Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kodokushi, Sepinya Lansia di Jepang Menghadapi Kematian

25 Oktober 2018   10:24 Diperbarui: 25 Oktober 2018   15:32 3511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: yzgeneration.com

Hari sabtu saya berkunjung ke rumah mertua saya, sampai di sana seperti biasa kami ngobrol ngalor ngidul melepas kerinduan karena memang sudah lama sekali tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. 

Saat anak-anak pamit untuk bermain di taman di dekat rumah, tiba-tiba saya dengar Otousan mengatakan kalau tetangga mereka satu apartemen ada lagi yang meninggal tapi baru ketahuan setelah beberapa hari. Ya Allah kasihan ya. 

Dan gara-gara cerita itu saya baru tahu kalau kodokushi, meninggal dalam kesendirian itu sudah jadi fenomena baru yang banyak terjadi di Jepang. Mendengar cerita Otousan, memang kejadian meninggal di dalam apartemen tanpa ada yang tahu itu banyak terjadi di lingkungan apartemennya. 

Ini disebabkan karena penghuni dalam apartemen ini kebanyakan adalah kakek nenek, seumuran bapak ibu mertua saya, yaitu sekitar 70-80 tahun, dimana anak-anak mereka sudah menikah dan tinggal pisah rumah, bahkan tidak sedikit anak-anaknya itu yang tinggal jauh di luar kota. 

Kebetulan di televisi ada siaran yang memberitakan tentang kisah kodokushi ini. Mengerikan sekali lihatnya, apalagi ketika kamera menyenter (gambar di buramkan) tempat tidur yang terlihat sudah menghitam. 

Mayat yang baru ketahuan setelah beberapa bulan ini, sudah membusuk dan katanya mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Ketika itu perasaan saya campur aduk tidak karuan, dan saya berterima kasih kehidupan di Indonesia walau tidak sebagus dan sempurna seperti Jepang, tapi untuk masalah interaksi dengan tetangga dan sesama, masih lebih baik dibandingkan dengan yang terlihat di Negeri Sakura ini. 

Ngomong-ngomong kodokushi, itu apa sih ya?

Kodokushi adalah suatu fenomena yang ada di Jepang dimana orang meninggal dalam kesendirian dan baru diketahui keberadaannya setelah beberapa lama. Fenomena ini semakin banyak di temui di Jepang karena adanya dampak dari perubahan gaya hidup, orang menjadi individualis sehingga muncul masalah-masalah sosial, seperti: 

1. Perubahan gaya hidup tinggal di apartemen.

Perubahan gaya hidup dari yang tinggal di rumah ke gaya hidup tinggal di apartemen, tentulah bisa kita lihat perbedaannya dengan jelas. Khususnya di daerah perkotaan yang padat penduduk, dibangunnya apartemen untuk tempat tinggal sudah menjadi gaya hidup masa kini yang saya yakin bukan hanya di Jepang saja. 

Kita tidak bisa memungkiri, hidup di apartemen membuat kita susah untuk berinteraksi dengan sesama karena waktu bertemu muka akan sulit untuk dilakukan. Karena itu tidak heran loh, ada juga yang tetangga satu lantai kita tidak kenal, bahkan yang tragis lagi ada juga yang tidak tahu tentang tetangga yang persis tinggal di sebelah kita. 

Orang akan semakin individualis. Mereka akan meminimalisir untuk meminta pertolongan orang, karena tidak ingin merepotkan (meiwaku) tapi ada juga yang berpikir, mereka tidak mau merepotkan orang dengan pikiran mereka pun tidak ingin direpotkan oleh orang. Haduh! 

Tapi ya lucunya, hidup dalam kesendirian ini tidaklah membuat mereka kesulitan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Kenapa? Karena kebutuhan mereka lengkap tersedia ada dimana aja tidak terbatas ruang dan waktu. 

Pagi berangkat kerja, pulang kerja tengah malam, belanja ke supermarket 24 jam, atau pergi membeli keperluan mendadak di convenience store yang ada dimana-mana, apalagi dengan menjamurnya online shop, berbelanja online tanpa perlu harus pergi ke toko, tanpa perlu bercakap dan bertemu dengan orang, tinggal klik saja barang akan datang dengan sekejap. 

Kadang saya berpikir, semakin raku, benri, convenience, sagala bisa dan sagala aya hidup seseorang itu, ternyata bisa membawa dampak buruk juga ya dalam kehidupan kita, salah satunya adalah semakin minimnya interaksi kita terhadap sesama manusia dan lingkungan sekitar.

2. Memilih untuk melajang

Saya jadi ingat topik ngobrol saat pulang kerja, saya diajak suami untuk makan bersama teman dan rekan kerjanya di daerah Tokyo eki. Saat itu mantan bosnya yang sudah sepuh mengeluhkan anak laki-laki dan perempuannya yang belum menikah padahal sudah lebih dari 30 tahun. 

Padahal katanya ia sangat ingin segera menggendong cucu-cucunya sebelum ia meninggal nanti. Waduhhh saya yang mendengar jadi tersentuh, dan kami semua pun membesarkan hatinya, kalau beliau masih muda, pastilah masih bisa melihat cucu-cucunya lahir bahkan bisa melihat juga cucu-cucunya kawin! Dan kami pun tertawa bersama....

Nah satu lagi fenomena di Jepang mengenai anak-anak mudanya yang sudah mulai enggan untuk berumah tangga. Tragis banget ya, kok bisa sih orang pada nggak mau nikah? Kenapa? 

Alasan yang sering saya dengar adalah karena tidak percaya diri mampu dengan finasialnya, susah mencari pasangan hidup, tidak perlu pasangan hidup dan ada juga wanita karir yang tidak mau berhenti bekerja. 

Ada acara TV dimana pernah juga membahas keengganan anak-anak muda ini untuk selalu menunda bahkan mulai enggan untuk berumah tangga. Jawaban atas interview mereka itu bikin saya melongo! 

Anak-anak muda yang sudah bekerja dari part timer hingga salary man pun ternyata banyak yang tidak PD kalau penghasilannya bisa memenuhi kebutuhan hidup kalau nanti berkeluarga. 

Beda banget ya dengan moto orang Indonesia, mangan ora mangan sing penting ngumpul atau banyak anak banyak rejeki. Beda dengan kehidupan di sini, dimana semua serba diperhitungkan, berapa biaya makan, sekolah, rumah, dan ketebelece lainnya yang mengakibatkan mereka selalu menunda untuk berkeluarga sampai penghasilannya dirasa mencukupi. 

Alasan lain adalah susah mencari pasangan hidup dan ada juga yang gak perlu pasangan hidup! Oalaahhhh..., memang benar sih beda dengan Indonesia yang orang-orangnya rame dan heboh, suka ngejodoh-jodohin anak-anaknya, saling ngenalin teman-temannya yang jomblo, pokoknya kalau urusan percintaan dan nyari pasangan hidup wahh Jepang kalau jauh deh trik-triknya dengan Indonesia hahahaha! 

Anak-anak muda Jepang bilang kalau mereka kesulitan mencari pacar, lalu males dan akhir-akhirnya menunda sampai kemudian give up, nyerah dan memutuskan untuk hidup melajang saja. 

Lihat untaian tali begini, ya gimana nggak banyak yang berpikir begitu, wong orang Jepang gila kerja sih! Berangkat pagi, pulang tengah malem, sabtu minggu tidur istirahat, gak ada waktu untuk mikir cari pacar. 

Bagi wanita bekerja, umur yang semakin bertambah membuat mereka juga malas untuk mencari pasangan hidup, pekerjaan yang bagus membuat mereka pun menetapkan kriteria yang tinggi (terutama penghasilan) dalam memilih pasangannya, sedangkan pria dengan kehidupan mapan dan gaji yang besar rata-rata sudah berumah tangga, jadilah mereka akan nyerah dan terus melajang karena dirasa walau mereka melajang toh semua kebutuhan sudah bisa dipenuhinya sendiri. 

3. Trauma dalam pernikahan

Dari kisah yang saya lihat di TV, Kodokushi, kisah mayat yang baru ditemukan setelah beberapa bulan itu adalah mayat seorang bapak yang berstatus duda yang ternyata mempunyai penyakit jantung. 

Dulu pernah menikah dan bahkan mempunyai anak yang sudah besar. Namun sayangnya, bapak ini tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya karena tinggalnya memang berjauhan. Saya suka heran, duh kok begini lonely sekali ya kehidupan manula di Jepang. Sepi sekali, bahkan dengan keluarganya sendiri pun tidak ada komunikasi. 

Dalam acara di TV itu disebutkan kasus kodokushi ini, rata-rata menimpa orang berusia 50 tahun ke atas. Ada yang statusnya masih lajang/single/ tidak menikah dan ada juga yang statusnya cerai. 

Trauma dalam pernikahan dan akhirnya memilih hidup sendiri daripada menikah lagi, dan kehidupan ini mewarnai kehidupan para manula di Jepang. Yang pada akhirnya fenomena kodokushi, meninggal dalam kesendirian pun kasusnya semakin meningkat dan mengkhawatirkan. 

Saya sempat tanya ke Otousan mengenai kodokushi yang katanya banyak terjadi di apartemennya itu, "Otousan, gimana caranya tahu sih ada mayat di dalam apartemen?"

Katanya, hal yang paling jelas adalah dengan melihat kotak suratnya, kalau kotak suratnya sampai luber penuh dengan koran-koran dan surat-surat yang oleh empunya tidak pernah di ambil, lebih baik kita kontek pengurus apartemen untuk diperiksa kamarnya. 

Apalagi kalau kita dekat dan berteman dengan orang itu, lalu mendadak tidak ada kabar berita dan tidak pernah muncul di lingkungan apartemen selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, wah patut di curigai. 

Yang cukup menarik perhatian saya lagi adalah, dengan adanya fenomena kodokushi ini, membuat adanya pelayanan jasa pembersihan mayat yang bisa di sewa, walau dengan bayaran yang cukup mahal. 

Saya maklum sih, kenapa tarif jasa yang dipatoknya cukup tinggi, karena ya memang kerjanya juga cukup berat loh! Pertama adalah membersihkan mayat yang sudah membusuk, yang badannya sudah penuh dengan ulat dan belatung.

Lalu membersihkan apartemen dari sampah dan barang-barang orang yang meninggal itu agar pemilik rumah bisa menyewakan lagi ke penyewa lain, lalu mengumpulkan barang-barang kenangan untuk diberikan ke keluarganya nanti, kemudian melakukan ritual berdoa agar arwah orang yang meninggal bisa tenang di alam sana, dan lain sebagainya. 

Karena itu, saya yakin sekali petugas-petugas yang melakukan pekerjaan ini adalah orang-orang luar biasa yang kerja dengan rasa kemanusiaan yang tinggi! Orang-orang yang mentalnya kuat, karena saat melakukan kerjaan itu mau tidak mau pastinya emosional pribadi pun akan terlihat, seperti perasaan sedih, ngeri bahkan kecewa yang katanya ada juga barang-barang kenangan yang dikumpulkannya itu pas diserahkan ke keluarganya, ada juga yang menolaknya tidak mau terima.

Saya yang bagai hidup di dua dunia, dengan melihat kehidupan di Jepang dan Indonesia, masih bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah, kalau keadaan lingkungan Indonesia masih tidak begitu ekstrim sekali kalau berurusan dengan hal komunikasi dan interaksi.

Rumah orang tua saya masih nyablak terbuka lebar untuk mempersilakan siapa saja datang ke rumah, tinggal ketok pintu dan ngucap Assalamualaikum.... atau ketika orang tua sakit masih ada adik-adik, sanak keluarga, om, tante, keponakan, tetangga dekat, siapa saja yang datang menjenguk untuk sekedar mengajak ngobrol agar tidak kesepian dalam menjalani dan menghabiskan masa tuanya. 

Salam Hangat, WK! 

Note: Untuk Image kodokushi, silakan teman-teman bisa melihat sendiri via google search dengan kata kunci atau kodokushi, tidak tega saya upload gambarnya di sini. Arigatou!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun