian mereka. Memang mereka itu "kotor" karena sampah yang diproduksi oleh ribuan manusia,oleh para penghasil sampah yang tidak tahu diri. Mereka kotor karena sampah kita. Namun, dari sampah itu mereka hidup, walaupun kotor dan menjijikan. Kita pada satu sisi membuat mereka tetap hidup, tetapi pada sisi lain membuat mereka menderita. Memang benar bahwa manusia itu homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Namun Tuhan tetap membiarkan manusia hidup dan memberi kesempatan untuk memaknai hidupnya.
Â
Penutup
      Para pemulung di Nangarasong adalah kelompok marginal dan miskin. Mereka miskin bukan karena kehendak sendiri melainkan dijajah oleh sistem dan struktur yang tidak adil. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Perjuangan untuk keluar dari sistem itu mesti dilakukan secara bersama-sama dan subversif dengan satu pemahaman teologis bahwa Allah tidak menghendaki satu orang pun menderita dan bahwa penderitaan Kristus di salib adalah fundamen pembebasan bagi umat manusia. Konstitusi no.16 secara implisit menegaskan bahwa melalui hidup seperti Kristus, dalam solidaritas dengan peristiwa dan harapan umat manusia, para Karmelit akan mampu untuk mengambil keputusan tepat untuk rela mengubah kehidupan, dan membuatnya semakin selaras dengan kehendak Bapa. Kontemplasi yang kita lakukan setiap hari di biara-biara mesti memiliki dimensi politis dalam arti pembebasan kalau tidak mau terjebak dalam kontemplatifisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H