Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kisah Pilu Ketika Jepang di Goyang Gempa 6 Tahun yang Lalu

13 Maret 2017   12:10 Diperbarui: 14 Maret 2017   00:02 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Masih teringat jelas kejadian gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011. 

Ketika mengingat itu muka akan kembali panas terbayang bagaimana kita semua yang tinggal di Jepang dilanda duka yang paling dalam karena adanya gempa dan tsunami yang memakan banyak korban. 

Saya masih inget 6 tahun lalu sekitar pukul 2 siang.

Saya di rumah bersama si bungsu yang masih belum sekolah. Saat sedang memasak, tiba-tiba panci yang sedang merebus kentang dan wortel bergetar dan bergerak kencang, dan tak lama gas kompor pun mendadak mati. Makin lama goyangan terasa kuat sekali dan semakin kencang sehingga foto-foto yang tepasang didinding mulai jatuh dan laci-laci di dapur pun terdorong keluar. Dari  lantai 12 rumah saya, sempet melihat bangunan apartemen lain yang berada di samping dan depan rumah saya bergoyang dan orang-orang mulai panik berhamburan keluar rumah. 

Si bungsu menjerit kaget dan memeluk kaki saya, bersamaan dengan itu, suara telpon rumahpun berdering. 

"Hayaku dete!! hayaku, hayaku!!  setelah itu suara suami saya pun terputus dan telpon tidak bisa digunakan. Dengan perasaan ketakutan dan kacau serta bingung harus bagaimana, buru-buru saya nyalakan TV, dan makin panik karena ternyata sudah banyak nada peringatan dengan gambar peta jepang yang berwarna merah tanda bahaya, dan kami semua diperintahkan untuk keluar rumah segera menuju tempat pengungsian. 

Tanpa membawa apa-apa, saya gendong si bungsu yang masih berumur 2 tahun dan berlari menuju tangga apartemen yang saat itu semua orang pun panik berhamburan menuju lantai satu. Ada seorang ibu Jepang yang sigap langsung bergerak layaknya seorang leader berteriak keras agar kami segera ke tempat evakuasi di taman kecil di bawah apartemen. 

Saat saya setengah berlari menggendong si bungsu dari lantai 12 menuju lantai 1, saya bertemu dengan Seiko san. Yang saat itu saya lihat panik nangis membawa dua anaknya! Ia menggendong anaknya yang umurnya sama dengan Anisa dan seorang bayi merah yang ditidurkannya di stroller. Mungkin ia lupa karena panik, kalau elevator pastinya tidak bisa digunakan saat itu. Saya bisa merasakan kebingungannya, bagaimana ia hars menggendong kedua anaknya menuruni tangga sedangkan badan ibunyapun sangat kecil mungil. Saya dekati Seiko san, saya ajak turun bersama, tapi dia menolak dan menyuruh saya pergi duluan. Sambol berkata gomen gomen gomenasai Seiko san, berkali kali saya meminta maaf karena tidak bisa membantunya karena saya pun dalam posisi menggendong Anisa.

Sampai di bawah sudah seperti lautan manusia, karena semua penghuni apartemen turun ke depan halaman. Sebagian saya lihat jongkok di depan parkiran mobil dan sebagian menunggu di taman. Saya melihat teman-teman satu sekolah satu TK sudah berkumpul dan terdengar Hana san mengabsen teman-teman yang kita kenal kalau-kalau ada yang masih berada di dalam rumah. Saya lihat ada suami teman saya yang segera mengeluarkan sepedanya, ketika saya tanya sama istrinya katanya ingin mengecek anak-anak kita baik-baik saja. 

Allahu Akbar! Saya lupa dengan HIRO!!

Saat itu saya langsung menangis sambil memeluk Anisa. Ya Allah, Yang Maha Pengasih tolong selamatkan anak-anak kami yang sedang sekolah. Yang ternyata anak-anak sedang berada di bis sekolah, perjalanan pulang menuju apartemen kami. Menunggu kedatangan bis sekolah yang biasanya hanya memakan 30 menit, ketika itu serasa menunggu berhari-hari. Sambil terus berdoa berharap agar anak-anak kecil ini bisa selamat berada dalam tangan kami semua. saya masih sempat melihat parkiran paralel mobil bergoyang membuat mobil-mobil yang terparkir diatasnya bergerak maju mundur seakan ingin berjatuhan menimpa kami. 

Kami pun berhamburan menuju taman kecil yang sudah sangat sesak penuh dengan orang-orang yang mengungsi. 

Saya hanya bisa memandangi telpon genggam saya yang saat itu tidak bisa terpakai. Bagaimana keadaan suami saya, bagaimana keadaan bapak ibu mertua saya, bagaimana keadaan sahabat-sahabat saya, Risa san dan Yuko san yang anak-anaknya masih belum sekolah, apakah mereka sudah mengungsi karena tidak saya lihat satu pun keberadaan  mereka. 

Dalam keadaan yang serba panik dan bingung, Anisa menangis kencang. Pas saya check keadaannya ternyata dia eek dan tidak betah ingin segera diganti diapernya. Waduh dalam kondisi begini bingung juga harus bagaimana. Tapi saat itu anehnya saya berlari menaiki tangga apartemen sambil menggendong si bungsu menuju lantai 12 rumah saya. Ya, saya segera bersihkan diapernya di kamar mandi. Segera saya ambil tas ransel saya isi beberapa diaper bersih, dompet, paspor untuk saya bawa ke luar. 

Saya sudah pasrah melihat rumah yang berantakan, air toilet yang tumpah membasahi lantai, pajangan gelas dan foto-foto yang berjatuhan. Saya harus kembali keluar dan menunggu Hiro! 

Sebelum menuruni tangga saya ingat dengan sahabat saya Yuko san yang tinggal di lantai 16. Saya bell rumahnya tidak ada satupun yang keluar, ah mungkin dia sudah mengungsi kebawah, pikir saya. Bergegas saya menuruni tangga ke lantai 9, ke rumah sahabat saya satunya bernama Risa san. Ketika saya bel rumahnya, terdengar sahutan dari dalam rumah. Setelah dibuka pintunya, justru dia yang bingung, ada gempa ya? katanya tenang. Waduhh buru-buru saya tarik tangannya dan segera menyuruhnya gendong Syo kun, anak laki-laki satu-satunya. Dan dia kaget karena di semua penjuru sudah penuh dengan orang-orang dan semua terlihat bingung. 

Melihat dia begitu tenang, saya tanya apakah dia tahu ada gempa hebat berusan, dan ketika saya bilang begitu bersamaan dengan getaran gempa-gempa susulan kembali datang berturut turut. Kami pun saling berpegangan tangan, kemudian ia bercerita kalau saat itu ia sedang tidur siang bersama anaknya. Dan ketika terasa ada goyangan, dia merasa pastilah gempa biasa yang memang kerap kali datang di Jepang. Dia pun menangis sambil makin keras memegang tangan saya mengucapkan arigatou. Makin deras airmatanya ketika khawatir tentang suaminya, ya sama seperti saya dan istri-istri yang lain mungkin, kita semua khawatir keselamatan suami-suami kita yang sedang bekerja. Dan saya yakin sekali, sebaliknya di sana pun para bapak-bapak itu pastlah lebih khawatir akan keselamatan keluarganya. 

Tak lama, saya lihat ibu-ibu teman sekolah TK berhamburan menyambut bis sekolah yang datang ke apartemen kami. Saya pun berlari menitipkan si bungsu dengan Risa san dan segera menjemput Hiro dan memeluknya. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan Hiro selamat dan kini sudah dalam pelukan saya. 

Selama beberapa jam kami menunggu di pelataran apartemen. Dan setelah dirasa gempa susulan sedikit berkurang, saya memutuskan untuk kembali ke rumah dan mulai menyiapkan segala keperluan darurat untuk nanti saya bawa kalau kami memang harus mengungsi. Risa san sepertinya masih trauma dan terlihat ketakutan ketika kami berpisah. Dan saya berjanji setelah semua persiapan selesai saya akan pergi ke rumahnya untuk bersama sama melihat berita di TV dan menunggu suami-suami kita pulang. 

Kemudian bel rumah Risa san pun berbunyi. Saya kaget ternyata ibu dan bapak mertua yang sudah berumur 70 tahun begitu khawatir dan ingin mengecek keadaan kami di sini dengan segera mengendarai mobil takut dan was-was akan keselamatan cucu-cucunya. Melihat rasa sayang mereka, saya peluk okaasan,sambil mengucapkan rasa terima kasih dan mohon maaf karena seharusnya saya yang mengecek keadaan mereka karena sudah sangat sepuh. 

Setelah memastikan keadaan sudah tidak apa-apa mereka pun kembali ke rumah. 

Saya mulai merapikan rumah. Gas dan elevator masih tidak bisa digunakan. 

Untungnya listrik tidak padam. Karena saya masih inget TV saya besarkan suaranya karena ingin tahu berita terbaru tentang kejadian barusan. 

Lemas badan saya ketika melihat berita di wilayah Jepang timur, keadaan sudah porak poranda karena setelah gempa hebat yang barusan saya rasakan, ternyata di

sana  sudah banyak bangunan yang hancur lebur. Gempa berkekuatan 9 SR itu membuat gelombang laut setinggi 9 meter!! TSUNAMI!!!

Sambil memeluk anak-anak saya kami melihat berita dimana saudara-saudara kami khususnya di Miyagi, Iwate dan Fukushima yang paling banyak terkena bencana ini. Ya allah makin deras tangis saya melihat rumah-rumah yang terseret tsunami yang mungkin saja didalamnya masih banyak orang-orang yang ada di dalamnya. Ketiga kota itu sudah sangat parah kerusakaannya dan terlihat seperti kota yang tidak bernyawa karena banyak bangunan dan manusia terseret oleh tsunami. 

Kembali saya ingat dengan suami saya. Bagaimana ya keadaannya. Anak-anak saya beri makan mie rebus dengan menggunakan kompor gas portable yang biasa untuk nabe/kemah. Syukurlah saya selalu menyimpan tabung gas sebagai cadangan. 

Saat itu terasa sekali suasana malam begitu hening. Anak-anak sudah tertidur dengan kaki yang dijulurkan ke dalam kotatsu, meja penghangat. Sama sekali saya tidak terserang rasa ngantuk walau jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ya, saya harus menunggu suami pulang.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari, terdengar pintu rumah terbuka, dan suara suami mencari saya. 

Ya Allah terima kasih satu lagi doa saya terkabul, suami pulang dengan selamat. 

Buru-buru saya peluk pinggangnya, bingung mau bicara apa hanya menitikkan airmata. 

Kowakatta desyou, gomen ne, kata suami saya. Saya bingung, kok dia minta maaf, untuk apa?

Kami pun duduk dengan tenang dan saling bercerita tentang gempa hebat yang baru saja terjadi. 

Saya heran, kenapa ia bisa pulang ke rumah. Karena kalau melihat di berita semua jalur transportasi tidak bisa digunakan. Hotel-hotel di Tokyo terlihat sibuk karena banyak yang memutuskan untuk istirahat di hotel. Melihat berita seperti itu, saya merasa mungkin juga suami memutuskan untuk tidak pulang ke rumah malam itu. 

Dan kaget sekali saya ketika tahu ia mengatakan kalau dari kantor ia berjalan kaki! 

Haa...

Sambil saya pijitin kakinya, terharu juga  denger ceritanya ketika ia memutuskan untuk jalan kaki karena ingin segera pulang ke rumah. Lamanya perjalanan dari akasaka-matsudo selama 8 jam, katanya tidak terasa dibanding kekhawatirannya kepada anak-anak dan istrinya, eheem. Selama 8 jam itu ternyata suai tak sendiri, 4 orang temannya pun ikut serta berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing. Ada dua orang teman kerja wanitanya yang suami antar sampai ke depan pintu rumahnya, karena terus-terusan menangis mengingat anak-anaknya. Mleihat itu membuat suami juga pingin cepet cepet sampai rumah dan memastikankalau semuanya dalam keadaan baik-baik saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun