Tidak bisa dipungkiri, seenak-enaknya hidup di perantauan, pastilah lebih enak berada di tanah kelahiran sendiri. Apalagi ketika sudah memasuki bulan Ramadan begini, merasakan suasana ngabuburit menunggu beduk Magrib, mencari takjil penganan buka puasa di pinggir jalan, shalat tarawih di mesjid, dan tentu saja hirup-pikuk pasar menjelang hari kemenangan, Idul Fitri membuat rasa kangen akan Tanah Air semakin tak terbendung lagi.
Masih terasa suasana saat puasa dulu di Indonesia. Suasana akan terasa berbeda di jalan-jalan, terutama untuk penampakan rumah-rumah makan di pinggir jalan atau di dalam pusat berbelanjaan. Adanya kain hordeng tergerai menutupi jendela warung sebagai sebuah toleransi tinggi kepada umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Melihat itu, tenang ya, adem dan sejuk. Ya, begitu kentalnya toleransi umat beragama di Indonesia saat memasuki bulan Ramadan menambah kuat keinginan pulang mudik kumpul bersama keluarga di sana.Â
Lalu pindahlah saya ke Negeri Sakura. Negeri yang mayoritas penduduknya beragama Shinto dan Buddha. Negeri yang penduduknya bukanlah pemeluk agama yang taat dan fanatik seperti kebanyakan masyarakat di negeri saya.Â
Ramadan di Jepang bukanlah sesuatu yang spesial dan hal yang sudah jauh-jauh hari digembor-gemborkan. Kami, salah satu dari bagian masyarakat muslim dari berbagai negara yang tinggal di Jepang adalah kaum minoritas yang bersuka cita menyambut bulan puasa jauh dari suasana hingar-bingar, bahkan lebih terkesan menjadi syahdu karena detik-detik menjelang puasa itu biasanya momen di mana saya teringat kepada orang tua dan ketiga adik saya di Indonesia. Luapan hasrat untuk bertemu keluarga lebih besar berkali-kali lipat dibandingkan dengan hari-hari perayaan dan suka cita lainnya. Atau saya saja mungkin ya yang masih mellow?
Menjalankan ibadah puasa di Jepang, sama seperti hari-hari biasa. Syukurnya sudah seminggu puasa berlangsung, udara di Jepang masih terbilang sejuk kalau dibandingkan dengan puasa tahun lalu yang sudah masuk musim panas. Ini hanya udara yang sejuk begitu saja kok yao saya sudah sangat bersyukur, kenapa? Karena saya tidak mungkin mengharapkan lingkungan tempat tinggal saya mendukung dan bertoleransi kepada kami kaum minoritas, umat muslim yang sedang menjalan ibadah puasa di Jepang.Â
Jangan Jadi Pengemis Toleransi
Walau di Jepang belakangan ini sudah mudah ditemukan prayer room, tempat untuk sholat. atau banyaknya dijual makanan dan oleh-oleh yang berlabel halal, jangan berharap banyak orang Jepang sadar dan mengerti akan datangnya bulan Ramadan.Â
Saat saya pergi ke supermarket untuk belanja berbuka puasa, beberapa ibu-ibu berdiri menawarkan makanan baru sebagai promosi kepada setiap pengunjung yang datang. Si bungsu langsung gragas aja terima uluran kue yang dibagikan oleh ibu itu, lupa dia kalau sedang puasa, akhirnya kue promo saya bungkus plastik sambil nyengir godain, Gaman... gamann... sabarr... sabarrr... hahaa..
Terus kesel gak sih kita sama si ibu penjual tadi yang sepertinya gak punya tenggang rasa kok kasih makan ke orang yang sedang berpuasa? Lahhh.... meneketehee si ibu itu, wong sudah tugas dia ngabisin sampel makanan itu untuk dibagikan ke pengunjung, mana tahu si ibu kalau kita lagi puasa? Terus masalahnya di mana? Ya, nggak ada. Karena intinya adalah justru kita yang berpuasa itulah yang harus sabar dan memaklumi. Janganlah malah gusar dan justru jadi tukang ngemis toleransi, mentang-mentang puasa pengennya orang-orang sekitar bertoleransi gak makan di depan kita, lalu berharap restoran bertoleransi bukanya menjelang beduk, lah ini kok apa-apa toleransi. Nah semua begitu itu kemungkinan bisa dilaksanakan di negeri kita yang mayoritas beragama Islam, tapi kalau bagi kami yang hidup minoritas begini?
Bagi para pengharap atau pengemis toleransi, mbok ya sekali-kali jadi kaum minoritas deh. Cobain gimana ketika keadaan lingkungan tidak mendukung untuk kita harapkan toleransinya, tapi sebaliknya kita yang harus lebih legowo untuk memaklumi bahkan kita yang memberikan toleransi kepada lingkungan. Ya, memberikan toleransi lebih tinggi derajatnya dari hanya sekedar ngarep atau ngemis toleransi. Bukanlah lebih baik memberi daripada menerima tho.... Kaya kita yang selalu menuntut hak, padahal sebenernya kita sadar banyak kewajiban kita yang ternyata masih belum dilaksanakan.Â
Beberapa hari yang lalu temen anak-anak saya datang ke rumah, saya sediain cemilan dan minuman ringan, si bungsu cerita kalau dia lagi menjalankan puasa setengah hari, nanti sekitar jam 7 malam baru boleh makan. Anak-anak SD ini mendengarkan si bungsu sambil tetep aja itu ngunyah kripik kentang hahahaha...
Atau kedatangan teman Indonesia muslim yang sedang haid, menyusui, hamil atau sedang dalam keadaan yang tak memungkinkan untuk berpuasa atau bahkan ada teman Jepang main berkunjung ke rumah kita, terus apakah tidak perlu kita jamu dengan makanan dan minuman yang ada dengan alasan ngarep toleransi mereka karena kita sedang berpuasa. Aduhh tegaa bener hahahaa..
Ya, intinya gak usah terlalu lebay atau berlebihan minta orang-orang mengerti kita sedang berpuasa, minta lingkungan bertoleransi, namun justru semua keadaan yang tidak mendukung itu kita jadikan ujian ibadah kita. Insya Allah makin tahan ujian malah makin kuat dan tebal iman kita bukan?Â
Untungnya anak-anak di rumah terbiasa menjalankan puasa (walau belum full) selalu dalam lingkungan sekitar yang sangat tidak mendukung ibadahnya, yang justru itu malah jadi tempaan mental mereka untuk selalu sabar bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus saja tapi sabar menghadapi keadaan sekelilingnya yang penuh dengan godaan-godaan. Amin
**Ditulis sambil menunggu pound cake kismis untuk okaasan, ibu mertua sebagai hantaran nanti sore**
Salam Hangat, WK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H