Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Inilah Alasan Orang Jepang Enggan Menikah

28 Juni 2016   01:25 Diperbarui: 22 Desember 2016   19:56 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup di Jepang jarang saya melihat orang mengurusi kehidupan pribadi orang lain, jangankan teman sendiri wong anggota keluarga juga mereka tidak berani kayanya menanyakan hal-hal yang  bersifat sudah menjurus tentang hubungan manusia begitu. 

Banyak temen satu apartemen yang menikah sekitar umur 30 tahun bahkan ada yang juga yang hampir 40 tahun. Sudah begitu, ada yang menunda dulu untuk hamil bahkan ada yang sempat berpikir untuk tidak buat anak, dengan alasan takut tidak bisa memberikan penghidupan yang layak.

Penghidupan yang  layak? Hmm seperti apa sih? Kok sampe segitunya dipikirkan?

Punya anak bukan hanya brojolin saja, justru yang susahnya itu adalah mendidik jadi anak mempunyai budi pekerti yang baik, mandiri, tidak menyusahkan keluarga dan lingkungan. Nah, tahap itu yang kadang suka bikin saya kehilangan sabar bahkan misuh-misuh bertengkar dengan anak karena semakin besar, mereka pun akan lantang beropini bahkan menentang orang tua.

Teman-teman di lingkungan apartemen dan sekolah, rata-rata mempunyai anak 1 orang atau 2 orang saja, ada juga yang lebih dari itu tapi sangat jarang sekali. Alasan kenapa mereka tidak ingin anak banyak mungkin sama dengan pasangan muda di Indonesia saat ini, tidak jauh karena biaya hidup yang semakin tinggi. Biaya hidup dan kehidupan hingga mereka dewasa sampai pada tahap harus berpisah dengan orang tua dipikirkan dengan cermat oleh para orang tua di sini.

Berpikir kira-kira, lihat saja nanti, pasrah atau asal-asalan adalah hal-hal  yang dihindari oleh masyarakat Jepang. Kalau teman-teman berbaur dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari itu terlihat dan terasa jelas loh gimana mereka begitu detail dalam setiap tindak-tanduknya. Masyarakat Jepang adalah orang-orang tertutup dan jarang melakukan diskusi kalau sudah berhubungan dengan urusan rencana masa depan anak-anak kecuali kalau mereka sudah bersahabat dekat sekali. Mereka biasanya sudah mempunyai rencana jangka pendek dan panjang serta jarang yang ikut-ikutan atau latah apalagi dalam hal pendidikan anak. 

Jadi mempunyai atau bahkan berpikir mempunyai anak saja sudah merupakan big deal bagi orang-orang Jepang pada umumnya.

Dalam keseharian di sini, terlihat jelas kalau lebih banyak warga senior (kakek-nenek) yang seliweran di jalan-jalan daripada anak-anak kecilnya. Di tempat mertua saya ada beberapa sekolah yang ditutup karena kekurangan murid dan terpaksa digabung dengan sekolah lain. Sedih deh lihatnya, apalagi saat itu saya menemani suami melihat pembongkaran SD dan SMP-nya waktu jaman sekolahnya dulu. Ngenes lihatnya. Apalagi gedung sekolahnya masih cukup bagus walau sudah sangat tua sekali. Saya jadi inget kalau di Indonesia justru banyak siswa tapi kekurangan tempat/gedung sekolah ya. 

Kakek-nenek di Jepang juga terlihat cemas dan heran kenapa anak muda sekarang sudah malas menikah dan membuat anak? Padahal jaminan kesehatan dan kesejahteraan anak yang dibagikan oleh pemerintah semakin meningkat kalau dibandingkan jaman mereka dahulu, khususnya penggantian biaya kelahiran dan fasilitas kesehatan atau pemeriksaan untuk ibu hamil dan anak. 

Tapi ternyata masalahnya bukan hanya semata terimingi oleh bantuan-bantuan dari pemerintah Jepang saja yang terus menghimbau warganya untuk memiliki keturunan tapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu apakah orang-orang muda Jepang sudah siap sacrifice kehidupan pribadinya seperti meninggalkan karier untuk menjadi ibu rumah tangga, sabar untuk tidak liburan ketika anak-anak masih kecil, meluangkan waktu bermain bersama keluarga saat hari libur kerja, semakin jarang melakukan hobinya karena sibuk dengan urusan keluarga atau mau berkompromi dengan pasangannya dalam setiap halnya. Kalau sudah mau menerima semua konsekuensi itu, saya rasa sudah tidak ada lagi yang harus dipikirkan selain meminta restu dari orang tua semoga kehidupan rumah tangganya bisa langgeng dan berhasil melampau setiap cobaan yang akan datang melanda nantinya. 

Salam hangat, wk!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun