Mohon tunggu...
Achmad Suwefi
Achmad Suwefi Mohon Tunggu... Administrasi - pekerja swasta penggemar Liverpool, Timnas dan Argentina

You will never walk alone

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Jadi Supir Sekarang Ndak Kayak Dulu"

17 September 2014   17:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Fi, Jadi Supir sekarang ndak kayak dulu,” ungkap Mang Kadar tetangga rumah yang dulu bekerja bareng bokap sebagai supir Bemo di awal 80-an saat kami hendak menuju masjid untuk shalat maghrib berjamaah.

“Tahun 80 hingga 90-an mungkin zamannya para supir mengalami masa jayanya,” lanjutnya

Penulis sendiri hanya coba mendengarkan apa yang dikatakan Mang Kadar, sambil meresapi setiap perkataan yang memang ada benarnya tersebut. Sambil menerawang bagaimana perjalanan kedua orang tua penulis dulu bekerja keras banting tulang demi anaknya.

“Bapak dan Ibu hanya bisa memberikan kamu ilmu nak, itu yang akan engkau bawa sebagai bekal dihari depanmu nanti,” ungkap Ayahku suatu waktu.

“Bapakmu bisa bangun rumah dikampung sampai anak sekolah tinggi, secara tidak langsung hasil dari supir bemo, fi,” terang Mang Kadar.

Kesimpulan tetangga ku yang juga teman ayah penulis bisa jadi bersifat relatif karena memang semua tergantung kepada pribadi masing-masing dan bagaimana mereka mampu mengelola pendapatan dengan semaksimal mungkin sehingga mampu memberikan nilai atau value bagi kehidupan mereka.

Penulis bersyukur dikaruniai ALLAH SWT seorang Ayah yang hebat walau hanya seorang supir Bemo setelah sebelumnya datang ke Jakarta tahun 70-an bekerja sebagai supir helicak, serta almarhumah ibu rumah tangga yang setia menemani sang suami dalam membesarkan putra-putranya hingga bisa bersekolah tinggi utamanya adik penulis yang sudah lulus S-2 dan sekarang sedang di Belanda.

Jadi supir sekarang utamanya supir Angkot memang lumayan berat apalagi semakin banyaknya motor pribadi yang dengan tanpa DP pun bisa memilikinya asal sanggup membayar cicilannya setiap bulan. Membuat penumpang yang biasanya naik Angkot kini beralih naik motor untuk menuju tempat kerjanya atau kegiatan lainnya.

“Yach sabar aja mas Wef, dijalani saja kalau memang sudah milik ndak akan kemana kok,” ungkap tetangga rumah yang memang menjadi supir Angkot trayek Cibitung – Cikarang.

Menjadi supir TransJakarta mungkin lebih enak karena gajinya 2 juta lebih dan sudah pasti tiap bulan menerima, tetapi semua kembali ke masing-masing sehingga berapapun yang diterima akan bermanfaat tergantung dari pemanfaatannya. Walau memang harus diakui menjadi Supir era 80-90 an terasa lebih dibanding sekarang.

Situasi politik yang cenderung stabil, harga sembako dan BBM yang cenderung terjangkau plus biaya pendidikan dan kesehatan yang terjangkau membuat Supir Bemo, Bajaj sekalipun dapat menyekolahkan anaknya sekolah tinggi yang penting memiliki tekad dan niat kuat.Sedikit berbeda diera sekarang yang cenderung lebih demokratis katanya, apa-apa serba naik sehingga walau gaji naikpun tetap akan sama, tetapi semua kembali ke kita memang apapun profesinya.

Semoga bermanfaat untuk rekan Kompasiana.

Salam Kompasiana,
Wefi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun